Konflik di Semarang Hanya Riak Kecil

[Semarang –elsaonline.com] Sejak masa reformasi hingga sekarang, eskalasi konflik horizontal yang berbasis agama di Kota Semarang, bisa dikategorikan sangat kecil. Itulah salah satu faktor yang membuat Indeks Demokrasi Kota Semarang masuk kategori yang baik pada level nasional.

Meski dalam penegakan hukum terbilang kurang maksimal, namu urusan kehidupan keberagamaan relatif kondusif. Ini berbeda dengan kota-kota lain di Jawa. Seperti Jawa Timur dan Jawa Barat. Inilah yang patut menjadi perhatian bagi masyarakat dan pemerintah. Bagaimana supaya kondisi seperti ini tetap terjaga.

Sejarawan Semarang Rukardi mengurai beberapa hal yang membuat kondisi kehidupan keberagamaan di Semarang berjalan damai. Sependek pengamatanya sepanjang sejarahnya, di Semarang memang jarang terjadi konflik horizontal berbasis agama.

Pemimpin Redaksi Tabloid Cempaka ini mengajak untuk berefleksi kebelakang, mulai sejak ula dibukanya Pulau Tirang (Tirang Amper). Ia mengajak merunut sejarah Semarang mulai dari masa Ki Ageng Pandan Arang.

”Menurut Babad Nagari Semarang, kedatangan Pandan Arang ke Tirang Amper (nama daerah sebelum jadi Semarang) untuk syiar Islam, memang sempat mendapat penentangan dari para Ajar (pendeta Hindu). Para Ajara itu yang menguasai pedukuhan-pedukuhan kecil di kawasan tersebut,” katanya, kemarin.

Namun, lanjutnya, penolakan yang berujung konflik itu berhasil diselesaikan dengan baik. Bahkan beriringan dengan waktu para Ajar itu kemudian menyatakan kesediaan untuk memeluk agama Islam.

Begitu juga dengan masa kolonial, gerakan zending menyebarkan agama Kristen dan Katholik juga tak terlalu beroleh penentangan dari masyarakat pribumi, Arab, dan Koja yang memeluk Islam. ”Pemerintah kolonial sebagai pelindung zending, mau bertenggang rasa, misalnya dalam soal pembatasan penyebaran injil terjemahan dalam bahasa Jawa,” ungkapnya.

Meskipun demikian, tak dipungkiri bahwa di Semarang pernah terjadi konflik berdasar agama. Namun konflik hanya dalam skala kecil dan kemudian bisa diselesaikan. Masih menurut Rukardi, konflik berbasis agama, pernah terjadi di Kampung Melayu, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara pada awal abad ke-20-an.

Baca Juga  Suara Kelompok Rentan Belum Diperhatikan

”Tapi akhirnya juga berhasil diselesaikan dengan baik, sehingga Kelenteng yang sempat ditolak pendiriannya oleh warga itu dapat dibangun dan bertahan sampai sekarang. Silakan baca tulisan saya di SM pada 2006,” katanya, sembari memberikan alamat sebuah berita di Koran Suara Merdeka Online.

Konflik Kecil
Tulisan tersebut berjudul “Kelenteng Kecil di Kawasan Islam”. Isinya menceritakan sejarah tempat ibadah umat Tridarma yang berada di kawasan yang mayoritas warganya beragama Islam. Nama Kelenteng itu Kam Hok Bio. Kelenteng kecil tersebut terletak di Jalan Layur, kawasan Kampung Melayu Semarang.

Sebagaimana diketahui, kawasan itu banyak dihuni warga keturunan Arab dan etnis Melayu beragama Islam yang datang dari luar Jawa, beberapa abad silam. Di antara bangunan yang berderet di Jalan Layur, Kelenteng Kam Hok Bio amat mudah ditemukan.

Ia terlihat mencolok dengan warna dinding merah menyala, serta atapnya yang berhias empat patung naga. Kalau boleh disebut, kelenteng menjadi land mark lain di jalan itu, selain Masjid Menara. Meski berbeda, ia menjadi elemen pembangun harmonisasi kawasan tersebut.

Kalau dirunut ke belakang, proses pendiriannya pernah mendapat penolakan. Tahun 1900, warga Tionghoa yang bermukim di kawasan Kampung Melayu ingin membangun tempat ibadah. Di bawah koordinasi Liem A Gie, mereka iuran membeli sebidang tanah di tepi Kali Semarang.

Belum sempat batu pertama diletakkan, Pemerintah telah melakukan pelarangan. Usut punya usut, kebijakan itu didasari oleh penolakan warga etnis Arab yang lebih dominan. Menghadapi penolakan itu, warga Tionghoa lantas menggunakan jasa pengacara, namun tetap tak membuahkan hasil.

Warga Tionghoa akhirnya merasa perlu minta petunjuk di Kelenteng Gedungbatu. Liem Tian Joe dalam Riwajat Semarang mengisahkan, mereka akhirnya merasa mendapat sebuah jawaban.

Baca Juga  Omi Komariah Madjid : “Istri Cak Nur Pertama, ya, Buku.”

”Pembikinan pasti bisa dilandjoetken, pertoeloengan djoega bisa didapetken pada satoe orang kaoe boleh ketemoeken; jang tempat tinggalnya akoe oendjoekken. Tempat tinggalnja poen soedah terang, di kidoel-koelon ini sekarang, kaoe ketemoekenlah itoe orang, kerdjaan tentoe tidak dilarang.”

Orang-orang Tionghoa menindaklanjuti petunjuk itu dengan mencari orang yang dimaksud. Maka, didatangilah seorang Rooimeester yang tinggal di Peloran, yang dari letaknya, berada di arah kidoel-koelon (barat daya) Kampung Melayu.

Rooimeester kemudian berkirim surat kepada Gubernur Jenderal di Buitenzorg (Bogor). Beberapa bulan kemudian, surat itu mendapat balasan. Pembangunan kelenteng bisa dilanjutkan. Hanya butuh waktu sekitar satu tahun, pembangunannya berhasil diselesaikan. Warga Tionghoa yang tinggal di Kampung Melayu merayakannya dengan sembahyangan.

Kini, setelah lebih dari satu abad berjalan, Kelenteng Kam Hok Bio masih tetap bertahan. Warga keturunan Arab tak lagi mempersoalkan. Mereka bisa hidup berdampingan secara harmonis, tanpa mempermasalahkan perbedaan keyakinan. [elsa-ol/@tedikholiludin, @Ceprudin/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini