[Kudus, elsaonline.com]- Sebagaimana bangsa Arab pra Islam yang memiliki kebudayaan syair, masyarakat Jawa juga memiliki hal serupa yang dinamakan dengan “tembang”. Menurut tokoh Sedulur Sikep Kabupaten Kudus, Budi Santoso, istilah tembang berasal dari kata “tembung” yang berarti berkata-kata.
“Tembung itu artinya ngomong (berbicara, red), tapi ketika omongan (pembicaraan, red) memiliki pesan khusus atau penting yang harus diketahui banya
Tembang yang dimaksud, menurut Budi, bukan tembang untuk hiburan seperti lagu-lagu kekinian. Tembang itu sarat dengan pesan dan biasanya dibuat dalam kondisi tertentu. Bahkan tak jarang tembang-tembang itu memiliki kekuatan mistik.
“Dulu, para leluhur di Nusantara kalau berperang ya nembang-nembang (mendendangkan lagu, red) dulu. Tembang itu bisa membuat wong Nusantara semangat, dan para musuh lemah. Tapi itu orang-orang dulu, kalau sekarang tidak tahu,” jelasnya.
Sikep dan Tembang
Sedulur Sikep atau penganut agama Adam, menurut Budi, sangat lekat dengan tembang. Meskipun tembang menjadi kebudayaan Jawa secara umum, tapi Sikep merasa lebih dekat dengan dunia ini. “Ya di kami, tembang-tembang pangkur, sinom, dandang gula, dan lain-lain masih dipraktikkan. Leluhur kami seperti itu, terus turun temurun, tapi ya tadi kurang ada gaibnya, kalau dulu para leluhur ada,” terangnya.
Kata Budi, tembang akan terus dilestarikan dalam komunitasnya. Budi sendiri bersama warga Sikep lainnya sudah membuat lebih dari 30 judul tembang, tapi sampai sekarang belum terbukukan atau terekam dalam audio maupun vidio.
“Saya buat biasanya kalau keadaan kurang tentrem (menentramkan, red). Seperti kemaren waktu ada bom, atau melihat kekacauan kehidupan lainnya. Tapi kadang juga teman-teman lintas agama seperti kemarin pak pendeta waktu natalan, saya diundang dan disuruh membuat tembang. Jadi natalan kemarin saya diundang untuk nembang,” tuturnya. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88]