Oleh: Tedi Kholiludin
Menilik sejarah kelahirannya, komitmen Nahdlatul Ulama (NU) ditunjukkan dengan konsisten pada ranah kebangsaan dan kerakyatan. Setidaknya ini terlihat pada awal terbentuknya organisasi dan masa-masa awal kemerdekaan. Selain “Deklarasi Jihad” yang digemakan pada 22 Oktober 1945 yang kelak kemudian diperingati sebagai Hari Santri, percakapan wakil-wakil NU di gelanggang parlemen juga menarik untuk dilihat dalam kerangka kebangsaan dan kerakyatan tersebut.
Pada sidang Konstituante, KH. Syaifuddin Zuhri, H. Zainul Arifin, KH. M. Thaha, KH Masjkur dan lainnya, mewakili Fraksi NU bergantian menyampaikan pandangannya. Pada pembahasan mengenai dasar negara yang berlangsung pada 11 November hingga 6 Desember 1957, tak kurang dari 100 orang anggota konstituante menyampaikan gagasannya.
Dalam Risalah Sidang Konstituante tahun 1957 Jilid V dan VI terbaca bagaimana KH. Masjkur KH. Masjkur dari fraksi NU turut menyampaikan ide tentang titik temu Pancasila. Baginya, Islam dan Pancasila memiliki kesamaan dalam lima hal; menghendaki negara yang makmur, pemerintahan yang demokratis, anti kapitalisme, kehidupan yang disusun atas dasar kekeluargaan serta menghendaki agar kehidupan rumah tangga banggsa kita memiliki akhlak yang tinggi. Meski ada kesamaan-kesamaan, KH. Masjkur memungkasi pidatonya dengan tetap menawarkan Islam sebagai dasar negara, karena Pancasila masih merupakan rumusan kosong yang belum jelas arahnya.
Komitmen NU dalam konteks kebangsaan tak berhenti sampai disana. Dalam musyawarah ulama tahun 2006 di Surabaya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) merumuskan fikrah nahdliyyah atau kerangka berpikir yang menjadi pijakan NU dalam menjalankan roda organisasinya berdasarkan landasan berpikir atau khittah nahdliyyah. Keputusan tentang Fikrah Nahdliyah termaktub dalam Keputusan Musyawarah Nasional Ulama Nomor: 02/Munas/VII/2006 tentang Bahtsul Masail Maudlu’iyyah. Setidaknya dua hal yang dirumuskan dalam musyawarah sebagai bagian dari kerangka berpikir tersebut. Pertama, Manhaj Fikrah Nahdliyah (Metode berpikir ke-NU-an). Kedua, Khashaish (Ciri-ciri) Fikrah Nahdliyah (Moderat, Seimbang, Toleran, Reformatif dan Dinamis).
Tahun 1983 menjadi salah satu mata rantai kesejarahan NU yang penting untuk dicermati. Meski akar geneologi dari formula fikrah nahdliyah ini berakar tunggang pada konstruksi teologis dan juga sosiologis dari pendirian NU itu sendiri, tetapi musyawarah alim ulama di Sukorejo, Situbondo Jawa Timur dengan sangat baik merumuskan sebuah deklarasi tentang hubungan Pancasila dan Islam. Manifestasi dari ciri-ciri fikrah nahdliyah terlihat jelas dalam deklarasi yang salah satunya menegaskan tentang “penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya”.
Baik khittah nahdliyah maupun fikrah nahdliyah tidak hanya menjadi dasar beragama bagi warga nahdliyyin tetapi juga menjadi dasar dalam relasinya dengan masyarakat lain di negara Indonesia yang majemuk. Pun, dalam tema yang berkaitan dengan kesetiaan atau loyalitas kepada negara.
Rumusan tentang khittah nahdliyah dan fikrah nahdliyah akan memiliki signifikansinya jika diposisikan dalam kerangka besar kehidupan berbangsa dan negara. Sekaligus sebagai partisipasi kelompok masyarakat untuk membangun sebuah pola relasi yang simbiotik; secara vertikal dengan pemerintah, maupun diantara kelompok masyarakat itu sendiri.
Saya hendak mengatakan bahwa fikrah nahdliyyah ini adalah sebentuk religiositas atau keberagamaan sipil bangsa Indonesia yang sangat khas. Saya mengapungkan diskursus (religiositas) ini setelah melakukan penelaahan terhadap wacana agama sipil dan Pancasila dalam konteks masyarakat Indonesia saat menulis Disertasi.
Pancasila, dalam kesimpulan yang saya rujuk dari pelbagai kajian yang telah ada sebelumnya, merupakan agama sipil. Pancasila menjadi payung bersama dari semua elemen bangsa yang berbeda latar belakang agama, etnis, suku dan bahasa. Seturut ide yang dikembangkan dalam agama sipil, Pancasila tidak hanya menjadi dasar integrasi politik, tetapi juga memiliki dimensi keagamaan didalamnya.
Keberagamaan yang dimaksud, tidak hanya dalam pengertian formal dan teologis saja, tetapi juga didudukkan dalam kerangka yang lebih luas dalam pengaturan hubungan antar masyarakat, karenanya ada kata “sipil” dalam ide yang saya kembangkan tersebut. Disini, saya mencermati bagaimana dalam membangun formula pikiran kebangsaan itu disulam.