Yogyakarta, elsaonline.com – Empat tahun pasca terbit putusan MK No. 97/PUU/XIV/2016 nasib Penghayat Kepercayaan belum banyak berubah. Masih banyak hak-hak dasar penganut Kepercayaan yang belum terpenuhi.
“Masih banyak masalah. Salah satunya akses pekerjaan. Di Semarang ada yang ditolak perusahaan waktu daftar kerja karena KTP nya Kepercayaan,” kata Ketua Puan Hayati Pusat Dian Jenie, di sela acara dialog strategi kolaborasi lintas sektor layanan advokasi Kepercayaan dan Masyarakat Adat, di Yogyakarta, Kamis 9 Desember 2021.
Pada acara itu hadir Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud Samsul Hadi, Asisten Deputi Pemajuan dan Pelestarian Kebudayaan, Perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, MLKI Pusat, serta jaringan masyarakat sipil.
Ketua Perempuan Penghayat Kepercayaan se Indonesia ini menambahkan, selain persoalan akses pekerjaan masih ada problem lain seperti pendidikan, administrasi kependudukan, pembuatan sanggar atau rumah ibadah dan lainnya. “Karena itu butuh kerja bersama yang sungguh-sungguh dari lintas sektor,” harap Dian.
Kerja Bersama
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud Samsul Hadi mengakui bahwa butuh kerjasa bersama lintas kementerian dan lembaga serta jaringan media, kampus, dan GGO.
Kerjasama lintas sektor itu butuh payung hukum yang lebih kuat sehingga kerja-kerja lebih maksimal. Samsul Hadi menambahkan, bahwa saat ini pihaknya bersama kementerian lain sedang membahas Perpres percepatan Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan dan Masyarakat Adat
“Masih tahap proses penyusunan draft. Nanti kalau sudah tersusun rapih pasti akan membuka masukan-masukan dari lintas sektor termasuk jaringan NGO,” katanya.
Samsul juga berharap masing-masing lembaga bersinergi. “Kita perlu ada kerja bersama antara CSO, NGO dan pemerintah untuk peduli pada masyarakat yang saat ini masih terdiskriminasi. Program yang sudah dirancang masing-masing lemabaga bisa disinergikan dan dikerjabarengkan,” katanya, di sela sambutan.
Ia juga mengakui masih banyak kendala dalam pelayanan terhadap penganut Kepercayaan di level daerah. Pengetahuan tentang hak-hak dasar penganut Kepercayaan belum sampai kepada pelaksana pemerintah di level akar rumput.
“Pengetahuan ini belum nyampe mengenai ruang hak-hak pemenuhan bagi Penghayat Kepercayaan dan masyarakat adat. Kendala teknis pejabat daerah yang sering berganti (juga sering menjadi kendala) mulai SKPD, lurah, camat, sehingga belum memahami secara pas,” paparnya.
Masih Parsial
Senada dengan itu, Asisten Deputi Pemajuan dan Pelestarian Kebudayaan, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Molly Prabawati mengatakan banyak kebijakan atau perundangan yang justru belawanan dengan hak konstitusional penghayat kepercayaan dan masyarakat adat.
“Permasalahan yang dialami penganut Kepercayaan dan Masyarakat Adat ini masih ditangani secara parsial. Tanpa ada sinergi pada masing-masing kementerian atau lembaga terkait. Karena itu perlu adanya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, akademisi, pengusaha dan media, kuminitas dan NGO,” jelasnya.
Merespon masalah itu, Kemenko PMK menerbitkan peraturan No. 24 Tahun 2021 tentang tim Koordinasi Pelayanan Advokasi bagi Penghayat Kepercayaan dan Masyarakat Adat. Tim kordinasi ini meibatkan 28 kementerian dan lembaga teknis terkait untuk memaksimalkan layanan advokasi.
“Advokasi ini dengan cara pertama melakukan langkah-langkah persuasif terkait aspirasi penghayat kepercayaan dan masyarakat adat dalam rancangan kebijakan. Kedua melakukan langkah persuasif antar kementerian terkait kebijakan yang berdampak pada pemberdayaan penghayat kepercayaan dan masyarakat,” terangnya.
Langkah selanjutnya, sambung Molly, melakukan mediasi dan memberikan pelatihan atau peningkatan kapasitas dan perlindungan tentang pembelaan hak sipil, ekonomi sosial dan budaya. PMK juga membantu menyelesaikan masalah dengan alternatif litigasi apabila kasus yang muncul berkaitan dengan hukum. Cep