
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
Saya pagi tadi ada acara di Undip, lalu dikasih tahu bahwa ada Andree Feillard, tapi orangnya tidak ada. Baru nanti malam ketemu Andree. Saya mengucapkan ulang tahun yang ke 21 untuk Justisia (Lembaga Penerbitan Mahasiswa di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, red). Anak saya yang pertama baru berumur 16 tahun, eh sorry, 15 tahun. Justisia lebih tua dari anak saya yang pertama. Jadi kalau mahasiswa itu hampir selesai S1. Sudah cukup dewasa. Dan saya bilang tadi ke teman-teman di Undip bahwa Justisia ini merupakan salah satu jurnal yang dikelola oleh mahasiswa yang terbaik di Indonesia. Saya mengatakan begini bukan karena saya dikasih mix lho ya, dan bukan karena saya berharap dikasih honor dari sini. Tapi saya jujur. Saya dulu pernah bekerja di ISAI (Institut Studi Arus Informasi) yang dulu pada zaman orde baru mengelola kegiatan training jurnalistik untuk mahasiswa dan kantor kami bekerjasama dengan pers mahasiswa. Dari Undip, UGM, IAIN Semarang, Jogja dan saya lihat Justisia ini saya anggap paling baik sekurang-kurangnya dari kontinuitas redaksi. Saya mengikuti Justisia ini sejak sebelum Sumanto di Amerika hingga dia di Amerika sampai sekarang ini. Dan saya melihat ada kontinuitas keredaksian yang cukup bagus.
Tema Jurnal Justisia juga selalu tema yang abnormal, yang di luar pakem dan selalu thought provoking, menggugah orang berpikir. Dan saya kira tugas para cendekiawan dan kaum terpelajar di dunia kampus dan para nabi-nabi. Sebenarnya tugas nabi adalah thought provoking membuat masyarakat berpikir kembali, melihat sesuatu dengan paradigma yang berbeda dan menjungkirbalikan paradigma yang sudah mapan. Tugas dunia pemikiran dan dunia ide dan orang-orang yang jadi praktisi dunia ide adalah membuat orang yang selama ini sibuk dengan suatu jenis paradigma tertentu dijungkirbalikan cara berpikirnya, dan dengan begitu kita bisa melihat masalah dengan berbeda.
Tema Jurnal Justisia ini menarik sekali, Masjid Sebagai Tempat Kontestasi Ideologi. Di sini saya punya gagasan begini. Kalau kita lihat tempat ibadah orang Islam dan Kristen ada perbedaan yang fundamental. Konsep mengenai Church dengan Masjid itu sangat beda fundamental. Gereja dalam Kristen itu identic dengan sekte. Misalnya GKI, GKJW, atau GPIB itu jelas afiliasi sektariannya. Jadi gereja dengan sekte dan paham itu memang sangat erat. Oleh karena itu gereja di dunia Kristen adalah arena pertarungan gagaasan atau paham yang berseberangan satu dengan lainnya. Bahkan jadi arena inkuisisi atau pengadilan iman kepada orang yang berbeda. Orang Kristen itu kalau bertikai karena satu paham mereka keluar dari gereja dan mendirikan gereja baru. Jadi kayak partai. Ada yang tidak setuju dengan PDI bikin PDIP. Jadi kalau tidak setuju dengan gereja maka keluar dari dan mendirikan gereja baru dengan paham yang baru.
Dalam Islam menurut saya, masjid dalam Islam itu karakternya ideologically free. Ia bebas dari ideologi. Kalau kita baca konsepsi masjid dalam madzhab Syafi’i. dalam madzhab itu kan setiap satu mashr satu tempat, satu masjid. Tidak peduli orang disitu adalah Sunni, Syiah, Mu’tazilah atau Khawarij. Yang jelas satu desa satu masjid. Dan masjid dalam konsepsi Islam itu tidak bisa dimonopoli oleh satu ideologi. Dan menurut saya sebaiknya begitu. Masjid itu kalau bisa dinetralkan dari pertarungan politik dan pertarungan ideologi. Khutbah Jum’at itu kalau bisa juga dinetralkan dari pertikaian paham. Saya di Jakarta itu kalau sholat Jumat kesulitan sekali mencari sholat Jumat yang netral ideologi itu susah. Di masjid ini maki-maki Gus Dur, liberalisme dan JIL (Jaringan Islam Liberal). Kesana lagi maki-maki Syiah. Jadi sholat Jumat itu jadi arena permakian nasional. Itu menurut saya tidak sehat. Menurut saya masjid dalam Islam berbeda naturenya dengan gereja dalam Kristen.
Orang itu datang ke masjid ya datang saja. Mau Muhammadiyah ya terserah. NU juga. Jadi masjid itu untuk semua orang. Bukan milik NU, Muhamadiyah, PKB, PKS, Demokrat, Golkar bukan milik PAN misalnya. Menurut saya masjid harus dinetralkan. Pada dasarnya masjid itu ruang publik, public sphere. Meski pada faktanya memang tidak bisa seluruhnya dinetralkan dari ideologi.
Saya mau cerita, Masjidil Haram, kalau kita baca bukunya Profesor Khalid Abou El-Fadl, “The Great Theft,” dan kalau baca buku ini saya jadi terharu sekali. Masjidil Haram, pada masa Turki Usmani saat musim haji, jadi arena perjumpaan atau festival keragaman di dalam umat Islam. Jadi kalau ingat cerita dulu, di satu sudut Masjidil Haram ada madzhab Syafi’i. Disitu ulama Syafi’i mengajar di sudut itu. Ada sudut Madzhab Hanafi, Hanbali, Maliki ada sudut ahli kalam dan sufi. Pada waktu musim haji itu menurut cerita Profesor Khalid Abou El-Fadl ada festival para sufi yang memperagakan tarian atau ritual sufi. Misalnya ada tarian Darwish, tarian tarekat Maulawiyah dari Turki yang muter-muter. Ada tarekat Naqsyabandi melalui dzikirnya. Jadi, berbagai tarekat diberi tempat untuk memperagakan keragamannya. Persis seperti fungsi kota Makkah pada masa pra Islam. Ketika itu pada masa musim haji ada yang disebut festival kesenian. Semua penyair dari seluruh penjuru Arab datang kesitu memperagakan keahlian dalam bersyair. Jadi unsur menampung keragaman di masjid itu ada. Jadi itu yang menurut saya khas dalam Islam. Jadi masjid sebagai tempat yang mengakomodasi keragaman, bukan arena untuk mengeksklusi. Menurut saya, tantangan kita sebagai umat Islam dan bangsa Indonesia bagaimana membuat masjid ini netral ideologi.
Dulu saat masa orde baru masjid juga jadi kontestasi ideologi untuk alat kooptasi pemerintah memasukan ideologi Pancasila. Kubahnya bukan kubah Walisongo tapi Pancasila, segi lima. Jadi Allah dikerangkeng dalam Pancasila; memenjarakan Tuhan dalam konsepsi politik yang namanya Pancasila. Itu berbahaya sekali. Jadi kita harus menetralkan masjid.
Jadi kalau kita mau menyebarkan paham, sebaiknya di luar masjid. Karena masjid itu ruang komunikasi personal dengan Tuhan. Itu adalah hablum minallah disitu. Kalau mau dakwah pemikiran, sebaiknya di ruang seminar, di kampus, pesantren, madrasah dan institusi yang memang dikhususkan untuk itu. Tapi masjidnya sendiri, haruslah masjid yang netral ideologi. Karena kalau tidak, konsekuensinya adalah orang Islam akan seperti orang Kristen. Tiap kelompok punya masjid sendiri. Nanti Muhamadiyyah punya sendiri, Ahmadiyah punya sendiri, Syiah punya sendiri, Sunni punya sendiri. Sunni pun dibagi-bagi. Sunni NU punya sendiri, Sunni Muhamadiyah punya sendiri, Sunni Persis punya sendiri. Kalau ini terjadi maka akan terjadi “polusi adzan.” Adzan sudah banyak, sekarang saja sudah banyak sekali. Masjid yang Sunni saja sudah banyak sekali. Makin terjadi polusi adzan.
Buat saya, masjid itu harus disterilkan dari kontestasi ideologi dan dinetralkan. Bahkan kalau bisa masjid dijadikan sebagai pasar perbedaan. Disitu kita bisa mengakomodasi segala jenis paham. Khotbah Jum’atnya pun bisa menampung semua jenis madzhab. Minggu ini, khotbah ala HTI, minggu depan ala JIL, minggu depan ala NU, Muhammadiyah. Maksud saya ada keragaman seperti itu. Masing-masing orang dapat mendakwahkan pemikirannya meskipun ada resiko juga terjadi persaingan paham. Tapi kalau saya lebih suka masjid itu tempat kita menyembah Allah. Disitulah hablum minallah. Kalau bisa, dinetralkan dari pertikaian paham yang membuat masjid itu menjadi arena sektarianisme. Tidak sehat. Dalam sejarah Islam, masjid itu karakternya tidak begitu. Masjid bukan arena untuk dimana suatu paham ditubuhkan atau diorganisasikan. Masjid adalah milik semua orang. Kembalikan masjid pada umat, bukan milik satu kelompok.
Itu pikiran sederhana saya, persembahan untuk Jurnal Justisia yang ke 21.
Ini yg gw kagumi dari Ulil. Selalu jujur dan realistis. Penuh gagasan dan inovasi. Maju terus mas Ulil !