Kasus Nabi Palsu di Karanganyar: Permasalahan Tanpa Solusi yang Akan Terus Berulang

Oleh: Yayan M. Royani

Problem kebebasan beragama dan berkeyakinan seakan tidak akan pernah hilang di Indonesia khususnya di Jawa Tengah. Sebagaimana diberitakan Suara Merdeka bahwa Kapolres Karanganyar, AKBP Nazirwan Adji Wibowo mengatakan, pihaknya menerima laporan adanya seseorang yang mengaku sebagai nabi. Saat ini aparat tengah mendalami kasusnya, karena dinilai akan meresahkan masyarakat.

Pihaknya mendapatkan laporan terkait munculnya nabi palsu di Karanganyar beberapa bulan silam. Kendati demikian, Kapolres enggan membeberkan identitas dan alamat nabi palsu tersebut. “Kami akan mengawasi dan memantau nabi palsu tersebut. Saya sudah melaporkan masalah itu ke Bupati agar segera diselesaikan. Caranya sama dengan ketika kita menyelesaikan kasus yang sebelumnya, aktifkan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), ajak dialog,” kata dia kepada wartawan, Selasa (29/1).

Dia mengatakan, jika dibiarkan bisa jadi penyelesaiannya akan lain. Bisa anarkhi dan lainnya. Karena itu sebaiknya segera dilaksanakan upaya agar diundang, diajak berbicara bersama dengan seluruh anggota FKDM. Sebab forum ini sudah berjalan bagus.

“Ulamanya ada, tokoh masyarakat ada, tokoh agama juga lengkap. Pemerintah ada, polisi dan TNI siap memback-up. Mudah-mudahan dengan model pendekatan dialog itu, cara menyelesaikannya akan enak,” kata dia yang masih enggan bicara detail soal nabi palsu itu.

Dia mencontohkan kasus pengrusakan rumah milik salah satu pengikut ingkar sunnah yang terjadi pada 2012 silam. Kasus tersebut harus dirampungkan dengan mempertemukan pihak terkait dengan para toga di Karanganyar.

Sehingga permasalahan tersebut tidak melebar hingga mengakibatkan konflik horizontal. “Sudah dilaporkan langsung ke Bupati Karanganyar, jangan sampai berpotensi menimbulkan konflik masyarakat,” papar Kapolres.

Melihat kutipan berita di atas, maka bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Akan tetapi pada kesempatan kali ini, pembahasan hanya difokuskan kepada kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) serta peran Negara dalam melindungi hak asasi tersebut.

Baca Juga  Kementerian Agama Tidak Layani Masalah Penghayat Kepercayaan

Sampai saat ini Negara masih inkonsisten dalam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan umat beragama dan berkeyakinan. Di satu sisi, kebebasan dilindungi dan di sisi lainnya dibatasi. Alih-alih bertujuan menciptakan harmonisasi, justru ketidaktegasan inilah yang menjadi akar permasalahan KBB yang tidak pernah selesai di Indonesia ini.

Sebut saja dalam regulasi, dimana Indonesia telah meratifikasi kovenan Sipil dan Poltik (SIPOL) yang secara substansi memberikan acuan kebebasan beragaman dan berkeyakinan secara absolut. Yaitu menempatkan keyakinan kepada ranah yang tidak dapat diintervensi maupun diadili. Dalam kenyataan UU No. 1 PNPS 1965 yang membatasi keyakinan seseorang masih diberlakukan.

Pasal-pasal dalam UU No.1 PNPS 1965 telah menjadi keranjang sampah bagi perbuatan yang berkaitan dengan keyakinan dan berbeda dari mayoritas (manstream). Bagi para penganut kebatinan ataupun kepercayaan lainnya menjadi serasa orang asing di rumah sendiri, karena tidak ada perlindungan bahi hak dasar mereka. Lebih dari itu, mereka justru menjadi kambing hitam dalam segala kericuhan akibat perbedaan  kepercayaan.

Melihat kasus adanya nabi palsu di Karanganyar, motifnya sebagaimana Ahmadiyah, dimana masyarakat percaya adanya seseorang mendapatkan wahyu untuk kemudian menjadi Nabi. “Rohmad adalah imam bagi kami untuk 100 tahun mendatang. Rohmad orang yang dipilih untuk meneruskan ajaran Allah yang dibawa Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Nantinya, setiap 100 tahun juga akan dipilih kembali seorang imam yang ditugaskan untuk meluruskan ajaran dari Allah,” terang Suparmin, Jumat Salam Online. Com. 15/2/2013.

Mengingat permasalahan identik dengan kasus Ahmadiyah, maka penyelesaian perkarapun akan sama yaitu menggunakan UU No. 1 PNPS 1965. Adapun endingnya sudah akan terlihat, yaitu ditobatkan, diperingatkan, dibekukan atau dibudarkan. Adapun apabila sampai kepada penodaan agama, maka akan dipidana dengan penjara maksimal 5 tahun penjara,

Baca Juga  Identitas Penghayat Kepercayaan

Bercermin dari kasus Ahmadiyah, maka dapat dipastikan akan ada korban-korban yang berjatuhan akibat ketidaktegasan pemerintah, sebagaimana kasus Cikesik dll. lahirnya SKB sebagai konsekuensi dari penerapan UU No. 1 PNPS 1965, telah menimbulkan intimidasi, terror dan kekerasan yang terus menerus terhadap Ahmadiyah. Padahal, jika dilihat secara yuridis, sesungguhnya SKB tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Pada akhirnya, kerena SKB yang tidak tegas, masyarakat akan terus mempertanyakan kepastian status Ahmadiyah.

Kembali kepada kasus Nabi Palsu di Karanganyar, solusi yang dilakukan sampai saat ini adalah dengan menggelar dialog yang diselenggarakan MUI, pertemuan tersebut digelar di Masjid Agung Karanganyar, Jumat (15/2/2013) Salam-online.com /2013/02/. Adapun isinya tentu bukan dialog akan tetapi penghakiman dan pemaksaan untuk bertaubat Pada peristiwa ini, sesungguhnya usaha Negara sebagai fasilitator telah mengalami reduksi dan harus dipertanyakan kenetralannya.

Adapun dalil yang selalu digunakan adalah itu-itu saja, terutama Pasal 1 UU No.1 PNPS 1965 yang berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran  tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai  kegiatan-kegiatan  keagamaan  dari  agama  itu,  penafsiran  dan  kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Oleh karena regulasi yang digunakan sama, maka permasalahan yang timbulpun akan serupa. Adapun secara substansi, permasalahan yang berkaitan langsung dengan KBB adalah frasa penafsiran agama dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Dalam hal ini, penafsiran merupakan hak preogatif seseorang dan dilarang untuk dintervensi. Meskipun di awal telah dikatakan bahwa hal tersebut dilarang di muka umum, itupun telah melanggar kebebasan berekspresi.

Dipandang dari sudut HAM memang harus diakui bahwa ada pembatasan-pembatasan pada kedua masalah di atas, akan tetapi pada kenyataannya pembatasan sebagaimana dalam UU No. 1 PNPS 1965 lebih menitik beratkan kepada kepentingan agama yang dilindungi, bukan kepentingan umum, sebagaimana ada dalam ketentuan Kovenan SIPOL yang telah diratifikasi.

Baca Juga  Muslim Berpengaruh dan Studi Suzanne Keller
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini