Semarang, elsaonline.com – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengingatkan semua pihak supaya mengantisipasi potensi intoleransi di sekolah. Gubernur bercerita, pihaknya menemukan sebuah kejadian di sekolah yang menurutnya masuk dalam kategori bahaya laten intoleransi.
“Kami temui orang tuanya (korban), dia cerita, ‘pada saat lapor gurunya, gurunya ikut menyalahkan (korban). (Kalau begini) pasti anak memilih pindah sekolah. Buat saya ini laten (intoleransi). Mbak Yenni makasih, sudah mengedukasi (sekolah di Jateng),” papar Ganjar pada pembukaan Jateng Edufest, melalui zoom, Rabu, 21 April 2021.
Gubernur juga menyinggung kasus yang terjadi di sebuah sekolah di Sragen Jateng. “Kita menemukan contoh tidak baik. Terjadi kasus di sragen, siswa yang tidak menggunakan kudung diintimidasi, itu ya jangan dong,” tukas alumnus UGM Yogyakarta ini.
Mantan anggota DPR RI ini berpesan, sebagai warga negara harusnya taat dan patuh dengan kesepakatan para pendiri bangsa yang telah merumuskan Pancasila. Pancasila inilah cermin bagaimana semua golongan ini harus dilindungi.
“Para pendiri bangsa pengennya hidup bersama (dalam rumah Pancasila). Kalo sudah sepakat ya tolong dong kita ikuti. Penterjemahannya juga harus diterapkan dalam edukasi (lembaga pendidikan),” kata Gubernur.
Sekolah Menyenangkan
Dalam kesempatan terakhir Gubernur menegaskan bahwa sekolah sudah waktunya berfikir maju. Masa depan bangsa Indonesia ada pada generasi muda di sekolah. “(Untuk wujudkan itu) kami ada gerakan sekolah menyenangkan, kita harus berfikir masa depan, bagaimana pangan tercukupi, bagaimana teknologi berkembang,” pesan Ganjar.
Direktur Wahid Foundation Yenni Wahid yang juga menjadi narasumber memaparkan, saat ini ada tiga tantangan pendidikan; disrupsi, ekologi dan emosi. Untuk itu, Gus Dur menekankan pendidikan tidak hanya menghadirikan ranah kognisi tapi juga karakater.
“Jadi bukan hanya cerdas tapi siswa juga berkarakter. Itulah yang membuat Wahid (Foundation) menginisiasi peace school atau sekokah damai,” katanya.
Yenni, sapaan akrabnya, menambahkan, disrupsi terjadi karena berbagai perubahan sosial. Perubahan itu bisa karena sosial media, termasuk karena pandemi, dan teknologi seperti sekarang ini.
“Kita melihat misalnya teroris milenial. Itu faktor utamanya karena sedang merasa gelisah, anak-anak yang putus asa, dan tidak percaya diri. Dalam kondisi demikian mereka sangat mudah terprovokasi dan terkontaminasi (paham-paham) dari luar,” tuturnya.
Cegah Radikalisme
Menurut Yenni, penerapan budaya damai di sekolah, bukan saja mencegah tindak intoleran. Tapi juga meningkatkan kapasitas guru dan tenaga kependidikan dalam mengatasi persoalan atau potensi konflik keagamaan. Saat ini ada lima sekolah mitra Wahid Foundation di Jateng dan 20 sekolah di empat provinsi di Indonesia.
Kuasa Usaha Kedutaan Besar Australia Allaster Cox yang berkesempatan hadir menyampaikan, Australia sangat menikmati kerjasama dalam program sekolah damai ini. Australia mendukung penduh Wahid Foundation dalam merancang dan merintis kondisi damai di sekolah.
“Wahid Foundation berhasil kerjasama dengan pemangku kebijakan di pemerintah daerah dan pihak sekolah. Ini positif dan kami sangat menikmati kerjasama ini Bu Yenni. Kami harap ini bisa menekan laju radikalisme. Saya mengakui kerja dan komiten Pemprov Jateng, sekolah, dan guru yang telah mendorng berjalannya program sekolah damai,” katanya.
Pada kesempatan itu, hadir juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim. Nadiem menyampaikan, Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas. Sehingga menjadi tantangan besar dan harus dikelola secara apik. “Kita punya luas wilayah, kekayaan hayati dan kekayaan budaya. Kekayaan itu mejadi tantangan dan keunggulan. Salah satu tantangannya adalah intoleransi,” tandasnya. Cep