Menjaga Warisan, Menyelamatkan Kenangan: Tentang Pasar Imlek Semarang

Oleh: Tedi Kholiludin

Secara tak sengaja, saya mengunjungi Pasar Imlek yang dihelat di wilayah Pecinan Semarang, Kamis (08/02/2024). Tak sengaja, karena mulanya saya mengajak anak dan istri sholat maghrib di Kauman lalu berniat melanjutkan ke Kota Lama. Setelah mengisi perut di perempatan Jalan KH. Wahid Hasyim, mobil saya arahkan ke kawasan Pecinan untuk berputar arah mencari jalan ke Kota Lama.

Saya lalu teringat satu hal, Hari Imlek yang akan jatuh pada Sabtu (10/02/2024). Biasanya, Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) rutin menggelar Pasar Imlek yang sudah dilakukan sejak 2003 itu. Namun, berbeda halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, belum ada informasi yang saya dapat mengenai Pasar Imlek tahun 2024. Rupanya malam itu adalah pembukaan Pasar Imlek. Pengunjung sudah ramai berdatangan menyambangi berbagai stand yang tersedia di sepanjang Gang Warung. Kami pun langsung mengubah tujuan, dari yang mulanya hendak ke Kota Lama bergeser ke Pasar Imlek.

Ketika berhenti menunggu Najma dan Faza yang tengah bertransaksi, saya berpapasan dengan Harjanto Halim, Ketua Kopi Semawis. Ia tampak sedang mengatur tamu undangan dan mempersilahkan mereka untuk menyantap makanan di sebuah tempat khas Pasar Imlek, Tuk Panjang.

Saya bertanya kepada Harjanto Halim mengapa publikasi kegiatan Pasar Imlek di tahun 2024 ini tak terlampau besar. Sembari mengatur persiapan pembukaan, pengusaha yang juga peduli terhadap budaya itu mengungkapkan alasan pokok. Karena momen Imlek berdekatan dengan hari pemungutan suara, ia ragu, apakah pemerintah akan memberikan izin untuk kegiatan tersebut.

Keraguannya nyaris mendekati keyakinan kalau Pasar Imlek tak diberikan izin oleh pemerintah. Bersama koleganya di Kopi Semawis, ia tak banyak mempersiapkan diri karena alasan tersebut. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah memberi izin even kebudayaan yang sudah menjadi penanda kawasan Pecinan.

Baca Juga  Kontekstualisasi “Resolusi Jihad”

***

Selain memiliki dampak secara ekonomi, Pasar Imlek tentu saja menjadi ruang ekspresi, khususnya kalangan Tionghoa. Ekspresi untuk menunjukkan identitas kolektifnya, terjadi di tempat dan momen tersebut. Mereka yang hadir perlihatkan tontonan pelbagai pernak-pernik serta pertunjukan Baronsai serta musik alunan musi khas Etnis Tionghoa. Pun dengan kuliner yang sudah sangat lekat dengan aktivitas keseharian masyarakat.

Pasar Imlek, atau bahkan Imlek itu sendiri merupakan sumberdaya kebudayaan yang menjadi energi pengingat bagi kalangan Tionghoa khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ingatan tentang bagaimana orang-orang Tionghoa menanam saham kebudayaan di sebuah kota penting untuk dijaga.

Sebagai salah satu pemilik saham atas kebudayaan kota, maka kelompok Tionghoa perlu terus memupuk agar kebudayaannya yang telah berperan menjadi salah satu sokoguru peradaban kota itu terus tumbuh dan berkembang di tengah derasnya kompetisi dengan budaya-budaya baru.

Sebagai tuan rumah kebudayaan bersama (shared host culture) dengan penyumbang tradisi lainnya, maka sungguh ironi jika salah satu fondasi kebudayaan kota mulai berkurang vitalitasnya. Kekhawatiran akan menurunnya pengaruh budaya itu pantas untuk diapungkan mengingat ada fakta yang tak terbantahkan bahwa generasi muda Tionghoa seperti berjarak dengan akarnya. Tak hanya budaya yang bersifat material, tetapi juga filosofi dan perspektifnya.

Secara grafik, Etnis Tionghoa di Indonesia sejatinya bukan kelompok kecil. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Etnis Tionghoa terbesar di dunia (di luar Tiongkok atau Cina). Salah satu sumber menyebut, sekurang-kurangnya ada 7,6 juta Etnis Tionghoa ada di Indonesia, lebih besar dari Thailand (7 juta). Jika dibandingkan dengan komposisi suku bangsa, maka kelompok ini hanya lebih kecil dibandingkan Jawa, Sunda dan Batak. Artinya, secara populasi, ada kesempatan besar untuk menyelamatkan pelbagai warisan kebudayaan mengingat tersedianya sumberdaya. Belum lagi kalau bicara kekuatan ekonomi, jejaring dan lainnya.

Baca Juga  Kasus-kasus Bernuansa Agama di Jawa Tengah (Januari-Juni 2014)

Adanya gap antar generasi sejatinya bukan khas terjadi pada kalangan Tionghoa saja, tetapi sudah menjadi isu di semua kelompok sosial. Tinggal, bagaimana menegosiasikan antara harapan dengan kenyataan yang sudah ada di depan mata.

***

Gap ini yang masih saya lihat dalam perhelatan Pasar Imlek Semarang tahun 2024 kemarin. Nuansanya masih era romantik, belum terlihat sentuhan milenialnya. Anak-anak muda tersebut, bukannya tanpa kepedulian, tapi perlu pantikan agar ada perwujudan untuk menunjukan kebanggaan primordialnya itu. Pemanfaatan teknologi akan sangat memberi makna bagi eksistensi Tionghoa di Tengah-tengah masyarakat serta derasnya arus perubahan. Dan, hari ini, pemegang kendali atas teknologi informasi adalah anak-anak muda.

Satu waktu saya pernah diminta komentar oleh salah satu mahasiswi Desain Komunikasi Visual (beretnis Tionghoa) yang sedang membuat video pendek tentang Pecinan Semarang. Ia membuatnya pada masa pandemi tahun 2020. Walhasil, ia tak bisa menyisir wilayah Pecinan dan sekitarnya, karena penjarakan sedang diketatkan. Namun dengan segala keterbatasan itu, ia berhasil membuat sebuah karya yang memadukan antara wawancara langsung, gambar-gambar karikatural, sedikit video on the spot, dan dokumen-dokumen sejarah. Sebagai awam dalam soal teknologi, saya melihat karyanya sebagai produk yang sangat baik. Kepeduliannya terfasilitasi oleh teknologi dan latar belakang pendidikannya. Kenangan dan warisan yang lahir pada era lawas, dihadirkan dan dijaga vitalitasnya melalui sentuhan teknologi serta interpretasi baru tanpa menghilangkan nilainya.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Di Balik Ketenangan Jalsah Salanah di Krucil Banjarnegara

Oleh: Tedi Kholiludin Letak Dusun Krucil, Desa Winong, Kecamatan Bawang...

“Everyday Religious Freedom:” Cara Baru Melihat Kebebasan Beragama

Oleh: Tedi Kholiludin Salah satu gagasan kebebasan beragama yang...

Penanggulangan HIV dan Krisis Senyap di Garda Depan

Oleh: Abdus Salam Staf Monitoring Penanggulangan HIV/AIDS di Yayasan ELSA...

Fragmen Kebangsaan dari yang Ter(Di)pinggirkan

Oleh: Tedi Kholiludin Percakapan mengenai kebangsaan dan negara modern, sering...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini