
Semarang, elsaonline.com – Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj menegaskan, beragama Islam tak cukup hanya bersandar pada al-Quran dan Hadis. Hematnya, beragama itu harus diimbangi dengan akal pikiran.
”(untuk memahami ajaran Islam itu) Al-Quran dan Hadis saja tidak cukup, tapi harus dengan akal,” jelasnya, disela ceramah pelantikan pengurus PWNU Jateng periode 2018-2023 di Hall Masjid Agung Jawa Tengah, Selasa 2 Oktober 2018 lalu.
Guru besar peradaban Islam ini menjelaskan, dalam sejarah perkembangan Islam, dikenal empat Imam Mazhab. Di antara empat Imam Mazhab itu, ada ulama besar yang membangun prinsip-prinsip wasathyah, yaitu imam As-Syafi’i. Meskipun usianya hanya 54 tahun, Imam Syafi’i berjasa besar dalam tradisi pemikiran Islam.
“Beliau berjasa besar, luar biasa jasanya (Imam Syafi’i) itu. Meletakan dasar-dasar berfikir, memahami agama Islam agar menjadi wasathan menggabungkan antara al-Quran dan Hadis sebagai nash serta digabungkan dengan akal. Al-Quran saja tidak cukup, harus dengan Hadis. Al-Quran dan Hadits saja tidak cukup, harus dengan akal,” tegasnya kembali.
Ijma’ dan Qiyas
Begawan yang dibesarkan di lingkungan Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat ini melanjutkan, akal dalam tradisi pemikiran Islam ada dua. Ada akal kolektif yang dinamakan ijma’ atau konsensus dan akal individual yang namanya qiyas. Tanpa akal, tanpa ijma’ dan qiyas, maka pemahaman (terhadap agama Islam) tidak akan menjadi pemahaman yang wasathan.
“Maka Imam Syafi’i berjasa besar meletakan dasar-dasar prinsip Yurisprudensi dalam memahami syariat Islam,” jelasnya.
Kiai Said mencontohkan, dalam al-Quran perintah salat disebut 62 kali. Tapi al-Quran tidak menjelaskan berapa kali salat itu dan namanya pun tidak disebutkan.
”Yang ada (hanya kata-kata perintah seperti) harus sholat, wajib sholat, dirikan sholat, (perintah itu) sampai 62 kali. Baru dalam hadis ada penjelasan, bahwa salat itu lima waktu, namanya duhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh,” paparnya. Karena itu, lanjutnya, tidak cukup hanya berpegang pada al-Quran, tapi juga harus berpegang pada hadis.
”Juklak” Salat
Mengenai salat, masih belum cukup hanya berpegang pada al-Quran dan Hadis. Sebab belum ada ”juklak” (petunjuk pelaksanaannya). Menurut kiai Said, Teknis praktik salat, bukan dari al-Quran juga bukan dari hadis, tapi dari ijmaul ulama. Para ulama sepakat bahwa salat yang seperti dilakukan sekarang ini, menurut Imam Syafii, rukunnya ada 17.
”Ada niat, ruku’, sujud dan seterusnya, itu hasil dari konsensus para ulama. Bukan dari al-Quran juga bukan dari Hadis. Syaratnya harus Islam, baligh, berakal, suci dari hadas besar dan kecil, suci dari najis, badan pakaian dan tempat itu bukan dari al-Quran, tapi dari ijma’ ulama,” terangnya.
Oleh karena itu, sarannya, jika menghendaki benar dalam memahami agama Islam, harus taqlid pada salah satu imam mazhab. Salah satu dari Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii atau Imam Hambali.
Di atas merupakan contoh penggunaan ijma ulama. Kiai Said lalu mencontohkan penggunaan akal qiyas. Menurutnya, umat Islam jika tidak menggunakan qiyas, tak bisa berbuat banyak.
”Narkoba, sabu-sabu, ekstasi, haram (hukumnya) dari mana itu (sumbernya)? Dari al-Quran? Di al-Quran ada (ayat yang menjelaskan) narkoba itu haram? Sabu-sabu ada (ayatnya) dalam al-Quran?
”Apa ada juga dalam hadis ganja itu haram? Sumbernya haram itu menggunakan analogi. Ini fakta qiyas burhani. Ini faktanya, barang memabukan. Barang yang memabukan masuk golongan khomr, khomr di al-Quran ada, hukumnya haram,” jelasnya.
Kembali Pada al-Quran dan Hadis
Pemahaman seperti ini penting, kata Kiai Said. Pasalnya, saat ini marak pengajian-pengajian yang menyerukan untuk kembali hanya pada al-Quran dan Hadis. Para penceramah karbitan ini tak segan menghukumi haram ritual-ritual atau kegiatan-kegiatan keseharian yang tidak ada dalam al-Quran dan Hadis.
”Mereka berpidato mari kembali pada al-Quran dan Hadis, dengan menggebu-gebu. Semoga di semarang gak ada, tapi Jakarta banyak. Atau di Solo lah banyak. (Ustaz karbitan ini biasanya ceramah begini) Tidak usah taqlid, langsung saja al-Quran dan Hadits,” paparnya.
Pada kesempatan itu, Kiai Said bercerita pengalamannya berdialog bersama kelompok-kelompok yang menyeru kembali pada al-Quran dan Hadis. Kelompok-kelompok seperti ini cenderung merasa paling fasih dalam memahami Islam. Sehingga membuat tertarik Kiai Said untuk berdialog.
”Sini-sini saya tanya, hadis yang paling nomor satu itu hadis siapa? Mereka jawab, Imam Bukhori. (Mereka merasa) sudah cukup al-Quran dan Hadis Bukhori. (lalu Kiai Said memberi jawaban lagi) ’Eh, mas ustaz, saya juga tahu ahli hadis nomor satu itu Imam Bukhori. Dikira aku gak ruh apa. Tapi ente itu tidak tahu, mas ustaz, Imam Bukhori, imam hadis nomor setunggal itu muridnya Imam Syafi’i, masyallah,” ceritanya, gemes. (Cep)