Ahmadiyyah, Korban Kekerasan Struktural

Tedi Kholiludin (tengah) dan Dr. Munawar Ahmad (Kanan)
Tedi Kholiludin (tengah) dan Dr. Munawar Ahmad (Kanan)

[Semarang – elsaonline.com] Jika di era tahun 1920an, Ahmadiyyah hanya menjadi korban konflik singular, 5 tahun terakhir, Ahmadiyyah menjadi korban kekerasan struktural. Ini diungkapkan oleh Dr. Munawar Ahmad dalam bedah buku karyanya, Candy’s Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Kamis (20/2). Acara ini dihelat sebagai rangkaian dari acara pisah sambut Muballigh Ahmadiyyah. Setelah lebih dari lima tahun berkhidmah di Jawa Tengah, Muballigh Jemaat Ahmadiyyah HM. Syaiful Uyun, berpindah tugas ke Tasikmalaya. Posisinya digantikan Asep Jamaluddin yang sebelumnya bertugas di wilayah Parahyangan Timur. Acara tersebut dihelat pada Kamis (20/2) bertempat di Mesjid Nusrat Jahan, Jalan Erlangga Semarang.

Selain Munawar, tampil sebagai pembanding Tedi Kholiludin dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA). Di awal presentasinya, Munawar yang juga Staf Pengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Jogjakarta mengatakan bahwa setiap agama pernah menjadi penguasa di beberapa wilayah Nusantara.

Pada zaman Belanda, pengawasan dilakukan oleh pemerintah terhadap kehidupan beragama. Dulu, yang mengawasinya adalah Het Kantoor voor inlandsche zaken. Munawar menambahkan bahwa agama menjadi entitas yang efektif dalam memunculkan timbulnya kekerasan. “Konflik berbasis agama, merupakan konflik yang dipacu dan dipicu oleh perselisihan dimana entitas agama terlibat langsung,” kata Munawar.

Konflik yang terjadi terhadap Ahmadiyyah, tutur Munawwar, berbeda setiap fasenya. Pada tahun 1925-1945 pola konflik bersifat singular. Konflik bersifat atomis sebagai dampak perselisihan antara individu. Disana belum ada gerakan massif dan kolektif. Kebencian terhadap Ahmadiyyah lebih karena alasan ajaran Ahmadiyah. Dan kebencian itu yang kemudian melahirkan kekerasan.

Pola itu berbeda dengan yang terjadi paska tahun 1970. Sejak tahun 1970, konflik sudah menggunakan kekuatan kolektif. Keterlibatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam peta kekerasan menjadi indikator lahirnya pola kekerasan baru yakni collective violence.

Baca Juga  Praktik Moderasi dari Bawah Perlu Menjadi Model

Yang terakhir, Munawar menuturkan satu pola baru yang disebut sebagai structural violence. Disini kekerasan sudah terstruktur dan terjadi sejak dikeluarkannya SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyyah tahun 2008.

Dalam situasi itu, Munawar menawarkan perspektif tentang politik kerukunan yang disebutnya sebagai candy’s bowl atau wadah permen. Ini merupakan imajinasi dari bentuk sosial yang berupaya menampung segala warna, rasa, tampilan dari sebuah keunikan masyarakat. Meski warna, rasa dan tampilan masing-masing elemen itu mencolok, akan tetapi tiap elemen itu tidak saling mengubah warna, rasa maupun tampilan. Akan tetapi mereka di dalam wadah itu saling menguatkan satu dengan yang lain sebagia masyarakat yang heterogen.

Pembicara kedua, Tedi Kholiludin pertama-tama mencoba mengkritisi buku tersebut. Ia melihat bahwa buku itu sejatinya bisa dibagi ke dalam beberapa bagian. “Bagian yang membahas sejarah politik kerukunan bisa dijadikan satu penelitian tersendiri. Akan lebih menarik misalnya jika Ahmadiyyah kemudian dilihat sebagai bagian dari sejarah itu,” ungkap Tedi.

Bagian lain yang dilihat Tedi adalah soal pendayagunaan kerangka teori. “Perspektif candy’s bowl masih jarang digunakan. Sayangnya, dalam buku ini hanya ada satu paragraf yang menegaskan tentang kegunaan teori tersebut dalam memotret konflik terhadap Jemaat Ahmadiyah,” ujar alumnus program pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga tersebut.

Tedi kemudian memotret dinamika jemaat Ahmadiyyah di Jawa Tengah pada tiga tahun terakhir mulai 2011-2013. “Dalam tiga tahun terakhir ada empat kasus yang melibatkan Jemaat Ahmadiyyah, Karanganyar, Kendal (2 kasus) dan  Boyolali,” terang Tedi. Meski ada kasus, tetapi tidak ada kekerasan fisik yang mengakibatkan jatuhnya korban. “Hanya model intimidatif saja yang didapati oleh Pak Ta’zis, ketua Jemaat Ahmadiyah Gemuh, Kendal,” kata Tedi melanjutkan.

Baca Juga  Dilema Wakil Majelis Agama di FKUB

Dibandingkan dengan propinsi lain, kondisi Jemaat Ahmadiyyah di Jawa Tengah relatif lebih baik. “Ini yang sebenarnya penting untuk diutarakan ke publik. Agar cerita tentang Ahmadiyyah itu tidak semata-mata soal kekerasan, diskriminasi dan persekusi. Ada juga kondisi Jemaat Ahmadiyyah yang baik dalam relasi sosial dan mampu menjalin harmoni di tengah masyarakat,” tukas Sekretaris Pengurus Wilayah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Jawa Tengah ini. Tedi menceritakan pengalaman dua wilayah di Jawa Tengah yakni Wonosobo dan Purbalingga yang kondisi jemaatnya cukup baik dalam membangun relasi sosial.

Di akhir acara, Syaiful Uyun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerjasama dengannya selama ia mengabdi di Jawa Tengah. Sementara muballigh baru, Asep Jamaluddin meminta bantuan kepada hadirin agar bisa berkarya dengan baik di Jawa Tengah. [elsa-ol/T-Kh]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Bung Hatta dan Demokrasi Kita yang Masih Sama Saja

Oleh: Sidik Pramono Buku yang berjudul Demokrasi Kita ini merupakan...

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini