Satukan Jiwa Nusantara ala Trijaya

Padepokan Trijaya, Tegal
Padepokan Trijaya, Tegal

[Tegal –elsaonline.com] Sunyi-senyap, hanya terdengar suara gemericik air gunung yang mengalir ke kolam-kolam ikan berukuran besar. Sesekali terdengar suara hewan malam sahut-sahutan mengiringi pergantian waktu antara siang dan malam. Cuaca gunung yang dingin menusuk ke dalam tubuh hingga tulang sum-sum.

Lereng gunung Slamet dengan pohon pinus lebat, ditambah bangunan-bangunan berdinding anyaman bambu menambah eksotisme dataran gunung. Bangunan dengan dinding bambu itu berjejer menjadi satu kompleks dengan luas sekitar dua hektar. Ya, aura eksotis itu terpancar dari Padepokan Wulan Tumanggal.

Padepokan ini merupakan pusat pelaksanaan kegiatan Pendalaman dan Penghayatan ajaran anggota —atau akrab disebut Putra Tegal— Perguruan Trijaya. Pusat kegiatan para Putra Tegal ini berada di Desa Dukuh Tengah, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal.

Untuk sampai di tempat ini, dari Jalan Panturan harus melewati jalan berliku, hutan jati dan pinus antara Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Tegal. Sebelum sampai Kabupaten Tegal, terlebih dahulu harus melewati Kecamatan Randu Dongkal dan Kecamatan Moga Kabupaten Pemalang bagian selatan.

Usai melewati jalan berlubang puluhan kilometer sepanjang Randu Dongkal dan Moga itu, baru memasuki perbatasan antara yang masuk ke Kecamatan Bojong. Meskipun ada di lereng gunung, untuk menemukan padepokan ini tak terlalu sulit karena satu arah dengan objek wisata Guci, Tegal.

Sekitar 25 kilometer sebelum objek wisata Guci, di Desa Dukuh Tengah terdapat petunjuk arah bertuliskan besar ”Padepokan Wulan Tumanggal”. Tak jauh dari jalan arah ke Guci itu, sebelah kiri terdapat gerbang besar padepokan sebagai penanda sudah memasuki kompleks padepokan.

Kompleks padepokan yang luas menjadikan suasana sunyi, terlebih menjelang malam tiba. Begitu elsaonline tiba di padepokan itu tak langsung menemui pengurusnya. Setelah menghubungi tuan rumah, akhirnya keluarlah salah satu pengurusnya.

Baca Juga  Mbah Pringis, Santri Tionghoa dan Eksperimentasi Kebudayaan Hibrid

”Mari Mas masuk, saya Ketua Umum DPP Perguruan Trijaya,” ucap pria paruh baya yang tak lain adalah Karyoto yang mempunyai nama perguruan, K Tedja Sulaksana. Putra Tegal rata-rata mempunyai nama sesuai yang diberikan dari perguruan. Bergegaslah elsaonline menuju tempat sesuai yang diarahkan Tedja.

Sepanjang jalan dari gerbang padepokan menuju tempat yang dituju, di kanan kiri terdapat bangunan-bangunan serupa dengan menggunakan dinding bambu. Kolam-kolam berisi ikan jumbo menghiasi setiap pojok padepokan dengan gumpalan air yang jernih. Sampailah ke sebuah rumah yang lokasinya berada di tengah-tengah kompleks.

”Ini namanya Suryaningratan. Ini merupakan tempat keluarga Romo Guru dan Romo Pandji. Tempatnya di tengah supaya mudah terjangkau. Jadi semua Putra Tegal tahu dan Romo pun jadi mengetahui setiap Putra Tegal. Romo Pandji hafal semua Putra Tegal,” imbuh Tedja, sembari mempersilahkan duduk kepada kami.

Di ruangan luas yang penuh dengan foto-foto pendiri Trijaya yakni Romo Guru Kanjeng Pangeran Arya Esno Kusnodho Suryaningrat, atau sering disapa dengan Romo Guru Bapak Tegal.

Selain foto, di ruangan itu mengalun lirih musik dengan piano. Tak jauh dari meja tamu, seorang lelaki terus memainkan jarinya di atas organ tunggal dengan musik-musik pop klasik mengiringi sepinya lereng gunung. Tak lama setelah itu, datanglah pria berkulit putih dengan perawakan tinggi besar.

Tak lain, pria yang dimaksud adalah Romo Anom Jatmiko Aditya Panji Laksono atau Romo Guru Kaping Kaling yang akrab disampa Romo Pandji. Berbahasa lugas dengan logat Tegal ke Betawi-betawian, Romo Pandji menyambut dengan ramah. Dia menceritakan seidkit tentang tentang penghayat sebelum diselang istirahat.

Jiwa Nusantara

Padepokan Trijaya, Tegal
Padepokan Trijaya, Tegal

Dalam perjumpaan yang singkat itu Romo Pandji bercerita kondisi dinamikan sosial perguruan Trijaya. Secara prinsip tak masalah terkait dengan pelayanan publik dan relasi sosial dengan masyarakat. Semua itu, berkat berpegang teguh pada ajaran yang diberikan Romo Guru.

Baca Juga  Demokrasi Harus “Diagamakan”

”Kami dalam keadaan baik-baik saja. Kami tak memaksakan kepada anggota kami untuk menjadi penghayat murni, kami menghargai perbedaan yang ada di Nusantara. Tapi Putra Tegal yang ingin menjadi penghayat murni itu karena murni dari keinginan mereka sendiri sehingga di kukup (prosesi menjadi penghayat murni-red),” kata Romo Pandji dalam perbincangan, Minggu (17/4) malam itu.

Terkait dengan pelayanan publik, Romo Panjdi berpendapat Putra Tegal tak boleh melawan hukum adat, hukum negara dan hukum tuhan. Karena itu Putra Tegal tak ada yang melawan hukum atau ketentuan undang-undang yang berlaku terkait dengan pencatatan sipil.

”Kami tak masalah dalam KTP bertuliskan Islam sepanjang memang tak boleh dalam kolom agama dikosongkan. Karena itu merupakan peraturan yang ada. Apalah artinya sebuah tulisan di KTP, yang lebih penting itu adalah perwujudan keyakinan dalam hati dengan Tuhan Yang Maha Esa,” imbuhnya.

Karena waktu menunjukan pukul 19.00. Romo Pandji kemudian menyerukan untuk beristirahat sementara sebelum melanjutkan kembali perbincangan, sebelum ia bertolak kembali ke Jakarta untuk bekerja di perusahaannya. Setelah istirahat dirasa cukup, kami berkeliling kompleks padepokan yang penuh simbol.

Dalam padepokan itu terdapat prasasti-prasasti yang melambang jiwa nusantara. Dengan dipandu ketua perguruan, Tedja, kami dikenalkan dengan berbagai tempat yang ada di padepokan di antara gedung pusat olahraga, tempat ibadah dan juga sendang, berupa kolam dibawah pohon berdaun lebat berukuran besar.

Selain kedua tempat itu, tak jauh dari kompleks Suryaningratan terdapat replika perahu layar dengan ukuran besar yang terbuat dari cor-coran dan kayu. Di atas replika perahu terdapat ruangan khusus untuk pemujaan atau ibadah. Cukup unik, di lereng pegunungan tinggi Gunung Slamet terdapat replika perahu.

Baca Juga  Khofifah: “Yang Suka Mengkafirkan, Jangan Didukung”

”Filosofi dari replika perahu ini merupakan simbol persatuan nusantara pada masa silam. Zaman dulu, pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan, misalnya majapahit, untuk menyatukan nusantara bukan dengan pesawat atau kapal, tapi menggunakan perahu. Karena itu, perahu ini merupakan simbol persatuan Nusantara,” ujar Tedjo sembari menunjuk baling-baling perahu itu.

Karena Romo Panjdi sudah berangat ke Jakarta, pagi harinya, Selasa (18/4) kami didampingi Tedjo untuk ”berwisata” di padepokan. Kami berkeliling ke semua tempat yang ada di padepokan termasuk tempat latihan bela diri Putra Tegal. Selama berkeliling Tedjo menunjukan prasasti-prasasti peninggalan Romo Guru yang semuanya bervisi menyatukan jiwa nusantara.

”Di padepokan ini juga terdapat pemakaman khsusus untuk Putra Tegal yang meninggal. Disini ada makam Romo Guru dan orang tuanya beserta Istirnya. Bagi putra tegal yang hendak dimakamkan disini dari perguruan menyediakannya,” turu pria asala Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes itu. [elsa-ol/Ceprudin-@Ceprudin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini