“Kemudian kami minta hal-hal seperti ini tidak terjadi. Orang mau sekolah kok ditolak, bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa, nek meh masuk sekolah wae di tolak”
Semarang, elsaonline.com – Kepala Bidang (Kabid) Pembinaan Pendidikan Khusus (Diksus), Dinas dan Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng, Kustrisaptono, menyatakan Sekolah Damai harus membudaya di semua jenjang sekolah. Nilai-nilai sekolah damai harus terinternalisasi dalam pola pikir semua warga sekolah.
“Dinas Pendidikan dan Wahid Foundation visinya sama. Punya angan-angan terjadi keseimbangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah ramah anak, sekolah menyenangkan, sekolah damai itu program bagus dan harus menjadi budaya,” katanya, saat audiensi bersama Wahid Foundation di ruang pertemuan Dinas Pendidikan dan Kebudyaan Provinsi Jateng, 19 November 2021.
Hadir pada pertemuan itu perwakilan Bidang Program Endang Lestari Rahayu, Bidang SMK Andi Suprijanto, Bidang SMA Sutrisno, Bidang Kepercayaan Sulistyono, dan BPTIK Siswanto. Semua bidang yang hadir pada kesempatan itu bersepakat bahwa program sekolah damai perlu dikembang di sekolah.
Kustri, sapaan akrabnya, yang memimpin pertemuan itu menyampaikan semua program yang baik dan mendukung penyelenggaraan pendidikan perlu diwadahi. Begitu juga dengan sekolah damai, jangan hanya slogan tertulis namun harus menjadi pola pikir dan terinternalisasi dalam benak anak, guru, dan semua ekosistem di sekolah.
“Ini harus menjadi mindset bahwa kita harus menjadi ramah anak, menyenangkan, menjadi sekolah yang damai, dan kalau itu bisa benar-benar masuk, sangat bagus. Harus berproses, alangkah baiknya kalau bisa mulai dari tingkat dasar hingga menengah,” tambahnya.
Siswa Penghayat Kepercayaan
Program sekolah damai juga disambut hangat Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng. Perwakilan Bidang Kebudayaan Sulistyono menyampaikan, pihaknya mengapresiasi program sekolah damai Wahid Foundation.
“Sangat-sangat setuju (adanya program sekolah damai), terutama dari kami di Bidang Kebudayaan. Boleh kami nitip siswa-siswa penghayat Kepercayaan tentang (masalah yang di alami) anak-anak penghayat Kepercayaan,” katanya, mengawali pembicaraan.
Sulis, sapaan akrabnya, bercerita tentang kejadian yang menimpa anak penghayat Kepercayaan pada tahun 2019. Di Kabupaten Kendal pernah terjadi diskriminasi terhadap calon siswa yang notabene penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
“Waktu itu ingin mendaftar di dalah satu SMK swasta di Kabupaten Kendal. Dia mendaftar sesuai dengan program studi yang diminatinya dan sekolah ini juga dekat dengan rumahnya calon siswa. Mereka mengambil forumulir, membayar, mengisi lalu diserahkan kepada sekolah (panitia penerimaan siswa baru)”.
“Besok paginya, formulir tersbut itu dikembalikan kepada orang tua calon siswa itu. Karena disitu terdapat kolom agama yang diisi kepercayaan. Ini merupakan salah satu bentuk intoleransi,” sambung Sulistyono.
Intoleransi
Intoleransi itu terjadi pada 2019 yang artinya sudah ada panduan pelayanan pendidikan bagi penganut Kepercayaan sesuai Permendikbud 27 Tahun 2016. Meski akhirnya siswa diterima sekolah, namun harus melewati proses pengaduan hingga ke Diknas Provinsi Jateng.
“Waktu itu siswa, orang tua siswa, dan organisasi kepercayaan mengadu kepada kami, juga dari Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal. Kemudian kami minta hal-hal seperti ini tidak terjadi. Orang mau sekolah kok ditolak, bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa, nek meh masuk sekolah wae di tolak,” katanya.
Atas kejadian itu pihaknya berkomunikasi supaya dicarikan solusi dan semua anak dapat mengenyam sekolah yang lebih tinggi. Pada akhirnya di sekolah tersebut menerima siswa untuk bersekolah.
“Nah, pilot projek sekolah damai itu kalau bisa jangan hanya siswa lintas agama saja, tapi juga siswa penghayat Kepercayaan. Karena kalau mengacu pada putusan MK, Kepercayaan itu setara dengan agama,” tukasnya.
Kepala BPTIK Dinas Pendidikan dan Kebudyaan Provinsi Jateng yang hadir pada kesempatan itu menekankan pentingnya sebuah program terimplementasi dalam kurikulum pendidikan. Hematnya, salah satu faktor keberhasilan sebuah program jika terimplementasi dalam rencana belajar mengajar.
“Yang jangan dianggap remeh adalah sebuah program harus terintegrasi dengan kurikulum. Kebanyakan program gagal karena tidak terintegrasi dengan kurikulum pendidikan. Sekali lagi ini tergantung kepada kepala sekolah. Suatu kurikulum ada perencanaan dalam belajar mengajar,” katanya.
“Mulai dari bagaimana mengintegrasikannya, harus jelas indikatornya. Supaya bisa terintegrasi dengan kurikulum dan harus siap dari sisi guru dan kepala sekolahnya,” pungkasnya. Cep