Silih Puntangan, Silih Caangan, Silih Elingan: Gereja Kristen Pasundan dan Kepemimpinan Perempuan

Oleh: Tedi Kholiludin

Gereja Kristen Pasundan (GKP) baru saja selesai melaksanakan sidang sinode ke 29 pada 12-15 Juli 2022 di Cipanas-Bogor, Jawa Barat. Selain membahas banyak agenda, pada kesempatan itu juga terjadi pergantian tongkat estafet untuk Majelis Sinode 2022-2027. Seorang perempuan, Pendeta Magyolin Carolina Tuasuun, terpilih sebagai Ketua Umum Sinode GKP untuk masa kepemimpinan lima tahun ke depan, menggantikan Pendeta Edward Tureay.

Kepemimpinan perempuan lingkup gerejawi di Indonesia rupanya terus menggelinding, seiring dengan keberhasilan transformasi nilai-nilai kesetaraan di lembaga agama. Para pendeta perempuan tak hanya menjadi ketua di Komisi Pelayanan Perempuan dan Anak-anak tetapi menjadi masinis yang menentukan kemana arah dan tujuan gereja.

Selain GKP, beberapa sinode gereja juga tengah dipimpin oleh perempuan. Dua diantaranya; Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang dinahkodai Pendeta Mery Kolimon (2015-2019 dan 2019-2023) dan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) dengan Pendeta Simpon Fredinant Lion (2021-2026) sebagai pemimpinnya. Di level nasional, Pendeta Henriette Tabita Hutabarat Lebang menjadi perempuan pertama yang terpilih sebagai ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) periode 2014-2019.

Peran-peran perempuan di lingkungan GKP, bisa dicermati pada, salah satunya, aktivitas mereka di Women’s Crisis Center (WCC) Pasundan-Durebang. Sejak 2004, percakapan mengenai pentingnya sebuah rumah nyaman bagi perempuan di institusi keagamaan menggema. Setelah menimba ilmu di banyak tempat, pada 2013, didirikanlah centre yang sekarang beralamat di Jalan Dewi Sartika Bandung. Meski bermula dari diskusi dan digerakkan oleh gereja, tetapi kiprah serta pelayanan yang diberikan WCC Pasundan-Durebang ini tentu saja untuk masyarakat yang tidak dibatasi oleh sekat agama atau etnis tertentu.

***

Jika memori sejarah kita bentangkan jauh ke belakang, di Tatar Pasundan, kesadaran kolektif di kalangan perempuan Kristen tumbuh bahkan sebelum berdirinya Sinode Gereja Kristen Pasundan (de Christelijke Kerk van West Java) pada 14 November 1934.

Baca Juga  Apostasy dan Radikalisme Agama

Pada sebuah konferensi “Istri Kristen Pasoendan” di Garut 18-20 Juni 1937, beberapa kelompok perempuan di wilayah yang sekarang secara administratif masuk ke Jawa Barat hadir dan melaporkan perkembangan organisasinya. Jika menilik waktu penyelenggaraan (1937, red), kegiatan tersebut dilaksanakan sesudah Sidang Sinode ke II (1936 di Purwakarta) dan sebelum Sidang Sinode Ke III (1938 di Bogor).

Belum ditemukan data yang pasti mengenai inisiator kegiatan tersebut, apakah Sinode GKP yang pada 1936 sudah berbadan hukum ataukah perkumpulan-perkumpulan perempuan Kristen Pasundan itu sendiri. Namun, jika melihat pihak-pihak yang terlibat disana, sebagian besar adalah istri dari para guru Injil yang ada di lingkungan GKP.

Pada verslag atau laporan yang disampaikan oleh peserta, Wargi Istri Kristen Bandoeng (WIKB) menjadi kelompok pertama yang diberi kesempatan. “Doepi ngadegna WIKB dina taoen 1931 sasi September (Adapun berdirinya WIKB pada Bulan September tahun 1931),” ujar perwakilan WIKB.

Perwakilan WIKB melanjutkan, kurang lebih 1.5 tahun lamanya perkumpulan yang saat itu mereka sebut sebagai “Kempelan Istri” belum memiliki kepengurusan tetap. Ada beberapa nama yang mendukung perkumpulan itu antara lain; Clara van der Brugghen (kepala rumah tangga Rumah Sakit Immanuel Bandung tahun 1921-1930), Istri zendeling H.D. Woortman, dan nama-nama lainnya.

Sejak Januari 1933, barulah kemudian dibentuk kepengurusan tetap yang berganti setiap satu tahun sekali. Pembentukan pengurus itulah yang kemudian membuat WIKB membuat aturan khusus, seperti iuran tetap. Selain kegiatan telaah Alkitab, WIKB juga membekali 65 anggotanya dengan keterampilan lain seperti membuat kue atau karangan bunga.

Perwakilan Kaoem Iboe Kampoeng Sawah (KIKS) menyampaikan apa yang saat itu menjadi rutinitasnya. KIKS berdiri tahun 1931 dan dipandegani oleh Nyonya Madi Lampung. Setelah Madi Lampung pindah, diutuslah Guru Injil Senen Centeng pada Februari 1933 yang membuat istrinya, secara otomatis mengurusi KIKS.

Baca Juga  Gereja Karismatik, Partisipasi Publik dan Isu Kristenisasi

Perkumpulan Istri Kristen lainnya, bergantian memberikan laporan. Mereka rata-rata berdiri di sekitar tahun 1936-1937-an.

Pada kesempatan konferensi itu pula, Raden Tjitjih Wijarsih Prawiradilaga atau Tjitjih Wijarsih Leimena (Istri Johanes Leimena) memberikan presentasi yang sangat menggugah ihwal “Zending dan Adat.” Kepada para Istri Pasundan, di akhir pembicaraan, Tjitjih Leimena berpesan, “… ka sadajana istri Kristen di Pasoendan oerang paheujeuk-heujeuk panangan, oerang silih poentangan, silih tjaangan, silih elingan, soepados salamina aja dina djalan Goesti (… kepada seluruh Istri Kristen di Pasundan kita berpegangan tangan, saling menggenggam, saling menerangi, saling mengingatkan, agar selamanya di jalan Tuhan).”

***

Jika di era sekarang seorang pendeta perempuan berkesempatan menjadi pucuk pimpinan di GKP, sejatinya, semangat para kaum istri itu sudah menjangkar bahkan sebelum Raad Ageung ini ada. Kesadaran untuk membangun kapasitas diri serta bermanfaat bagi organisasi sudah terbentuk dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Yang membedakan tentu tantangan serta medium yang dihadapinya sekarang. Namun, pesan Tjitjih Wiyarsih Leimena pada konferensi itu, bisa jadi fondasi untuk menghadapi segala persoalan; membangun kemitraan, saling mendukung serta saling mengingatkan satu sama lain merupakan kunci untuk terus ada di jalanNya.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini