Semarang, elsaonline.com– Yayasan Pemberdayaan Komunitas (YPK) ELSA bersama Kementerian Agama Kota Semarang menyelenggarakan Diskusi “Pengelolaan Aliran Keislaman di Kota Semarang. Kegiatan ini dihadiri oleh para penyuluh Agama Islam dan peneliti ELSA serta dilaksanakan di Ruang Rapat Kantor Kemenag, Kota Semarang, Selasa (13/09).
Ketua YPK ELSA, Tedi Kholiludin, membuka sekaligus mengenalkan kerja-kerja kemanusian yang telah dilakukan oleh ELSA. Acara ini, kata Tedi, harapannya menjadi agenda kerjasama berkelanjutan dengan para penyuluh agama dalam merawat dan memantau keberagaman yang sudah berjalan.
“Selama ini kami lebih seringnya diskusi dan sharing dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama (Balitbang) Kemenag dalam konteks riset, semoga kedepannya dapat juga saling berbagi dengan para penyuluh ini,” tuturnya.
Syarif Hidayatullah, selaku ketua Pokja Penyuluh Agama Kota Semarang memaparkan serta menggambarkan sejarah aliran keislaman di Semarang mulai awal abad ke-19 hingga abad ke-20 pada kelompok Ahmadiyah dan Syiah.
Setiap peringatan Asyuro oleh kelompok Islam Syiah, menurut Syarif, sejak taahun 2016, bisa dipastikan ada penolakan dari kelompok Islam lain dalam penyelenggaraanya. Untuk menghindari hal demikian, supaya bisa diterima oleh kalangan lainnya, penggunaan kata peringatan Syuro sempat diganti dengan acara haul cucu nabi, yaitu Imam Husein.
“Iya tetap saja masih ditolak dari kelompok islam lainnya yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Semarang (FUIS),” bebernya.
Meskipun keberadaan Asyuro pada tahun 2022 tidak ada aksi penolakan, namun di tingkat atasnya ada Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS).
“Kelompok Syiah adalah warga negara yang harus dilindungi juga, kalau tidak melanggar undang-undang yang berlaku dan konstitusi,” tegas Syarif.
Selanjutnya diskusi disambung lagi oleh Tedi Kholiludin. Ia menggambarkan tentang karakteristik mobilisasi kelompok militan lokal di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang mempunyai kecenderungan berbeda.
Meskipun sama-sama memiliki karakteristik yang “eksklusif”, di Jawa Timur tidak banyak tumbuh mobilitas kelompok-kelompok militan, menurut Tedi, ada tiga hal yang menjadikan gerak mobilitas kelompok militan di Jawa Timur sulit berkembang.
Pertama, adanya figur pengaruh kiai yang memiliki sekaligus menjadi pengasuh di pesantren-pesantren besar. Kedua, ada sekaligus kuatnya jaringan antar-pesantren. Ketiga, kompetisi yang kecil antar kelompok militan untuk meraih perhatian. Ketiga hal tersebut tidak terjadi di wilayah Jawa Barat sehingga menyebabkan banyaknya tumbuh kelompok-kelompok militan yang lahir.
Masih menurut Tedi, Kota Semarang merupakan suatu wilayah yang unik dan menarik dalam segi kultur kehidupan masyarakatnya. Ada tiga ciri khas masyarakat, yaitu kontraktual, pasar sebagai pusat identitas budaya, serta kebudayaan masyarakat yang hibrid sekaligus dinamis. Tidak dapat dipungkiri kalau kota Semarang oleh kalangan akademis dan pengamat budaya dijuluki kota dengan “Tuan Rumah Kebudayaan Bersama.”
Munculnya kelompok-kelompok aliran keislaman baru di Kota Semarang, tentu harus menjadi perhatian khusus bagi para penyuluh agama dalam melakukan pengelolaan terhadap aliran-aliran baru Islam, supaya keutuhan masyarakat supaya situasi tetap damai dalam meminimalisir konflik di kehidupan masyarakat. (Thohari/RA)