Oleh : Iwan Madari (Fotografer Lepas)
elsaonline.com Penanda budaya dapat terlihat pada bentuk mie di seluruh dunia dalam ukuran, bentuk. Dari kultur tradisional Cina yang sering disebut makanan panjang umur melintasi benua, negara & batas budaya, lalu berakar kuat dalam sebuah kebudayaan tiap negeri, melalui jalur sutra menjadi spaghetti dalam kultur italia, mie aceh, mie jowo dalam kultur Indonesia.
Tanpa perdebatan panjang, mie mempunyai hubungan kebudayaan & kultur Jepang, hal ini dapat dilihat dalam salah satu varian mie yang bernama ramen, jika seseorang berpikir tentang ramen dia mesti langsung mengkaitkan dengan Jepang. Ramen mempunyai memiliki sejarah panjang berubah sesuai dengan perubahan masyarakat tersebut.
Walaupun ramen sudah menjadi ikon Jepang tapi sebenarnya berasal dari Chuka soba & Shina soba yang artinya adalah “Mie China” tapi punya konotasi yang berbeda, istilah yang lebih sering digunakan setelah Perang Dunia 2 adalah Chuka Soba, sebab kata “shina’ adalah kata yang sangat kontroversial sebab kata itu adalah penyebutan Jepang pada Cina semasa pendudukan pada Perang Dunia 2. Sekarang tak ada mie china yang relatif mirip dengan Ramen Jepang.
Sejarawan & penulis George Solt menuliskan mitos tentang ramen dalam bukunya: The Untold History of Ramen: How Political Crisis in Japan Spawned a Global Food Craze.
Cerita pertama tentang ramen adalah sekitar abad 17, Seorang bernama Shu Shunsui yang membawa resep itu ke Jepang & dia menjadi advisor Tokugawa Mitsukuni, penguasa Jepang zaman feodal tapi tak ada catatan sejarah kalau dia membuat ramen.
Cerita kedua tentang ramen adalah abad ke 19 saat Jepang membuka pelabuhannya (Yokohama & Kobe) untuk dunia. Pembukaan kota pelabuhan Jepang menarik para pengunjung dari Cina dan Sup Mie China yang disebut Laa-Mein ikut dibawa masuk ke Jepang. Makanan ini yang diduga kuat adalah pendahulu ramen sekarang walaupun Laa-mein tak mempunyai topping dan tak mirip ramen modern.
Teori terakhir dan paling masuk akal mengaitkan asal mula ramen ke sebuah toko bernama Rai Rai Ken di Tokyo selama tahun 1900-an. Rai Rai Ken mempekerjakan pekerja Cina dan menyajikan hidangan mie yang disebut Shina Soba. Shina Soba memasukkan bahan-bahan yang menyerupai ramen sekarang seperti babi panggang, kue ikan Jepang, dan rumput laut nori ke dalam satu hidangan.
Menariknya, Jepang menjadi negara industri dan lebih urban selama periode waktu ini. Industrialisasi dan urbanisasi Jepang membantu mempopulerkan ramen. Shina soba murah dan mengenyangkan, menyediakan banyak kalori untuk pekerja perkotaan Jepang. Selain itu, mesin pembuat mie mekanik secara umum digunakan saat ini.
Mesin-mesin ini mempersingkat waktu untuk menyiapkan mie. Semua kondisi ini menjadikan ramen makanan yang sempurna untuk dimakan. Itu adalah makanan yang tepat pada waktu yang tepat. Ramen diintegrasikan ke dalam kehidupan perkotaan modern Jepang yang menjadikannya akar pertama dalam budaya dan sejarah Jepang.
Hari-Hari Gelap Ramen
Pada 1940-an, perang mengubah segalanya. Ramen pun menghilang, kekurangan makanan tetap ada setelah perang berakhir pada 1945, dan Solt mengatakan bahwa tahun-tahun antara 1944 dan 1947 adalah periode kelaparan terburuk dalam sejarah modern Jepang. Dia mengutip seorang sarjana makanan Jepang yang lahir pada tahun 1937 menulis ingatannya tentang periode itu:
Sejak 1944, bahkan di pedesaan, lapangan atletik sekolah lokal diubah menjadi ladang ubi jalar. Dan kami memakan setiap bagian dari tanaman ubi jalar, dari daun hingga ujung akarnya. Kami juga memakan setiap bagian dari kabocha yang kami tanam, termasuk biji dan kulitnya. Untuk protein, kami makan kumbang, larva kumbang, dan serangga lain yang kami temukan di akar tanaman yang kami petik, yang kami bakar atau hancurkan. Bahkan di pedesaan, makanan pun langka.
Setelah perang berakhir, ribuan pasar gelap termasuk stan makanan bermunculan, meskipun secara teknis ilegal (otoritas pendudukan AS melanjutkan penjatahan makanan dan larangan penjual makanan di luar ruangan) dan orang yang menjual ramen juga akan dianggap kriminal dan bisa dipenjarakan.
Selama periode kelaparan ini, ramen mewakili pandangan yang berlawanan dengan masa sekarang, pada masa itu ramen adalah simbol kemewahan. Selain itu, bentuk ramen baru muncul setelah perang dunia 2. Momofuku Ando mensurvei efek samping yang menghancurkan dari perang. Banyak orang menderita kelaparan, dan itu adalah masalah yang dia putuskan untuk menjadi masalah terbesar di Jepang. Dia terinspirasi untuk menciptakan makanan yang akan mengakhiri kelaparan di negaranya.
Dia mulai membuat makanan yang tidak mudah rusak, ekonomis, cepat dan mudah dibuat. Sudah menyaksikan kesuksesan ramen di masa lalu, Ando bertujuan untuk membuat ramen sendiri. Hasil akhirnya adalah ramen instan! Ramen instan adalah sukses karena orang sekarang dapat menikmati ramen lezat di rumah mereka sendiri dengan harga yang relatif murah. Ando menetapkan tujuannya untuk mengakhiri kelaparan dengan ramen!
Ramen menjadi simbol dan figur historis kebudayaan jepang. Ramen mencapai kepopuleran di seluruh dunia, ramen tradisional tetap ada di kebudayaan Jepang tapi sulit untuk menemukan dibelahan dunia lain. Di sisi lain, mie instant tersedia di seluruh dunia, tersedia di berbagai warung sampai supermarket.
Mie instan sangat populer di kalangan pelajar karena murah dan terjangkau harganya. Walaupun ramen menjadi trend global , tetapi akarnya tetap kuat dalam sejarah Jepang. Ramen menjadi seperti sekarang berkat peristiwa sejarah yang terjadi di Jepang dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Mie Ayam Indonesia.
Mie ayam yang asli memang bawaan dari Cina Selatan terutama dari daerah-daerah pelabuhan di Fujian dan Guandong. Setelah gerakan besar imigrasi orang-orang Arab dan Cina tahun 1870 ke Jawa karena politik keterbukaan imigran Pemerintahan Hindia Belanda, berkembanglah dengan pesat kantong-kantong pemukiman penduduk timur asing yang disebut `Vreemde Oosterlingen’. Meledaknya peningkatan penduduk dari Cina Selatan ini menambah preferensi selera makan karena mereka juga membawa ilmu gastronomi.
Di tanah kelahirannya, bakmi dibuat dari tepung terigu dan disajikan dengan kuah terpisah. Di atas mi biasanya ditambahkan lauk berupa potongan daging berbumbu serta sayuran. Daging yang umumnya digunakan di Cina adalah daging babi. Namun, saat “hijrah” ke Indonesia melalui hubungan perdagangan, bakmi berubah menyesuaikan lidah lokal.
Menurut Chef Edwin Lau, daging babi kemudian diganti dengan daging ayam karena banyaknya kerajaan islam di nusantara, kemudian masakan mie yang berkuah ini bervariasi menyesuaikan tiap daerah yang ada di Indonesia. Kawasan di Indonesia yang paling lekat dengan jenis makanan ini adalah Wonogiri, Jawa Tengah. Di daerah tersebut, mi ayam adalah menu sehari-hari warganya dan banyak dijajakan dalam bentuk gerobak seperti juga di kota-kota besar lain di Indonesia.
Mie ayam khas Wonogiri terdiri dari semangkuk mi yang di atasnya diberi potongan ayam semur, sawi rebus, daun bawang, bakso dan pangsit. Mie ini bisa disajikan dengan kuah atau kering.Persamaan dengan ramen adalah mie ayam adalah keduanya adalah makanan mie dengan kuah yang berasal dari daratan Cina dibawa oleh imigran Cina adapun ramen tetap menggunakan topping daging babi sementara mie ayam sesuai namanya memakai ayam sebagai topping sebagai pengganti babi mengingat penduduk Indonesia mayoritas muslim, keduanya sama-sama merakyat di dua bangsa tersebut. Para ekspatriat Jepang di Indonesia pun menyebut mie ayam sebagai ramen.