Oleh: Abu Hapsin, Ph.D
Dalam tradisi pemerintahan Islam, kelompok minoritas sering disebut sebagai ahl al-dzimmah atau, meminjam bahasa M. Watt, disebut “the protected minority”. Dzimmy sebagai sebuah konsep politik memang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Konsep ini dibangun oleh Nabi ketika ia berhasil membangun sebuah negara agama di Medinah. Tepatnya konsep tersebut dibangun saat Nabi melakukan ekspedisi Tabuk pada tahun 630 M. Pada ekspedisi kali ini Nabi membuat perjanjian dengan beberapa kelompok, seperti kelompok Kristen dari Ayla (modern Akaba) kemudian kelompok Yahudi dari Maqna (dekat Akaba) dan beberapa kelompok kecil yang ditemui selama melakukan ekspedisi. Mereka yang telah sepakat membuat perjanjian berkewajiban membayar jizya (pajak perlindungan) kepada pemeritah pusat di Medinah, sedangkan pemerintah Islam di Medinah berkewajiban memberikan perlindungan baik yang datang dari dalam maupun luar kelompok-kelompok tersebut (Watt, 1987:49-50).
Kelompok-kelompok kecil yang oleh pemerintah Islam dilindungi disebut sebagai ahl al-dzimmah. Pada saat pemerintahan Islam dipimpin oleh Nabi dan keempat Khulafa al-Rashidun, mereka mendapatkan perlakuan yang adil. Bahkan M. Watt (1987:51), seorang orientalis yang banyak menulis sejarah Islam klasik mengakui bahwa perlakuan yang diberikan oleh Nabi dan keempat Khulafa al-Rashidun kepada ahl al-dzimmah jauh lebih baik dari pada perlakuan yang diberikan oleh baik kekaisaran Sasanid dan Byzantium (Romawi Timur).
Attabani (1965:65) berpendapat bahwa jika terdapat kelompok non Muslim yang telah melakukan kontrak perlindungan dengan Negara Islam maka bagi mereka diberikan status kewarga-negaraan penuh. Mereka mendapatkan, tidak hanya perlindungan dari serangan musuh-musuhnya, akan tetapi juga mendapatkan hak-hak untuk menduduki berbagai posisi dalam pemerintahan, meskipun terbatas hanya posisi-posisi yang tidak memiliki implikasi keagamaan secara langsung. Disamping itu kenyataannya memang seringkali kelompok minoritas ini dianggap sebagai warga negara kelas dua, karena tidak semua hak yang bisa diperoleh orang Islam juga bisa diperoleh orang non Muslim. Namun, dilihat dari praktek ketatanegaraan pada masa 14 abad yang lalu, perlakuan Nabi terhadap kelompok minoritas tersebut jelas mencerminkan rasa keadilan. Atas dasar inilah mungkin Watt sampai pada kesimpulan seperti disebutkan di atas.
Memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas adalah kewajiban warga Muslim dan bahkan menjadi kewajiban politik negara Islam. Nabi pernah menyatakan bahwa “barang siapa yang berlaku dhalim terhadap mu’ahad ( orang non Muslim yang telah mengadakan perjanjian) atau melanggar hak-haknya atau memberikan beban di luar kemampuannya atau mengambil sesuatu dengan melawan keinginannya, maka aku yang akan menegakkan keadilan di hari Qiyamat” (dikutip dari Rauf, 1988: 52). Pada hadith lain disebutkan bahwa “ barang siapa yang menyakiti dzimmy maka aku lah yang menjadi pembelanya. Dan barang siapa yang aku bela (di dunia) maka aku akan menjadi pembelanya kelak di akhirat” (Rauf, 1988:54). Bahkan suatu saat pernah terjadi seorang Muslim membunuh seorang Mu’ahad. Nabi kemudian memerintahkan untuk mengeksekusi si pembunuh (Rauf, 1988:55).
Menurut Prof. Rauf istilah “mu’ahad” pada hadith di atas adalah kelompok non Muslim yang hidup di bawah naungan negara Islam karena sudah melakukan kontrak. Jika mereka telah melakukan kontrak atau persetujuan darah serta kekayaan mereka harus dilindungi dari musuh-musuh mereka baik yang datang dari dalam kelompoknya maupun dari luar. Darah dan harta kekayaannya harus diperlakukan sama seperti darah dan kekayaan milik orang Muslim. Itulah karenanya, ketika Nabi menaklukkan Yaman, ia menawarakan kepada mereka perjanjian perlindungan. Setelah disepakati, Nabi pun menjaga harta kekayaan, tanah serta agama mereka (Attabani 1995,65).
Langkah Nabi dalam memperlakukan kelompok minoritas juga diikuti oleh Umar bin Khattab. Ketika ia menaklukkan Jerusalem, seorang pendeta gereja menawarkan kepada Umar untuk melakukan salat di dalam gerejanya. Akan tetapi Umar menolak tawaran tersebut. Alasan penolakannya bukan karena tidak boleh melakukan salat di dakam gereja tetapi karena Umar takut kalau perbuatannya itu menjadi presden buruk bagi generasi sesudahnya dengan mengubah gereja menjadi Mesjid. Ali bin Abi Thalib juga dilaporkan telah memberikan perlakuan yang sama seperti perlakuan Nabi kepada kelompok non-Muslim. Ali bahkan pernah mendeklarasikannya secara demonstratif sambil mengatakan bahwa “darah serta agama kelompok dzimmy adalah seperti darah dan agama kita sendiri.” (Attabani, 1995:66)
Memang Nabi pernah mengusir sekelompok orang Yahudi dari Madinah. Namun pengusiran tersebut secara politik dapat dibenarkan. Orang-orang Yahudi mulai menampakkan kebencian serta sikap iri kepada kaum Muslimin yang telah berhasil gemilang dalam perang Badar. Mereka meremehkan Nabi dengan mengatakan bahwa orang-orang yang telah dikalahkan kelompok Muslim saat perang Badar bukanlah musuh yang sesungguhnya. Mereka adalah kelompok yang tidak memiliki skill dan taktik berperang. Bahkan salah seorang kepala suku Banu Qaynuqa menyatakan secara terang-terangan dan mengancam Nabi dengan mengatakan “anda baru akan menadapatkan musuh yang sebenarnya jika anda berperang melawan kami”. (al-Umari, 1991:123)
Alasan lain mengapa Nabi melakukan pengusiran terhadap kelompok Yahudi adalah karena Nabi mendapatkan bukti-bukti bahwa kelompok Yahudilah yang melakukan berbagai upaya untuk membunuh Nabi dan menghabisi kelompok Muslim dari Madinah. Banyak orang Yahudi yang bertindak sebagai spionase untuk kelompok Kafir Quraish Mekkah. Kejadian perang Khandaq jelas sekali disebabkan oleh ulah kelompok Yahudi untuk menghancurkan kelompok Muslim dengan menggunakan tangan-tangan Kafir Quraish Mekkah. Karena ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Konstitusi Madinah yang telah disepakati bersama, maka Nabi marah dan mengusir kelompok Yahudi keluar dari Madinah.
Permasalahan lain yang ada dalam kamus politik Islam adalah tentang konsep Dzimmy. Dzimmy merupakan salah satu bentuk institusi politik Islam yang dibangun oleh Nabi 14 abad yang lalu pada saat beliau berhasil mendirikan negara Madinah. Di Madinah, Nabi tidak hanya memainkan peran kenabian akan tetapi berperan sebagai negarawan yang sangat piawai. Karena pendirian ini dilakukan oleh Nabi, banyak para ulama yang masih menganggap bahwa keberadaannya masih memiliki kekuatan mengikat. Semua kebijakan Nabi tentang politik masih diyakini sebagai model ideal untuk suatu pemerintahan negara Islam.
Memandang tradisi atau sunnah Nabi sebagai model ideal memang tidak salah, dan bahkan hal ini didukung oleh al-Qur’an sendiri (33:21). Namun mengingat permasalahan politik yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini jauh berbeda dengan yang dihadapi Nabi, maka perlu ada perubahan paradigmatik dalam mensikapi sunnah Nabi. Dalam kaitannya dengan kebijakan politik, makna substantif harus lebih mendapatkan tempat daripada makna formalnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Fazlurrahman dengan pendekatan “moral ideal”, yakni suatu pendekatan yang menekankan pada aspek cita-cita moral karena inilah yang menjadi substansi dari segala kebijakan Nabi yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, termasuk kebijakan politik.
