Oleh: Tedi Kholiludin
4 Maret 1861, Abraham Lincoln diangkat menjadi Presiden Amerika Serikat. Saat Partai Republik memunculkan nama Lincoln sebagai kandidat presiden, berkembang sebuah rencana besar. Mereka tidak akan memperluas lagi perbudakan. Selain itu, dibuat pula ancang-ancang pemisahan South Carolina dari Uni Amerika atau Amerika Serikat. Di Selatan, suara anti perbudakan yang nyaring di wilayah utara membuat mereka gerah.
Kekuatan ekonomi di utara selama ini memang agak berselisih dengan mereka yang di Selatan. Jika di utara industrialisasi dan liberalisme begitu mencuat, tidak demikian halnya di selatan. Banyak dari mereka yang masih mempertahankan perbudakan dengan mempekerjakan para budak kulit hitam. Mereka bekerja di ladang-ladang pertanian untuk para petani kaya.
Negara-negara bagian yang ada di selatan seperti South Carolina, Mississippi, Florida, Alabama, Georgia, Louisiana, dan Texas ada di blok yang hendak menyatukan kekuatan “pro-perbudakan” itu. Menyusul bergabung kemudian adalah Virginia, Arkansas, Tennessee, dan North Carolina. Mereka membentuk “Konfederasi.” 8 Pebruari 1861, negara konfederasi (confederate state) resmi didirikan di bawah kendali Jefferson Davis.
Berbeda dengan rencana sebelum terpilih menjadi presiden, Lincoln mengubah kebijakan. Di pidato pelantikannya, Lincoln menyerukan untuk mengokohkan posisi Uni. Ikatan Uni harus dipulihkan kembali. Terjadilah perang saudara alias perang sipil Amerika (american civil war). Dengan kekuatan 11 negara bagian, negara-negara konfederasi menancapkan perlawanan pada 14 April 1861 terhadap Amerika Serikat.
Situasi ini direspon cepat oleh Lincoln. Presiden yang berasal dari utara ini kemudian mengerahkan para relawan untuk memblok tentara konfederasi pimpinan Robert E. Lee. Perang saudara ini sejatinya tidak berimbang. Utara jelas memiliki kelebihan. Mereka beranggotakan 23 negara bagian dengan 22 juta penduduk. Selatan? Mereka hanya 11 negara dengan 9 juta jiwa.
Pertempuran di pelbagai tempat tak bisa dielakkan. Korban dari kedua belah pihak tak bisa dihindarkan. Lebih dari 600.000 nyawa melayang dalam perang yang berlangsung dari 1861-1865 itu. Tak terhitung berapa banyak ibu-ibu yang kehilangan anak tercintanya. Mereka larut dalam duka yang tak biasa. Senyum manis sang buah hati tak lagi mereka jumpai. Bukan saja kehilangan anak-anaknya, para isteri ini juga banyak yang kehilangan suami.
Penderitaan para ibu ini begitu menyelami sanubari seorang perempuan kelahiran New York, Julia Ward Howe. Lahir tahun 1819, Howe berkembang dalam tradisi Calvinis yang sangat ketat. Setelah meninggalnya ibu dan ayahnya, Howe diasuh oleh pamannya yang “liberal-minded.” Ia berkembang dalam tradisi tersebut hingga dewasa. Pada usia 21 tahun, Howe menikah dengan Samuel Gridley Howe. Samuel adalah seorang Unitarian. Julia Howe kemudian turut menjadi Unitarian.
Selama perang sipil, Julia ikut merawat para tentara yang terluka, bekerja dengan para janda dari kedua belah pihak. Julia tak henti-hentinya mengingatkan imbas dari perang itu kepada kaum perempuan. Julia menghendaki agar semua perempuan Amerika bersatu. Ini semacam gerakan perlawanan Julia terhadap perang saudara yang sejatinya menguntungkan elit politik semata.
5 tahun setelah perang sipil (1870), Julia memproklamasikan Mother’s Day. Sebuah pernyataan tegas dan bernas tentang penentangan terhadap kekerasan. Seruan yang begitu keras membahana kepada perempuan agar bangun dan tegak berdiri. “Arise, then, women of this day! Arise all women who have hearts, whether our baptism be that of water or of tears!… We women of one country will be too tender of those of another country to allow our sons to be trained to injure theirs . . . From the bosom of a devastated Earth a voice goes up with Our own. It says: “Disarm! Disarm! The sword of murder is not the balance of justice.”
“Mother’s Day Proclamation” adalah tonggak perlawanan seorang feminis, abolisionis terhadap diskriminasi. Perjuangan untuk kemerdekaan serta kebebasan yang digemakan oleh kaum perempuan. Julia mengajak kaum perempuan untuk membangun semangat pacifism dan menentang segala bentuk eksploitasi politik.
Julia berjuang agar pada tahun 1870 itu juga ada pengakuan formal terhadap “Mother’s Day for Peace.” Namun ia gagal. Ide untuk mengajukan pengakuan itu muncul saat Julia bekerja bersama Anna Jarvis saat perang sipil. Anna pernah mengajukan Mothers Work Days pada 1858. Puteri Anna yang juga bernama Anna Jarvis melanjutkan cita-cita sahabat ibunda, Julia. Akhirnya perjuangan Annna junior ini berhasil. Mother’s Day kali pertama dirayakan di West Virginia pada tahun 1907 di gereja dimana Anna mengajar Sekolah Minggu. Secara resmi, peringatan Mother’s Day mulai pada 1912 dan Presiden Woodrow Wilson mendeklarasikan Mother’s Day secara nasional pada tahun 1914. Setiap hari minggu di minggu kedua Mei, warga Amerika memperingati salah satu momen penting ini.
Julia tak hanya dikenal sebagai proklamator Hari Ibu untuk Perdamaian, tapi juga seorang penulis puisi yang handal. Lirik di lagu “The Battle Hymn of Republic” adalah buah karyanya. Lirik ini muncul kali pertama di halaman depan Majalah Bulanan Atlantik edisi Pebruari 1862. Lirik di lagu inilah yang kemudian dijadikan chant oleh klub-klub sepakbola seperti Manchester United dengan mengganti bagian reff-nya “Glory glory Hallelujah” dan diganti menjadi “Glory glory Man United.” Demikian, perjuangan Julia dan “Hari Ibu” di Amerika.
Di Jogja, 22-26 Desember 1928, kongres pertama perempuan Indonesia diselenggarakan. Penggagasnya, Nyonya Soekonto, Nyonya Suwardi (istri Ki Hajar) dan Nona Soejatin (guru di Taman Siswa). Mereka berniat memulai babak baru perjuangan kaum perempuan. Sekolah untuk kaum perempuan harus diperbanyak. Nasib anak yatim dan janda juga harus diperhatikan. Perdebatan tentang poligami juga mengemuka diantara mereka yang pro dengan yang menolak.
Tahun 2013, upacara peringatan Hari Ibu di Indonesia dimajukan, bukan 22 Desember tapi 18 Desember. Karena 22 Desember 2013 bertepatan dengan hari minggu (libur, red), instansi pemerintahan memajukan seremoninya empat hari sebelum hari H. Lalu digelar pelbagai lomba yang biasa dinisbatkan pada pekerjaan Ibu; memasak nasi goreng. Di hari itu, ibu dibebaskan dari peran domestiknya. “Ritus” yang semakin meneguhkan kalau perempuan itu ada di ruang domestik.