Sebuah Refleksi Masyarakat Pasca Pandemi

oleh: M. Lutfi Nanang Setiawan

Yuval Noah Harari, sejarawan yang sukses dengan terbitan bukunya Homo Deus mengungkapkan, setelah fenomena kelaparan yang banyak melanda di berbagai kota dan negara, umat manusia terpaksa dihadapkan dengan ancaman wabah dan penyakit menular. Umat manusia terpaksa melawan barang renik yang susah untuk disentuh dengan tangan, apalagi dikenali dengan mata.

Ia menceritakan bagaimana replika suasana masyarakat di Asia Timur dan Tengah pada dekade 1330 yang sedang diselimuti oleh wabah Maut Hitam. Pada abad pertengahan itu, masyarakat dengan sikap panik yang akut mempersonifikasi Maut Hitam seperti kekuataan gaib di luar kendali dan pemahaman manusia (Harari 2018, 6)

Buntutnya, tempat-tempat yang lumrahnya ramai karena sibuknya lalu lalang manusia dengan segala aktivitasnya harus disepikan sepihak karena terpaan patogen renik yang bisa menyerbu siapa saja tanpa pandang bulu. Umat manusia tahu, bahwa mereka adalah carrier akibat epidemi secara tiba-tiba, oleh karenanya berdiam diri seraya mengharap agar segera pulih adalah solusinya.

Uraian Yuval Noah atas fenomena pelik umat manusia itu kembali dihadapi pada abad ke 21, tepatnya kisaran akhir tahun 2019 menjelang tahun awal 2020. Umat manusia menyebutnya dengan Covid-19, Corona Virus Disease 2019. Adalah penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. Sejak pertama kali ditemukan di Wuhan, China, tidak sampai setengah tahun mampu menyebar menginfeksi rata-rata umat manusia di berbagai belahan dunia.

Akibatnya, tempat-tempat yang menjadi arus utama lalu lalang manusia yang lumrah menjadi jalan interaksi sosial sebuah masyarakat dalam berbagai bentuk format dan figur, dari interaksi sosial, budaya, ekonomi, dan agama banyak bergeser. Terlebih, pada situasi dan keadaan yang semakin modern memberikan dampak dan pengaruh yang besar bagi kehidupan nyata masyarakat.

Tidak hanya menyasar pada pola interaksi antar manusia, sikap individu dalam mengontrol kendali juga tidak sedikit berubah. Respon individu di tengah pandemi Covid-19 adalah dominan memikirkan diri sendiri, dibandingkan mengurusi kebutuhan orang lain. Setiap dari sekian banyak individu berusaha mencari solusi bagi dirinya sendiri melalui pengoptimalan bakat dan potensi yang dimiliki (Habsy 2020, 20-21).

Dalam cakupan yang lebih luas, tidak jarang perbedaan pendapat dan sikap dari setiap individu muncul memenuhi ruang publik. Semakin banyak perbedaan, situasi ruang publik semakin keruh hingga mengkristal menjadi sentimen negatif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, relasi-relasi itu menampilkan dirinya sendiri dengan melanggengkan pendapat mereka sendiri melalui dinamika independen yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tak terlihat.

Sentimen-sentimen instrumental yang lahir dari kewaspadaan setiap manusia dalam belenggu pandemi antara lain adalah pola hidup ketakutan, misalnya dengan menyebarkan rasa takut dan marah pada diri sendiri dan lingkungannya atau over sharing mengenai Covid-19 dari berbagai media yang masih abu-abu terkait kebenarannya. Jelas, ini adalah rangkaian dari kuasa kausalitas manusia yang secara sadar-tidak-sadar dikendalikan oleh barang renik yang susah dicecap indra dan mudah menyerang siapa saja.

Pandemi dan Negasi Masyarakat

Kajian relasi antar manusia itu dibahas secara komprehensif oleh Sartre dalam rangkaian trilogi bukunya (Siregar 2015, 34). Karya pertama, L’etre et le neant (menjadi dan ketiadaan). Karya kedua, Critique de la raison dialectique (kritik atas alasan dialektik). Dan karya ketiga, Cahiers pour une morale (buku catatan untuk moralitas).

