Oleh: Ceprudin
Hari ini, 22 Desember, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai hari ibu. Boleh dikata, zaman sekarang sudah tak lagi musimnya perempuan hanya berdiam di rumah dengan mengelola (dari masak hingga bersih-bersih-red) dapur. Di tengah geliat kebebasan berekspresi ini (baik perempuan maupun laki-laki-red) ternyata masih banyak perempuan yang termarjinalkan. Perempuan penganut aliran kepercayaan misalnya. Mereka kerap mendapat perlakuan yang tak adil di ranah publik. Mereka sering mendapat cibiran di masyarakat, bahkan tak jarang mendapatkan hinaan karena mereka menganut kepercayaan (bukan agama “negara”-red).
Ibu-ibu penghayat tak jarang mendapat cibiran yang sejatinya tak pantas diterima oleh sesama masyarakat yang punya. Cibiran atau cacian seperti itu, mengakibatkan semangat sense of belonging kaum penghayat pada keprcayaannya berkurang. Terbukti, di Jateng aktifis atau gerakan perempuan penghayat keprcayaan nyaris tak ada. Dari sekian banyaknya istri-istri penghayat, banyak yang terpaksa beragama “negara”. Ini tentu menjadi sangat memprihatinkan. Ibu dan perempuan adalah faktor penting dalam keluarga. Perempuan adalah faktor utama dalam membina mental anak-anak dalam keluarga.
Regenerasi
Kondisi yang menimpa ibu-ibu penghayat ini memang karena banyak faktor. Menurut penuturan salah satu perempuan penghayat perorangan, Hendira Ayudia S, mereka kerap mendapat cemoohan dari masyarakat sehingga minder dan terasingkan. Bagi Hendira, satu di antara ribuan perempuan penghayat yang mengenyam pendidikan tinggi, konidisi seperti itu harus dilawan. Tanpa perlawanan, kondisi seperti itu akan terus berlanjut hingga anak dan cucu.
Dengan kondisi demikian, jika tak secepatnya perempuan penghayat mengadakan gerakan. Bisa jadi, jika kondisi demikian berlanjut, regenerasi penganut aliran kepercayaan akan semakin berkurang. Perempuan dalam rumah tangga sangat penting perannya dalam mendidik jiwa dan mendal anak.
Sehingga ketika ibu-ibu penghayat mempunyai semangat juang yang tinggi, maka semangat itu akan tertularkan pada anak-anaknya. Seorang anak yang mendapat didikan militan dari orang tuanya ia pun akan menjadi militan. Keberlangsungan regenerasi penganut aliran kepercayaan harus tetap diberlangsungkan.
Generasi itu, yang menciptakan adalah keluarga yang ditopang oleh ibu. Dengan itu, penting kiranya ibu-ibu penghayat untuk segera mengadakan gerakan. Paling tidak ketika mendapat cibiran dari masyarakat tak merasa gentar. Justru mereka bisa bangkit “melawan”.
Penting kiranya, perempuan penghayat mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, perempuan penghayat juga harus membentuk sebuah organisasi. Organisasi itu untuk membuat gerakan kawah candra dimukanya perempuan penghayat. Jika di Nahdlatul Ulama (NU) ada Fatayat dan Muslimat, maka perempuan penghayat juga harus memikirkan untuk membuat gerakan model tersebut.