Oleh: Nazar Nurdin
Geliat politik jelang pemilihan presiden menyisakan banyak catatan. Tokoh politik, agama diajak menggalang dukungan. Begitu pula dengan para pengusaha, akademisi dan purnawirawan polisi atau tentara. Mereka kompak mengusung tokoh yang diinginkan menjadi pemimpin Indonesia.
Tokoh agama misalnya dari Nahdlatul Ulama’ mendaratkan kakinya pada pemimpin yang diinginkan. Ada yang di kubu Gedung Juang dan kubu Rumah Polonia. Begitu juga dengan tokoh agama dari Muhammadiah. Secara organisasi berposisi netral, tapi secara pribadi boleh mendulung suara bagi tokoh yang diinginkannya.
Ini menjadi catatan menarik. Bagi NU misalnya, dia cenderung bermain pada dua kaki. Yang jelas, dua kaki yang dimaksud itu ada di kubu Jokowi-Jusuf Kalla dan kaki satunya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Para calon pemimpin Indonesia itu sadar, menjadi pendulum suara bagi ormas keagamaan terbesar di Indonesia ini memudahkan jalan menuju RI 1. Suaranya pun jadi rebutan. Siapa yang berhasil menggandeng tokoh kharismatik diprediksi menang. Begitu sebaliknya.
Sebenarnya, bagaimana sikap politik NU itu sendiri? Dari latar belakang sejarah, Martin Van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru (1999) mengatakan NU sudah melepaskan diri dari afiliasi politik sejak Mukmatar di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984. Sejak saat itu, NU mengikrarkan diri menarik dari politik praktis dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal NU. Pandangan politik inilah yang kerap dilihat sebagi kembali ke Khittah 1926.
Meski telah digariskan jauh politik, warga NU terutama para politikus NU yang berada di Parlemen terpecah. Hal itu lantaran sikap politik para politikus NU yang jarang melibatkan PBNU dalam mengambil keputusan. Kondisi diperparah ketika pimpinan PBNU mengambil jalan sendiri tanpa berdiskusi kepada dewan syuriah.
Sejak saat itulah terjadi friksi dan intrik politik di kalangan NU. Mereka yang tak suka menyebar ke berbagai jaringan dan instansi politik lain. Mereka tak menggunakan nama NU, tapi sebagai warga NU non struktural.
Maka wajar, ketika ada sekarang ini para pimpinan NU mengambil sikap berbeda-beda. Dewan Syuriah PKB misalnya, KH Idris Marzuki bilang Jokowi fasih membaca sholawat dan untuk itu, dia adalah orang NU sejati. Begitu juga, pernyataannya tentang JK yang merupakan anggota dewan pertimbangan (musytasar) PBNU. Dua tokoh ini pun didukung oleh anak kandung NU, Partai Kebangkitan Bangsa dan tokoh-tokoh NU, As’ad Said Ali, KH Hazim Muzadi dan Khofifah Indar Parawangsa.
Satu sisi, kubu yang mendukung Prabwo juga sama. Mesti tak secara gamblang bahwa simbolik mereka NU, tapi semangat dan visi–misi yang diajukan sesuai jalur dan perjuangan NU. Inilah yang diklaim beberapa pihak, terutama Said Aqil, Mahfud MD dan beberapa tokoh NU lain. Mereka berpaling dari Jokowi dan memilih Prabowo.
NU sendiri agaknya tak ingin kehilangan momentum dalam pilpres ini. Mereka rela menginjakkan pada dua kaki. Meski dalam khittah politik NU tak ada yang memaksa untuk memilih seseorang, tapi sikap dan tindakan para tokoh bisa dilihat jelas. NU ingin menempatkan kaki di pemerintahan ke depan, siapapun Presiden dan Wakil Presidennya.
Aspirasi Politik
Warga NU sendiri rata-rata berada di pedesaan. Jumlahnya dua kali lipat dari perkotaan. Pandangan politik mereka berbeda dengan pilpres sebelumnya. Masyarakat kulutral NU kini tidak bisa percaya hanya dengan dogma politik dari tokoh NU untuk memilih pemimpinnya. Hal demikian berbeda ketika tokoh NU bicara soal agama, ibadah dan ritus sosial.
Wejangan politik untuk memilih pemimpin pada titik ini, menurut penulis, sudah mulai tak bertuah. Masyarakat lebih peduli jika berpartisipasi dengan imbalan. Entah, program, uang, dorprise maupun hadiah yang dijanjikan ketika terpilih.
Masyarakat kulutral yang semakin cerdas dan pragmatis itu tidak sepatutnya salah. Mereka dijejali dengan cara-cara pragmatis sebagaimana diajarkan para politikus. Hal inilah sisi lain dari berhasilnya demokrasi.
Meski demikian, langkah NU dalam menggaet dukungan patut dikritisi. Sudah sepatutnya jika memang tak berafiliasi politik, jangan pernah muncul ke publik mendukung calon tertentu. Jika memang ingin menaati dan mempraktekkan kembali ke khittah, jalan para tokoh NU tersebut patut dikoreksi, bukan hanya untuk menanamkan kaki.