Baca Juga  “Adzan” Kristiani

Garis besar pemikiran Sartre kemudian dibulatkan dalam salah satu aliran filsafat, Eksistensialisme. Tidak hanya sebagai antitesis terhadap filsafat tradisional dangkal yang identik mengambil jarak dengan konten sosial, namun juga memuat hubungan intrapersonal dengan alam. Format seperti ini banyak memengaruhi iklim masyarakat abad postmodern yang tidak bisa lepas dari singgungan dengan alam.

Kembali ke trilogi karya Sarte, seperti cara kerja filsafat dalam ciri khas diskursus intelektual, ketiga karya itu bertindak afirmatif sekaligus negatif. Afirmatif dalam arti pemikiran (baca: karya) terdahulu diterima tidak secara mentah, hanya sebagai pijakan dan pedoman pembaruan ide yang laten dengan kontekstualitas, karena adanya tindakan negatif yang berarti mengkritik dengan pengembangan melalui pemikiran yang baru.

Dari sini, pemikiran Sartre dalam tiga karya itu dicoba diimplementasikan sebagai dasar pijakan teoritis dalam menggambarkan ihwal umat manusia menghadapi serbuan pandemi dan menuntun kepada jalan solusi merajut solidaritas masyarakat untuk menegakkan cita humanisasi. Sekali lagi, terlepas dari besar kecilnya dampak pandemi, uraian ini sebagai bentuk implikasi pemikiran Sartre dalam upaya konseptualisasinya terhadap tantangan realitas sosial.

Pertama, L’etre et Le neant (menjadi dan ketiadaan). Karya pertama Sartre yang diterbitkan pada tahun 1943 (Marcuse 1948, 311). Isinya secara eksplisit menguraikan sikap individualistik yang diprakarsai oleh transendensi ego. Oleh karenanya, pembaca dengan mudah menjumpai pernyataan Sartre dalam hal manusia identik dengan sikap ‘selalu mengobjekkan.’

Aku adalah subjek, sedangkan kamu-dia-mereka adalah objek. Dalam relasi yang lebih konkrit muncul dua kemungkinan, yaitu; pertama, objek takluk dan tunduk terhadap subjek dan; kedua, objek tidak tunduk dan takluk pada subjek. Karena itu, relasi seperti ini mencirikan negasi batiniah timbal-balik. Relasinya bersifat subjek-objek, bukan subjek-subjek.

Dalam kacamata sosial, relasi ini kerap diatribusikan dengan teori konflik karena ada kecenderungan ketimpangan dan kesenjangan. Terlebih dalam interaksi sosial masyarakat, kenyataan seperti itu mudah terjadi. Adanya aktivitas instrumental seperti melihat, memandang dan menilai menimbulkan relasi yang bersifat negasi-reduksi. Namun, relasi seperti ini bersifat transendental (tidak tetap), lain waktu aku menjadi subjek dan dia menjadi objek, begitu sebaliknya.

Jika dicontohkan dalam situasi pandemi, kita banyak menelan informasi mengenai gejala penderita Covid-19 yang kemudian salah satu cara menghindarinya dengan tidak berkontak fisik dengan penderita. Atas peristiwa ini, individu yang tidak mengalami gejala sejauh mungkin menghindar bahkan memblokir akses terhadap individu lain yang sudah menderita.

Bahkan, dalam beberapa kasus karena penderita Covid-19 harus menjalani isolasi, maka harus legowo menerima pengucilan dan pengkerdilan marwah yang diterima dari klaim tendensius masyarakat setempat. Anggapannya, penderita Covid-19 adalah mereka-mereka hamba yang apes terkena imbas kekuatan gaib, seperti terjadinya wabah Maut Hitam yang menjangkiti masyarakat Asia Timur dan Tengah.

Namun, keterasingan bukan tidak dapat diatasi. Sama halnya teori konflik tidak melulu berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Justru, bagi Sartre, konflik dimunculkan agar menjadi sarana untuk mencapai sebuah keseimbangan dan penyelesaian antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Melalui konflik, akhirnya setiap individu bisa mengoreksi sikap masing-masing pribadi, serta untuk mengupayakan jalan solusi.

Baca Juga  "Penodaan Agama” Pasca Putusan MK

Kedua, Critique de la Raison Dialectique (kritik atas alasan dialektik). Karya kedua Sartre diterbitkan pada tahun 1960 (Siregar 2015, 43). Karya ini adalah kelanjutan dari karya pertama dengan berusaha menjelaskan entitas individu dalam masyarakat dan aspek sosiologis-historisitas yang membentuknya. Masih berpijak pada transendensi ego, uraiannya atas kesadaran individu murni.

Pada tahap ini kiranya kajian filosofis Eksistensialisme Sartre bisa ditempa lebih jauh dan dalam. Eksistensialisme Sartre menekankan terhadap kebebasan individu yang terbebas dari anasir orang lain, baik anggapan atau sikap. Manusia tidak lain adalah apa yang dia buat untuk dirinya sendiri. Ini adalah yang prinsipil dari Eksistensialisme.

Aku adalah ‘aku’ yang merdeka. Aku bukanlah ‘aku’ yang dikendalikan oleh semiotika, kata, otoritas, anggapan atau sikap yang datang dari luar kendali. Manusia menjadi diri sendiri apabila bisa bebas berkehendak hingga mampu menikmati hakikat kehidupannya sendiri. Memperjuangkan hak kebebasan individu, bagi Sartre, adalah upaya refleksi filosofis untuk mengungkapkan struktur esensial dari realitas manusia (Gervais 1969, 79).

Kembali ke karya pertama; L’etre et Le neant, keterasingan bukan tidak dapat diatasi. Melalui pengakuan sebagai individu organis dengan kebebasan yang otonom, praksis-praksis individual dapat melebur menjadi satu kelompok bersama. Membentuk satu kesatuan yang terpadu itu dapat dilahirkan dari dalam, namun membutuhkan ‘pihak ketiga’ yang mampu bertindak sebagai penengah (juga penguat).

Pihak ketiga menyediakan jalan alternatif melalui mediasi yang dibangun untuk relasi timbal balik. Pihak ketiga bukan penonton, namun tokoh dalam keberhasilan relasi yang mungkin terjadi itu. Karena pihak ketiga erat kaitannya dengan dua yang lainnya. Artinya, pihak ketiga adalah prasyarat basis yang harus terpenuhi dalam mewujudkan kesatuan kesadaran dan gerakan umat manusia.

Dalam situasi Covid-19, pihak ketiga tersebut bisa diandaikan dengan peran media. Di tengah menjamurnya kecanggihan teknologi, media memiliki andil besar dalam memainkan perannya melalui penggiringan opini publik. Tidak sedikit media-media yang nihil verifikasi ikut membaur dalam memberikan informasi mengenai Covid-19, sebut saja misalnya update data dan grafik Covid-19 yang tidak valid menyebabkan gangguan kesehatan dan kekhawatiran bagi masyarakat awam dan sebagainya.

Selain peran media yang berlegitimasi, juga sikap pemerintah dalam menyosialisasikan pencegahan dini dan kondusifitas tempat agar warganya memiliki kepekaan, batasan, dan tuntunan dalam bersikap-bertindak selama wabah pandemi Covid-19. Karena bagaimanapun situasi dan kondisi, pemerintah sebagai representasi dari negara memiliki kewajiban untuk mengedukasi kepada warganya.

Dalam praktiknya, timbal balik memang membutuhkan kontinuitas dan konsistensi dari berbagai pihak yang terkait. Meski pemerintah dan media dengan gencar mengedukasi secara masif, tetapi dari masyarakat sendiri tidak ada inisiatif maka sama halnya dengan ilusif. Memang, jika diteliti dan diikuti, prasyarat-prasyarat untuk terbentuknya relasi timbal-balik antarmanusia jarang dan sukar dipenuhi. Sartre pun mengungkapkan ironi itu (Wibowo 2016).

Baca Juga  Pudarnya Pesona Jawa di Gereja Kristen Jawa?

