[Semarang –elsaonline.com] Dalam tradisi beragama dan keagamaan harus membudayakan tabayun atau klarifikasi. Tradisi tabayun ini kerap dipakai almarhum Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dalam menakhkodai NU. Dengan saling tukar pikiran antar umat beragama, tak ada lagi prasangka-prasangka buruk terhadap agama lain.
“NU memiliki fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), fikrah tasamuhiyyah (pola pikir toleran), fikrah ishlahiyyah (pola pikir reformatif), fikrah tathowwuriyyah (pola pikir dinamis), fikrah manhajiyyah (pola pikir metodologis),” tutur Sekretaris Lakpesdam PWNU Jateng, Tedi Kholiludin, Jumat (1710/14).
Tedi menyatakan itu pada Fokus Grup Diskusi (FGD) yang digelar Lakpesdam NU Jateng di kantor PWNU Jalan Dr Cipto Semarang. Hadir pada kesempatan itu Romo Aloys Budi Purnomo, Pdt. Chlaodhius Budhianto, Pdt. Wipro Pradipto, Andi Gunawan (Khong Hu Chu) Tita Hersanta (Penghayat) I Komang Jananuraga, Romo Henry Basuki dan Lukas Awi Tristanto.
Menurutnya, meskipun secara pola pikir sudah mapan namun masih ada jarak antara pemikiran dan praktik bermasyarakat. Karena itu, Kasus-kasus bernuansa agama banyak melibatkan orang muslim, termasuk mungkin di dalamnya terdapat warga NU.
“Konflik internal Islam memang lebih banyak. Namun konflik dengan non Islam juga ada, seperti kecurigaan, penolakan pembangunan rumah ibadah, diskriminasi dan lainnya,” tandasnya.
Pernyataan Tedi di atas disambung oleh Pendeta dari GKJTU (Gereja Kristen Jawa Tengah Utara) Krangkeng, Kabupaten Semarang Pdt. Chlaodhius Budhianto. Ia menyatakan hal senada dengan Tedi berdasarkan pengalaman di lapangan. Selama ia membimbing jemaat, katanya, pernah terjadi persoalan antara gereja dengan masyarakat sekitar.
“Saya banyak berelasi dengan teman-teman NU di kalangan “elit”. Menariknya ada pengalaman yang kami alami sebagai komunitas gereja. Ceritanya pernah terjadi konflik yang terjadi di internal GKJTU yang menjadikan gereja pecah menjadi dua. Nah kemudian yang bermasalah itu “anak kami”, pecahan GKJTU,” paparnya.
Terprovokasi
Ia melanjutkan ceritanya, pada 2008-2009, jemaat yang berpisah dari GKJTU hendak membangun gereja. Namun ada komunikasi yang kurang baik dengan warga dan seakan pemimpin itu menantang warga. Berawal dari kejadian inilah hampir terjadi keributan dengan warga, yang mungkin di dalamnya sebagian warga NU.
“Warga kampung dan gereja kemudian memanas. Ada sekitar 1500 kelompok Islam yang bersiap di sekeliling desa. Andai saja negosiasi gagal, mungkin gereja akan rata dengan tanah. Dan banyak gereja disana. Untungnya negosiasi berjalan dengan lancar,” tambahnya.
Chlaodhius mengungkapkan bahwa sebagian besar warga yang datang adalah orang dari luar kampung. Melihat orang dari luar kampung memanas, maka tetangga Muslim yang awalnya tak pernah ada masalah pun menjadi ikut-ikutan. Karena warga di akar rumput mudah terprovokasi dari luar.
“Mungkin semangat toleransi itu ada di elit NU, sementara di kalangan bawah kurang begitu memahami tentang prinsip kehidupan NU itu sendiri. Kalau toh mereka bertoleran, bukan karena nilai-nilai NU, tetapi kekeluargaan yang sudah dibangun lama dalam masyarakat,” paparnya.
Lebih lanjut, ia berpendapat, NU yang lebih banyak berkembang di pesantren dan lembaga pendidikan, harus diejawentahkan dalam masyarakat yang lebih luas. Nilai-nilai NU yang moderat, toleran menghargai sesama harus masuk ke desa-desa, sehingga tercipta suatu pemahaman yang selaras antara elit dan akar rumput.
“Namun ya, sulit dibedakan juga mana yang NU dan bukan NU ketika sudah di masyarakat luas. Semua membaur. Namun jelasnya NU harus berperan dalam memupuk nilai kekeluargaan supaya tak mudah terprovokasi. Karena itu sesuatu yang sangat rawan,” pungkasnya. [elsa-ol/Cep -@ceprudin]