Perubahan paradigmatik, harus juga dilakukan terhadap klaim-klaim Islam yang normatif-historis. Misalnya, klaim bahwa “Islam adalah agama dan negara” (al-Islam din wa dawla) harus dipahami dari konteks historisnya. Istilah “dawla” yang di klaim oleh beberapa ahli politik Islam sudah barang tentu berbeda baik bentuk maupun substansinya dengan istilah “state” dalam pengertian sekarang. Istilah “state” atau lebih tepatnya “nation state” merupakan produk Barat modern yang pada awalnya dimunculkan sebagai reaksi terhadap bentuk-bentuk pemerintahan teokratik.
Dalam era globalisasi, tidak satupun kelompok masyarakat yang dapat berdiri sendiri tanpa berinteraksi dengan kelompok masyarakat lainnya dan akibatnya tidak satu pun sistem nilai yang tidak terpengaruh oleh sistem nilai lainnya. Istilah-istilah seperti “masyarakat global”, “etika global” nampaknya sudah menjadi suatu kenyataan yang pengaruhnya tidak bisa dihindari. Islam yang perlu dikembangkan bukan Islam yang berwatak eksklusif tapi yang inklusif dan transformatif. Untuk itu, agar Islam tidak mengalami pengucilan dari masyarakat dunia, reformulasi serta redefinisi konsep-konsep keislaman termasuk konsep-konsep politik Islam menjadi suatu keharusan.
Sebagaimana dijelaskan di atas, konsep “state” di mana Muslim hidup di dalamnya dewasa ini, merupakan produk Barat modern. Hal ini tentu saja membawa akibat inkompatibilitas konsep-konsep serta institusi-institusi politik Islam yang dibangun pada awal-awal sejarah Islam. Konsep dzimmy misalnya, jelas tidak akan kompatibel jika dipasang dalam konsep “negara” yang ada sekarang ini, namun makna substantifnya masih sangat mungkin, bahkan harus diaplikasikan. Makna subsatntif ini bisa berarti “perlindungan hak-hak kelompok lemah oleh kelompok yang kuat”. Dalam konteks negara modern, gagasan perlindungan ini bisa diwujudkan dalam bentuk prosedur konstitusional yang adil dan demokratis. Istilah “kuat”, dengan demikian, tidak merujuk kepada mayoritas tetapi merujuk pada sebuah konstitusi yang adil dan mendapatkan affirmasi dari keseluruhan “body politics.”
Tuntutan modernitas memang harus membuat kita berpikir lebih realistis namun dengan tidak mengorbankan prinsip. Banyaknya umat Islam di berbagai negara Eriopa maupun Amerika juga harus disikapi secara relaistis pula. Karena itu tidak fair jika umat Islam dalam posisi mayoritas di suatu negara mencoba untuk tetap menggunakan paradigma lama sementara posisi Muslim di negara-negara Barat mendapatkan kewarga-negaraan penuh. Itulah karenanya memelihara bentuk institusi dzimmy di negara dengan mayoritas penduduk Muslim merupakan suatu yang naif (Rauf, 1988:83). Bahkan jika dirasa menyinggung rasa serta keyakinan keagamaan orang lain bisa saja konsep dzimmy sebagai sebuah bentuk institusi politik itu ditinggalkan, mengingat kandungan shari’ah konsep tersebut tidak mengikat (Saif, 1995:128).
Pemeliharaan konsep dzimmy sebagai sebuah institusi politik Islam dalam bentuk formalnya akan sangat membatasi ruang gerak umat Islam dalam berperan serta menjadi pemeran politik dunia. Oleh karena itu, meskipun konsep dzimmy pada dasarnya merupakan institusi politik pemerintahan Islam untuk mewujudkan keadilan bagi kalangan minoritas, untuk masa sekarang nampaknya sudah tidak relevan lagi. Disamping mengandung implikasi politik yang berbau pejoratif, khusus untuk negara Indonesia, prosedur konstitusional yang mendapatkan affirmasi dari seluruh body politics menunjukkan bahwa negara ini di bangun di atas kebersamaan. Pada hal konsep dzimmy jelas dibangun di atas logika politik dimana prinsip “group-ownership of state” masih sangat mendominasi percaturan politik Islam.