Merajut Humanisasi dalam Cinta Otentik

Ketiga, Cahiers pour une morale (buku catatan untuk moralitas). Karya ini diterbitkan pada tahun 1983 (Delanoi 1983, 881). memuat sejumlah cakupan pemikiran dari sudut pandang filosofis dan historis. Karya ini dominan mengungkapkan perihal moral, juga merupakan kesatuan dari dua karya sebelumnya.

Bertahap dari relasi antar manusia sebagai konflik lalu menjadi relasi timbal-balik (resporik), kita dapat memunculkan hubungan antar individu yang lebih hangat melalui kecintaan dan kegembiraan. Pasca masing-masing mengamini dirinya sebagai individu dengan kebebasan otonom dan totalisasi aktif, dalam komunalitas seperti itu apa yang disebutnya ‘cinta yang otentik’ mungkin diwujudkan.

Karena ‘aku’ dalam cara pandang Sartre, adalah ‘aku’ dalam kajian ontologisnya Descartes, Cogito Ergo Sum. Kesadaran akan kehadiran ‘aku’ merupakan wawasan yang terang dan absolut. Dengan demikian, ‘aku’ bisa membebaskan diri dari belenggu kendali yang datang dari luar. Dalam kajian filosofis Sartre, ‘aku’ adalah ‘ada’ yang berkesadaran (being-for-itself); mampu menerima dan mempertanyakan fenomena baik negatif maupun positif (Muzairi 2012, 50-53).

Sirnanya ketimpangan dan kesenjangan, hilangnya klaim instrumental sepihak dan tumbuhnya relasi positif, idealnya komunal itu bisa mewujudkan perkembangan relasi yang sehat. Sama artinya dengan ‘aku’ yang menjadikan ‘orang lain’ sebagai subjek, sebagai aku menghormati dia, sebagai dia yang mengakui aku. Relasi itu mungkin saja terjadi, asal ada pengakuan antar setiap individu sebagai kebebasan otonom.

Tinjauan ini berdasar pada iklim masyarakat selama pandemi yang secara tidak langsung mengarah kepada lembah dehumanisasi. Memang, definisi awal mengingatkan kepada umat manusia akan perilaku penghilangan harkat manusia melalui insting dan sikap yang tidak bisa menempatkan manusia sesuai kodratnya, alias tidak bisa memanusiakan manusia; acuh tak acuh terhadap tetangga, pembatasan akses dan kontak fisik, juga perilaku pengkerdilan status terhadap yang lainnya.

Terhapusnya persepsi negasi antara individu dalam masyarakat adalah kunci utama terwujudnya solidaritas masyarakat pasca pandemi dalam rangka humanisasi. Dalam karya ketiganya, Sartre menggambarkan kehidupan masyarakat yang diinisiasi oleh kehendak yang datang dari diri sendiri bukan dari luar, ide kecukupan terhadap diri sendiri, dan solidaritas diri sendiri dalam universalitas kehidupan.

Geliat humanisme sebagai output filsafat eksistensialisme yang tercipta dalam sebuah masyarakat adalah melalui pengakuan keutamaan setiap manusia, memperjuangkan penghormatan dan hakikat, juga menjunjung tinggi nilai-nilai pembudayaan dan peradaban (Siswanto 1997, 25-26). Dalam kurun waktu pandemi, potret semacam itu secara pasti kian meredup dan dikhawatirkan hilang tanpa sadar. Bahkan, juga menyasar pada hilangnya moral dan tanggung jawab manusia yang beratribusi entitas ada dan berkesadaran (being-for-itself).

Dari relasi antar manusia sebagai konflik dengan identitas negasi-reduksi (ketimpangan, keterasingan, dan kesenjangan), beralih ke relasi timbal balik yang saling memahami dan meyakini setiap individu sebagai organis bebas dengan bantuan ‘pihak ketiga’, lalu lahirlah cinta otentik yang memuat sejumlah itikad dan moral baik untuk keberlangsungan komunal masyarakat secara luas. Dari persepsi yang ilusif hingga berujung destruktif mengenai pandemi, menuju saling memahami dan mengerti, muncullah solidaritas masyarakat dalam rangka re-humanisasi.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini