Dilema Penghayat: Satu Rasa, (Seharusnya) Senasib dan Seperjuangan

[Semarang –elsaonline.com] Persoalan pelayanan administrasi publik bagi penghayat kepercayaan tak kunjung ada solusinya. Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang telah dirubah dengan UU nomor 24/2013, nyatanya belum menjawab problem pelayanan publik.

Sebaliknya, dengan adanya peraturan pelayanan publik itu, penghayat menjadi kesulitan untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah. Peraturan-peraturan itu cenderung menjadi masalah bagi para penghayat. Para penghayat kerap menjadi “korban peraturan yang tak berpihak pada kaum minoritas”.

Berpangkal dari adanya aturan agama “resmi negara” dan tak resmi, para penghayat selama ini menanggung beban karena keyakinan. Mengisi kolom agama di KTP, membuat akta kelahiran, pencatatan perkawinan itu sedikit contoh yang hingga kini menjadi ganjalan para penghayat.

Saking lamanya para penghayat mengalami diskriminasi seperti ini, mengakibatkan sebagian penghayat pasrah. Tak pelak, masing-masing kelompok penghayat kepercayaan, menyikapi persoalan ini dengan sangat beragam.

Ada kelompok yang secara tegas melawan perlakuan diskriminasi dari pemerintah, ada yang melawan setengah-setengah dan ada pula yang menerima pasrah dengan kondisi seperti itu. Pemerintah di masing-masing daerah pun berbeda-beda dalam melakukan pelayanan administrasi publik bagi penghayat.

Dalam pernerimaan perlakuan dari pemerintah, masing-masing organisasi penghayat berbeda-beda. Ada yang terang-terangan berjuang melawan ketertindasan karena aturan. Ada yang setengah-setengah ada pula yang menerima, meskipun dalam keadaan mendapat ketidakadilan.

Di Kabupaten Kudus Jawa Tengah, ada Sedulur Sikep (Samin-red) yang terang-terangan menentang semua kebijakan pemerintah yang dirasanya tidak adil. Tetau Sedulur Sikep Kudus, Budi Santoso sejak masa Orde Baru terang-terangan melawan pemerintah yang semena-mena terhadap kelompoknya.

“Masa Orde Baru, saya pernah di ancam, ditodong pistol oleh aparat. Waktu itu saya mau melaksanakan perkawinan dengan istri saya. Saya dipaksa oleh aparat untuk dicatatkan berdasarkan agama Islam. Tapi saya tetap bertahan, tidak mau. Karena itu bukan keyakinan saya,” terang San, begitu ia dipanggil, beberapa waktu lalu.

Baca Juga  Hidup Dengan Pancasila Akan Nikmat

Orde Baru pun sudah berlalu. Berganti masa reformasi hingga sekarang ini, ternyata nasib Sedulur Sikep belum banyak perubahan. Dalam beberapa hal, penganut Sedulur Sikep masih mendapat perlakuan diskriminasi dari pemerintah. Meskipun memang tak pendapat paksaan atau ancaman fisik seperti masa Orba.

Paling menonjol, hingga kini mereka masih mendapat perlakuan diskriminasi berupa pencatatan perkawinan. Perkawinan Sedulur Sikep sejatinya sangat sakral, ada tata cara yang sesuai norma budaya, adat dan keyakinan mereka. Namun, hanya karena Sedulur Sikep Kudus, belum tercatat sebagai organisasi maka belum bisa dicatatkan.

Berjuang
Implikasi yang mereka dapatkan, maka hak-hak lainnya tak bisa mereka dapatkan. Belum lama ini, di tahun 2014 mereka bercerita bahwa akta kelahiran anak Budi Santoso bermasalah. Mereka paham, dengan tulisan ”anak luar kawin” di akta kelahiran menjadikan preseden buruk bagi anaknya.

”Akta kelahiran pada umumnya, tertera ”anak dari pasangan suami istri”. Bukan ”anak luar kawin dari”. Karena dengan adanya kata itu menjadikan preseden tak baik bagi anak kami,” tambah Pak San.

Mereka yang tergolong menentang secara keras juga ada penghayat perorangan. Penghayat perorangan itu ada Hendira Ayudia Sorentia. Anak dari Mbak Ayu, sapaan akrabnya, juga mengalami hal yang tak jauh beda dengan anak Budi Santoso. Akta kelahiran anaknya masih tertera ”anak luar kawin”.

Selama beberapa tahun terakhir ini mereka berjuang untuk mendapat keadilan. Merea ingin dalam akta kelahiran itu tertera anak dari pasangan suami istri. Mereka juga ingin dalam KTP tertulis penghayat kepercayaan sesuai dengan yang mereka yakini. Mereka tak ingin identitas agama di KTP dihilangkan, mereka juga menolak dengan keras untuk diberi identitas agama resmi.

Baca Juga  Pahlawan Mataram II, Dimakamkan di Ngaliyan

Meskipun perjuangan mereka harus membentur tabir begitu keras dan tebal, namun mereka tak mengurungkan niatnya. Mereka tetap tekad bulan sekuat tenaga untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka. Mereka sebagai penghayat juga sadar, sebagai warga negara mempunyai hak yang sama di depan hukum dan diperlakukan sama oleh pemerintah.

Sayangnya, perjuangan yang terus digelorakan oleh sebagian penghayat kepercayaan tak dibaraengi oleh semangat perjungan organisasi penghayat lainya. Sebagian masih ada yang malu-malu secara terang-terngan bahwa mereka penghayat.

Meskipun ada yang secara terang-terangan mengaku penghayat namun ada pula yang masih setengah hati memperjuangkan hak mereka. Ada sebagian organisasi yang masih mengiyakan dengan dengan undang-undang yang berdampak diskriminatif kepada kaum penghayat.

Pembina Perguruan Trijaya, Romo Anom Jatmiko Aditya Panji Laksono atau Kanjeng Raden Arya Suryaningrat Kaping Kalih menyatakan bahwa organisasinya tak menentang undang-undang. Mereka diajarkan oleh leluhur mereka untuk patuh kepada negara yang berazazkan pancasila.

Meskipun dalam perundang-undangan masih ada yang belum tuntas, namun Trijaya memilih diam. Diam tak melakukan perlawanan kepada pemerintahan yang bertindak melakukan diskriminatif. Bahkan Romo Panji, nama panggilannya, kerap menyatakan memilih untuk diam.

”Kami adalah warga negara yang baik. Kami diajarkan untuk menjadi warga yang patuh kepada hukum dan patuh kepada undang-undang dasar. Sehingga kami tak seperti organisasi penghayat yang lain. Dimana mereka melakukan perlawanan,” kata Romo, beberapa waktu lalu ketika kami berkunjung ke padepokannya di Kabupaten Tegal.

Sikap yang diambil oleh perguruan Trijaya ini tentunya bertolak belakang dengan sikap yang diambil oleh pengikut Sedulur Sikep. Trijaya cenderung mengikuti sistem yang ada di negara ini, namun Sedulur Sikep dengan keras menentang. Pengikut Tijaya sejatinya sama dengan pengikut penghayat lainnya.

Baca Juga  Dua Jam di Pesantren Waria

Dalam hal perkawinan mereka masih menggunakan “stándar ganda”. Maksudnya adalah perkawinan dilangsungkan dengan tata cara perguruan Trijawa dan juga dengan tata cara agama. Sesuai dengan keyakinan pasangan dari luar perguruan Trijaya itu.

Dalam konteks ini, artinya ada yang belum tuntas antara satu organisasi dengan organisasi penghayat lainnya. Antara kelompok satu dan lainnya sesama penghayat belum bersatu padu, satu rasa satu jiwa dan senasib seperjuangan. Padahal, jika ingin menang, maka harus bersatu. Seperti falsapah bangsa ini, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. [elsa-ol/Ceprudin-@ceprudin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini