
[Semarang – elsaonline.com] Meski secara umum identitas masyarakat Semarang itu adalah pedagang, tapi mereka akan merasa cukup saat hasilnya itu sudah bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tak ada ambisi untuk untuk menjadi saudagar kaya.
Hal tersebut diungkapkan oleh Budayawan Semarang, Djawahir Muhammad dalam diskusi publik bertajuk “Menggali Identitas Masyarakat Muslim Semarang”, Kamis (14/3). Diskusi berlangsung di Simpang Lima Residence diikuti puluhan komunitas kajian di Kota Semarang.
Kegiatan tersebut Terselenggara atas kerjasama antara Pengurus Wilayah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) dan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang. Hadir pula sebagai narasumber, Guru Besar Antropologi Universitas Diponegoro, Prof Mudjahirin Thohir.
Djawahir menandaskan bahwa karakteristik masyarakat Semarang itu lebih baik jadi majikan kecil, daripada kacung besar. “Secara sederhana untuk mendeskripsikan budaya masyarakat Semarang yang cepat puas dengan kata itu. Meskipun mereka tak terlalu kaya, namun mereka lebih memilih mempunyai usaha sendiri ketimbang, menjadi karyawan perusahaan besar,” ungkapnya.
Pria kelahiran Gang Petek 1 Kelurahan Dadapsari setuju dengan riset yang menyatakan bahwa Semarang kota paling bahagia di Indonesia. Dia menyutujui itu karena sangat dekat dengan budaya masyarakat Semarang yang jujur, lurus, apa adanya.
“Kalau ada riset yang mengatakan Semarang Kota terbahagia, itu mendekati benar dan saya setuju. Budaya masyarakat Semarang itu kan nerimonan (menerima apa adanya-red). Tapi prinsipnya sangat baik, mereka enggan menjadi kacung,” katanya, menyambung pernyataan peserta diskusi, Khoirul Anwar.
Banyak Pengusaha
Mantan korektor harian Suara Merdeka ini membandingkan pengusaha-pengusaha yang ada di Semarang dengan yang ada di kota/kabupaten lain. Menurutnya, di Semarang pengusaha sangat banyak, namun tak sekaya di daerah-daerah lain.
“Jiwa wirausahanya orang-orang Semarang itu sangat luar bisa. Hampir semua orang punya potensi. Mungkin itu, karena mereka tak mau jadi kacung itu. Tapi ya pengusaha-pengusaha Semarang tak sekaya pengusaha di Kudus, Jepara dan lainnya,” ungkapnya.
Budaya itu, lanjutnya, berimbas dengan semangat keberagmaan para kiai dalam membangun pesantren. Dulu, katanya, di Semarang ada pesantren-pesantren salaf yang terbilang cukup besar. “Sekarang juga masih ada, namun tak sebesar seperti Demak, Kudus, dan Jepara,” tambahnya.
Sejatinya, Semarang adalah kota santri dari dulu. Saat Ki Ageng Pandanaran dilantik sebagai pemimpin Semarang oleh Sultan Trenggono, adat atau sumpah yang digunakan adalah sumpah dengan cara Islam.
“Awal penyebaran Islam di Semarang adalah Bergota (sekarang, red),” tutur Djawahir. Setelah dari Bergota, Ki Ageng Pandanaran kemudian membuka wilayah baru yang sekarang dikenal dengan nama Bubakan. Disini, ia membuka sejenis padepokan. Saat berada di Bubakan inilah sifat Ki Ageng Pandanaran agak berubah. “Dari tadinya qonaah, sekarang jadi agak terbuai materi. Untuk mengendalikan nafsu duniawinya, Ki Ageng kemudian mendalami spiritual,” tutur Djawahir.
Pembicara lain, Prof Mudjahirin Thohir menjelaskan secara konseptual apa itu kebudayaan dan siapa yang disebut masyarakat muslim Semarang itu. Mustasyar PWNU Jateng ini mencoba menggali identitas muslim Semarang secara epistimologis. Sebagai antropolog ia mengungkapkan kejelasan perjumpaan berbagai budaya yang ada di Semarang.
“Kalau saya lebih kepada sisi konsepnya saja. Ketika hendak mengungkap sebuah identitas maka harus jelas siapa yang pertama kali datang, bagaimana proses perjumpaannya dan dikaitkan dengan apa yang sekarang ini terjadi. Kalau itu semua sudah terpenuhi maka itulah penelitian ilmiah,” tukasnya.
Mudjahirin mengatakan bahwa ia tidak akan menjelaskan apa itu Semarang, tetapi lebih menekankan pada bagaimana mengkaji budaya Semarang itu. Kita bisa mengenal kebudayaan dari beberapa sisi. Pertama, kebudayaan menurut awam. Ini identik dengan kebiasaan. Kedua, menurut seniman, yang identik dengan kesenian. Ketiga, kebudayaan dalam arti luas yakni cara hidup sebuah masyarakat.
Sumber acuan sebuah tindakan itu bermacam-macam. Ada yang bersifat konstitutif atau kepercayaan, kognitif, evaluatif dan ekspresif. “Kita ingat cerita Malin Kundang di daerah Sumatera. Orang tua mendidik anaknya dengan dongeng. Cerita Malin Kundang itu fiktif, tapi ada nilai moralnya,” terang Mudjahirin. Termasuk didalamnya adalah mitologi. Misalnya, lanjut Prof Mudjahirin adalah cerita tentang Nyi Roro Kidul. “Bagi orang awam, mitos itu bohong. Tapi bagi akademisi hal tersebut adalah cerita sakral yang coba dibstraksikan.”
Orang Semarang itu, punya kebahagiaan lebih. Tapi itu sebenarnya hanya ada di level of comfort, nrimo ing pandum (menerima takdir). Lalu banyak orang NU yang ngerem-ngeremi. “Lebih baik menjadi orang kecil tapi tidak masuk ke KPK”, ujar Mudjahirin. [elsa-ol/Cep]