
[Semarang –elsaonline.com] Menelusuri awal penyebaran sebuah agama di Kota Semarang sama dengan menyajikan sejarah panjang. Selalu menarik, meski tak dipungkiri kemungkinan adanya reduksi dari sang penulis. Begitu pula dengan awal penyebaran agama Katolik di Semarang.
Dalam beberapa tulisan kedepan, elsaonline akan menyajikan sejarah terbentuknya Gereja St Yusuf Gedangan yang dikenal dengan Gereja Gedangan di Kota Semarang. Gereja ini merupakan tempat peribadatan resmi pertama umat Katolik pertama di Semarang.
Tulisan-tulisan itu diambil dari buku “Sejarah Gereja St Yusuf Gedangan” dalam rangka peringatan 125 tahun gedung gereja. Sejak 12 Desember 1875 hingga 12 Desember 2000 lalu. Buku itu dikarang pada tahun 200 bertepatan dengan ulang tahun Gereja Gedangan.
Jika hendak menulis mengenai sejarah gereja di Indonesia secara lengkap, terlebih dahulu harus mengungkap jejak-jejak pertama gereja di sekitar Barus. Suatu tempat yang masuk daerah pantai Tapanuli ini sekitar tahun 645 ditengarai pernah berdiri gereja-gereja meskipun akhirnya hilang tanpa bekas.
“Setelah menggambarkan gereja di daerah luar Jawa itu, baru kemudian melukiskan perkembangan gereja di Indonesia. Lebih-lebih di Indonesia bagian timur pada abad ke 16 hingga 17 silam,” dalam buku itu halaman sepuluh.
Perkembangan gereja pada masa ini pun terputus setelah VOC atau Serikat Dagang Belanda sedikit demi sediki menguasai seluruh wilayah bagian Indonesia. Perebutan pulau Siao oleh VOC sekitar tahun 1679 merupakan akhir Gereja Katolik di Nusantara, kecuali untuk pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di Pulau Jawa Gereja pernah berkembang, walaupun hanya sebentar. Kurang lebih tahun 1569 sampai tahun 1599 di daerah Kerajaan Blambangan pernah dijumpai adanya gereja namun perkembangan itu pun terputus. Di Jepara sekitar tahun 1640-1641 pernah ada dua Imam dari Ordo Pengkhotbah (OP) atas permintaan Sultan Mataram.
Betawi kala itu, berkali-kali didatangi imam-imam Katolik selama abad 17 hingga 18 silam. Imam-imam itu kadang sebagai tawanan VOC ada pula yanga mereka yang izin sementara ketika dalam perjalanan Macau atau Solor. Dari laporan kunjungan itu dapat diketahui mereka selalu menemukan umat Katolik di Jakarta.
“Meskipun demikian, secara resmi terlembaga tidak ada. Umat Katolik di Jakarta kala itu berasal dari berbagai berbagai bangsa, banyak di antara mereka yang berasal dari Portugis. Namun dalam catatan-catatan kuno itu tidak dijumpai mengenai pemicaraannya umat Katolik di Semarang,” tulis buku bersampul tebal itu.
Bawah Tanah
Sejak VOC berkuasa di negeri ini Gereja Katolik banyak yang dihancurkan dan tidak pernah diberi kesempatan untuk berkembang lagi. Hal itu karena dalam pandangan VOC, gereja berhubungan dengan Portugis yang sejak awal menjadi saingan dan musuh VOC.
Namun VOC juga membawa serta situasi dari negeri Belanda. Hingga tahun 1807 Gereja Katolik tidak diakui dan hanya bisa hidup di bawah tanah. Keadaan demikian baru berubah dengan berubahnya suasana di Eropa. Salah satu tuntutan Revolusi Perancis pada tahun 1789 adalah kebebasan beragama.
Ketika Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis kebebasan beragama juga diumumkan di negeri itu yakni pada 7 Agustus 1807. Sejak 1 Januari 1800 VOC bangkrut dan menyatakan bubar. Segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Maka raja belanda pada waktu itu Raja Louis Napolaeon mengangkat seorang Gubernur Jenderal sebagai penguasa tertinggi yang memerintah atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal yang dipilih adalah Herman Willem Daendels yang merupakan seorang pejuang gigih cita-cita Revolusi Perancis.
Daendels berkuasa dari tahun 1808 hingga 1811. Begitu tiba di Indonesia ia kemudian mengumumkan kebebasan beragama. Namun kebebasan kala itu masih sangat terbatas karena pemerintah Daendels masih merasa berhak ikut campur dalam berbagai urusan interen gereja.
Pemerintah kala itu menentukan beberapa pastoor untuk boleh bekerja di Indonesia dan menunjukan tempat di mana mereka boleh bekerja. Campur tangan itu di kemudian hari akan menimbulkan konflik terus menerus antara umat dengan pemerintah.
Setelah kebebasan beragama diperoleh seutuhnya, Gereja Katolik di Belanda mengirimkan dua imam ke Indonesia. Dua imam itu yakni Mgr Jakobus Nelissen, Pr yang ditunjuk sebagai Prefek Apostolik Betawi dan Pastoor Lambertus Prinsen Pr. Keduanya mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok pada 4 April 1808 silam.
Keduanya melihat di Betawi terdapat banyak umat Katolik namun selama itu mereka terlantar tanpa gembala dan tanpa pembina. Mereka mendapat kabar, keadaan demikian juga sama dengan apa yang terjadi di Semarang.
Supaya keadaan seperti itu tak berlarut-larut, maka pada tahun 1808 dengan beslit dari GG Daendels Pastoor L Prinsen diangkat sebagai pastoor di Semarang dan sekitarnya. Tercatat, Pastoor Prinsen tiba di Semarang pada 28 Desember 1808 silam. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin]
Tanya dong min. Itu foto Batu Nisan Pastur Pertama Gereja Katolik Gedangan Romo J. Lijnen , lokasinya di mana ya?
Kebetulan ini ada kenalan orang Belanda yang tanya soal nisan tersebut.
Apa itu di area gereja Gedangan, atau di Giri Sonta ya?
Di Gereja Gedangan Bapak…