Maluku dan Jawa Tengah dalam Percakapan

Oleh: Tedi Kholiludin

Pada 10-14 September 2022, 73 orang pendeta dari Gereja Protestan Maluku (GPM) datang ke Semarang dan Salatiga. 68 orang diantaranya adalah Ketua dan Sekretaris Klasis, sisanya pengurus harian sinode. Klasis adalah manajemen tengah dalam struktur sinode. Dibawah mereka ada para pendeta jemaat. GPM sendiri memiliki 34 klasis; 30 di Maluku dan 4 di Maluku Utara.

Kehadiran mereka di Jawa Tengah merupakan bagian dari kegiatan Leadership Training bagi pimpinan klasis tersebut. Tak sekadar mendapatkan input dari berbagai kalangan, mereka juga tentu berkesempatan untuk mencium aroma lain dari wilayah di tengah Jawa yang dalam banyak hal berbeda dengan Maluku.

Mula-mula mereka hadir di Kota Semarang dan mengikuti beberapa aktivitas; beribadah di Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Blenduk, Kota Lama dilanjutkan dialog dengan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah Taslim Sahlan. Selepas itu, mereka disapa oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Di Kabupaten Semarang, para pelayan umat itu mengakrabi santri di Pesantren Edi Mancoro. Perjalanan kemudian dilanjut ke Kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Kantor DPRD dan lain sebagainya.

Ketua Sinode GPM, Pdt. Elifas Maspaitella mengatakan dalam beberapa kesempatan bahwa kegiatan ini, sesuai dengan Namanya adalah pelatihan kepemimpinan untuk memperkuat kapasitas dan memperluas wawasan serta cakrawala para pendeta. Saya kebetulan turut mengisi salah satu sesi yang ketika itu dihelat di UKSW.

Pembelajaran sebenarnya bisa dilakukan dua arah. Tidak hanya pendeta-pendeta tersebut yang menyerap dan mengambil pelajaran, tapi juga sebaliknya. Komunitas atau kelompok masyarakat di Jawa Tengah berkesempatan mengenali dinamika provinsi dengan gugusan ribuan pulau tersebut.

Baca Juga  Memberdayakan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

***

Jika yang menjadi sorotan utama adalah bagaimana memulihkan dan menjaga simpul-simpul yang pernah terkoyak, saya kira, Maluku perlu menjadi model. Jawa Tengah, atau kota-kota di tengah Jawa ini, tidak memiliki konflik terbuka laiknya Maluku pada 1999-2000. Bukan berarti tidak ada konflik sama sekali, karena di Solo ada kerusuhan 14-15 Mei 1998 yang mengakibatkan kerugian materi karena banyak toko dijarah serta juga ada korban jiwa. Namun, eskalasi dan jenis konfliknya berbeda dan tidak sepanjang yang ada di Maluku.

Pemulihan atas situasi yang terjadi pada 1999-2000 jelas bukan perkara gampang. Bahkan, residunya masih terasa hingga sekarang, belum betul-betul tuntas. Dari segala lini, upaya untuk memulihkan dan merekatkan kembali tali persaudaraan yang pudar diupayakan, meski kerapkali kepentingan politik kembali membuatnya renggang.

Medium untuk menjadi ruang bersama, tak sekadar sisi yang bersifat seremonial; dialog, seminar, audiensi, pernyataan bersama, namun juga menyentuh pada dimensi keseharian serta budaya populer. Satu waktu, dalam sebuah percakapan santai, Pendeta Elifas menyampaikan kepada saya bahwa pasar tradisional bisa menjadi ruang perjumpaan yang mempertemukan kelompok-kelompok berbeda tersebut. Pedagang yang beragama Islam mengambil bahan pokok dari para petani yang pada umumnya beragama Kristen atau sebaliknya. Relasi ini, mau tak mau, harus terjalin karena ada sambungan yang harus dijaga. Inilah “quotidian institutions” yang berpotensi mencairkan hubungan-hubungan antar mereka yang pernah ada dalam satu ketegangan (Soedirgo, 2021)

Pada 2019, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizations (UNESCO) atau organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang bergerak dalam bidang Pendidikan, keilmuan dan kebudayaan menetapkan Ambon sebagai salah satu Kota Musik Dunia UNESCO. Musik adalah instrumen universal yang melewati tembok-tembok pagar-pagar identitas. Secara langsung musik tidak berfungsi sebagai pemadam kebaran. Ia mungkin serupa obat yang lewat infusan, menetes perlahan.

Baca Juga  Preventif Terapi dan Preventif Nutrisi Kala Isolasi Mandiri

Kisah-kisah seperti ini yang penting juga untuk dibagikan kepada masyarakat lain yang secara karakteristik pengelolaan keragaman, mungkin belum menghadapi situasi seberat teman-teman di Maluku.

Lalu pelajaran apa yang didapatkan dari Semarang atau Salatiga, dua kota dimana teman-teman Pendeta GPM menyambanginya?

Pertama, tentu soal masyarakat muslim sebagai kelompok besar yang ada disana. Tak hanya tentang infrastruktur kebudayaannya, seperti pesantren, masjid, dan lainnya, tetapi juga tentang struktur otoritas, varian kelompok serta pengaruh di masyarakat yang lebih luas.

Kedua, jika Maluku, seperti yang saya sebut diatas, punya pengalaman dalam soal merehabilitasi dan menjaganya, Jawa Tengah punya cerita dalam menjaga. Jika itu dianggap sebuah keberhasilan, maka tentang bagaimana menjaga keseimbangan antar kelompok itu penting untuk ditularkan.

Terakhir, terkait dengan falsafah kebudayaan dua tradisi tersebut. Masing-masing tradisi pasti memiliki jangkar kebudayaan yang kokoh. Tantangannya adalah bagaimana agar etika kebudayaan itu tetap menjadi pertahanan kultural kelompok masyarakat dari berbagai aspek yang berpotensi menghasilkan friksi.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini