Kendati nasib gereja masih digantung, Jumat malam itu tampaknya tak menyurutkan niat Sutarjo untuk merayakan kedamaian ibadah hari lahir Kristus. Selain membawa kitab suci dan buku doa, umat yang datang terlihat antusias merayakan ibadah malam Natal. Mereka khusuk memanjatkan doa, yang diucapkan dalam bahasa lokal, kepada Tuhan.
Salah satu jemaat yang hadir dalam perayaan tersebut adalah Sutarjo. Dia datang bersama tiga saudaranya. Wajahnya -maaf- sedikit lucu, rambutnya pirang, kulitnya cokelat manis. Giginya rapi, kendati ada sedikit renggang di gigi depannya. Saat tertawa atau menyeringai, renggang gigi itu terlihat samar-samar. Ia menyampaikan, Natal bagi umat Kristiani dinilai sebagai hari raya untuk memperingati Sang Juru Selamat. Hal ini, kata dia, kelahiran Yesus adalah anugerah yang terbesar bagi umat manusia. Oleh karena anugerah itu seharusnya dapat dinikmati dengan bersukacita. “Natal adalah sebuah harapan datang. Harapan yang membawa kebaikan, meski sudah 13 tahun kami tidak merayakannya di gereja,” tutur ayah yang memakai baju batik.
Pria yang memiliki anak tiga ini mengaku harus kuat menjalani kehidupan dengan menunggu anugerah Tuhan dari peristiwa silang pendapat perijinan gereja tersebut. Sutarjo meyakini, Tuhan akan memberi anugerah lewat sejumlah ujian. “Kedamaian, kebersamaan dan optimisme akan masa depan yang lebih baik adalah anugerah terindah. Begitu pula akan perijinan gereja ini,” ujarnya.
Selain itu, dalam ibadah malam itu juga diikuti semua orang baik dari anak kecil, dewasa, kakek dan nenek. Walaupun begitu, ekspresi tidak percaya atas kegagalan merayakan Natal di halam gereja masih terpancar dari warga lainnya. Bahkan beberapa di antara mereka kemudian ada yang meneteskan air mata. Matanya berlinang. Sekian menit kemudian ada yang mengeluarkan sapu tangan dari sakunya. Lalu, ia usap air matanya. Namun, mereka masih setia memanjatkan doa.
“Semoga di langit sana tidak ada pengelompokan dan kesulitan seperti ini,” aku Waluyo, sapaan akrabnya. Raut muka Waluyo sama seperti para peserta ibadah Natal lainnya. Ia terlihat menunggu penjelasan lanjutan ikhwal penghentian fungsi pembangunan gereja ini. Ia mengaku jawaban yang disampaikan selama ini seperti keluar dari mulut Asmuni Srimulat. Tapi, Waluyo hanya merenungkannya. Ia merasa getir akan jawaban itu, tapi ia kunyah lama-lama. Semakin dikunyah, memang semakin pahit rasanya. “Seperti pahitnya bratawali. Tapi, semoga kedamaian Natal dan pengharapan ini dapat dikabulkan Tuhan. Sehingga segera dapat selesai,” bebernya.
Sementara Pendeta GITJ Dermolo, Theofilus Tumijan, mengaku persoalan nasib gereja ini masih bisa diatasi asal ada tekad yang kuat dari pemerintah untuk mencari jalan keluar. Ia menjelaskan bahwa semua masalah ternyata selalu bisa ditemukan jalan keluarnya. “Asal dipikirkan sungguh-sungguh dan dikerjakan mati-matian,” ungkapnya. Tumijan menceritakan, walau tentu saja melelahkan dan menegangkan, tapi hasilnya sungguh nikmat bagi warga Dermolo karena masyarakat bisa tentram dan harmonis.
Oleh sebab itu, Tumijan sangat berharap kepada Gubernur Ganjar Pranowo atas kebijakannya. Ia menuturkan bahwa selama ‘satu setengah tahun’ masa jabatannya ini ia menilai belum ada tanda-tanda kemajuan. “Nah, siapa tahu gubernur muda itu masih bisa memikirkan perencanaannya. Kalau tidak, Pak Gubernur akan kehilangan waktu dan kesempatan membuat sejarah baru di Jawa Tengah,” terangnya.
Regulasi dan Tingkat Intimasi
Tarik ulur pendirian rumah ibadah tampaknya juga telah mengusik hati Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah, Mudjahirin Tohir. Ia mengungkapkan bahwa tempat ibadah memang penting. Apalagi jika ditanyakan pada orang saleh. Namun, imbuh dia, perkara penting tersebut tak dengan sendirinya menjadi mudah.
“Di banyak tempat, di belahan Indonesia bagian timur atau barat, masih banyak kaum minoritas tak mudah mendirikan tempat ibadah,” tulis dia dalam catatan Mingguannya di Suara Merdeka edisi Minggu 16 November 2014 ini. Guru Besar Antropologi Undip ini menegaskan, pendirian tempat ibadah sesungguhnya bukan soal alasan izin mendirikan bangunan (IMB) atau regulasi sebagaimana bunyi surat keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri semata-mata. Namun, kata dia, lebih pada soal bagaimana warga masyarakat menyikapi keinginan penganut agama berbeda. “Untuk meluhurkan peradaban, mereka yang berbeda dipandang sebagai kawan atau lawan? Itulah akar dan permasalahan yang tak mudah diurai ke permukaan,” sebut dia.
Sedangkan bagi Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Yayasan Paramadina, Husni Mubarok, menambahkan, pemerintah memang perlu membekali anggota FKUB keterampilan mediasi konflik. Selain sengketa pendirian tempat ibadah, FKUB juga dihadapkan pada ketegangan berbasis keagamaan.
“Kemahiran dalam mediasi konflik sebelum mobilisasi massa sangat membantu FKUB berperan lebih banyak untuk mengantisipasi kekerasan,” sebut dia seperti dikutip dalam koran Tempo, edisi Jumat (21/10) lalu. Lima jam tak terasa kami sudah bercengkrama menyelami keinginan, harapan dan mimpi dengan mereka. Kami hanya bisa terdiam mendengar penuturan langsung para jemaat ini. Sembilan menit kemudian, Pak Pendeta membuyarkan keheningan beberapa saat itu dengan mengajak kami makan malam.
“Kalau ke sini harus nyobain masakan kami. Ayo, kita makan malam. Seadanya saja,” ajak dia. Menu makan malam kami kali ini adalah nasi dengan sayur, tahu, tempe, ayam, sambal kecap, jeruk, pisang dan ikan laut yang dimakan secara lesehan. Tak terasa, tengah malam sudah datang. Lima jam sudah kami menjadi tamu ‘kado natal’ yang mendapatkan sambutan ramah dan hangat di desa yang berjarak kurang lebih 8,2 KM dari Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara. Cerita dan rasa yang kami dapat dari sana, semoga bergaung hingga ke seluruh dunia. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]