Demikianlah gambaran yang terungkap dalam perhelatan pameran ‘De Vrouw–From Koloniale Tentoonstelling to Women Figure Today’ di Gallery Semarang Jalan Taman Srigunting N0 5-6 Semarang, Jumat (19/9) malam. Ditata sedemikian rupa, lantai pertama galleri diisi beberapa dokumentasi Pameran Kolonial atau Koloniale Tentoonstelling. Sementara di lantai dua, kurator pameran Bambang Toko Witjaksono dibantu Ignatia Nilu, Titus Aji dan Afif Qimo menampilkan jejak-jejak sejarah tokoh perempuan Indonesia yang berasal dari Kota Semarang dan sekitarnya.
Dalam pameran ini pula, pengunjung dapat melihat beberapa dokumentasi perempuan multitalenta Indonesia. Sebut saja, RA Kartini, NH Dini, Mari Elka Pangestu, Retno LP Marsudi dan juga Anne Avantie. Selain itu, terdapat pula ruangan secara khusus yang menjelaskan ikhwal soal pelopor industry jamu Nyonya Meneer.
Salah satu pengunjung, Theresia Anggraeni (23), menyampaikan apresiasi terhadap pameran ini. Gadis kelahiran Jakarta tersebut menilai terhadap passion para wanita Indonesia yang mampu meraih buah dari kerja keras, kerja cerdas dan konsistensi dalam memilih karya atau peran sebagai jalan hidup perempuan Indonesia. “Jadi, ini bukan semata-mata perjuangan emansipasi, melainkan sebagai gerakan kebebasan para wanita Indonesia untuk memilih karya atau peran yang dijalaninya,” beber perempuan zodiak Sagitarius ini.
Di samping itu, imbuh penyuka nasi bakar, dengan karya atau peran yang dijalaninya, para wanita Indonesia yang dipamerkan ini tentu saja memberikan inspirasi bagi wanita Indonesia lainnya dalam berbagai kategori karya yang berbeda-beda. “Apapun pilihan karyanya, mereka telah berusaha melakukan yang terbaik,” jelas anak keempat bersaudara.
Dalam sejarahnya, expo kelas dunia ini sebenarnya untuk memperingati perayaan satu abad terbebasnya Belanda dari pendudukan Prancis yang jatuh tepat pada 1913. Dalam esainya, Zen Rachmat Sugito, menerangkan, ide digelarnya Koloniale Tentoonstelling muncul pada 1912. Pilihan untuk menggelar acara tersebut di Semarang, kata dia, lebih condong disebabkan karena Jawa Tengah adalah penghasil utama perkebunan yang menjadi komoditas utama pemerintah kolonial. “Bukan kebetulan jika barang-barang yang dipamerkan yang terutama adalah hasil-hasil perekebunan dan produk-produk olahannya, kerajinan hasil-hasil indsutri terbaru sampai kreasi teknologi terbaru (dari fotografi sampai kendaraan bermotor) yang hendak dipamerkan pada publik Hindia Belanda,” sebut penulis buku ‘Jalan Lain Ke Tulehu (2014) itu.
Kendati demikian, kurator pameran De Vrouw, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, mengakui, pameran ini belum bisa dikatakan sebagai cara penyajian data yang cukup komprehensif. Menurutnya, masih banyak kekurangan disana-sini. “Paling tidak lewat arsip dan karya yang dipamerkan, kita mendapat pengalaman baru tentang sejarah Kota Semarang,” akunya.
Lebih jauh dia menambahkan, beberapa tokoh perempuan tersebut diupayakan untuk diangkat kehidupannya satu per satu dan mulai diberikan sedikit interpretasi serta dimunculkan nilai-nilai pentingnya bagi kehidupan. “Perempuan dulu dan kini membuktikan bahwa mereka juga pembentuk budaya bangsa dan negara Indonesia,” pungkasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]