Perempuan dan Manajemen Konflik

0
181
Seorang perempuan sedang bernegosiasi dengan tentara perang. [Foto: http://www.equalpowerlastingpeace.org/why/women-and-armed-conflict/]

Oleh: Tedi Kholiludin

Francis Stewart, Guru Besar di Oxford University mengatakan tiga hal tentang perempuan dan konflik. Pertama, perempuan, dalam banyak kasus, selalu berada dalam posisi korban konflik. Kedua, meski begitu, tak sedikit perempuan yang menjadi agen dan secara aktif turut berpartisipasi dalam perang. Ketiga, namun, mereka seringkali diabaikan ketika terjadi perdamaian.

Stewart menjabarkan fakta. Kebanyakan ia mengambil kasus di negara-negara Afrika. Dalam situasi perang, pemerkosaan kerap terjadi terhadap perempuan. 94 % pengungsi perempuan jadi korban perkosaan di Sierra Leon. Seperempat hingga setengah korban genosida di Rwanda diperkosa terlebih dahulu. Perempuan yang menjadi tawanan perang, dipaksa menjadi istri. Di Angola, Mozambique In countries like Angola, Mozambique, Kosova, muncul banyak para janda saat perang berakhir . Tak hanya itu, perempuan-perempuan akhirnya membuka prostitusi untuk mendukung keluarganya. Angka prevalensi HIV/AIDS diantara perempuan cukup tinggi di area konflik.

Selain sebagai korban, di negara yang angka konfliknya cukup tinggi, perempuan juga berperan sebagai tentara perang. Ini terjadi misalnya di Aljazair, El Salvador, Eritrea, Mozambik, Namibia, Nepal, Nikaragua, Afrika Selatan dan Sri Lanka. Dari 55 negara yang disurvei, ditemukan perempuan aktif di 38 negara. Jumlah mereka sepersepuluh hingga sepertiga pasukan tempur. Mereka tidak hanya berperan sebagai penyedia konsumsi di dapur, tetapi juga hadir di garis depan pertempuran.

Di Nigeria bagian tenggara, para wanita menyumbangkan uang dan makanan untuk mendukung para pejuang dan beberapa lainnya bertempur. Wanita Kashmir membantu separatis melarikan diri memberi makan para kombatan, menyediakan tempat penampungan; sebagai kurir membawa pesan dan lainnya.

Di luar peran-peran aktif dalam situasi konflik (dalam pengertian sebagai kombatan), perempuan juga memiliki kontribusi penting dalam keadaan pasca konflik; negosiasi damai, demobilisasi program dan rekonstruksi pasca konflik. Di Colombia, perempuan bertanggungjawab untuk membangun jejaring kelompok pro perdamaian. Di Irlandia Utara, Burundi, Liberia, ada koalisi perempuan diantara kelompok-kelompok yang berkonflik.

Baca Juga  Akta Kelahiran Anak Sedulur Sikep Kudus Bermasalah

Mano River Women’s Peace Network (MARWOPNET) membawa serta perempuan dari Guinea, Liberia dan Sierra Leone yang sangat penting dalam penciptaan perdamaian, seperti mengajak kepala negara untuk terlibat negosiasi perdamaian pada 2001.

Laporan yang dibuat oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue pada 2011 tentang pengelolaan konflik sosial di Indonesia menggambarkan peran perempuan dalam negosiasi-negosiasi perdamaian, utamanya di Poso, Aceh dan Ambon. Perempuan banyak memimpin banyak proses dialog antar-agama dan perdamaian pada tingkat akar rumput.

Meski mungkin dianggap sepele, orang tidak bisa meremehkan begitu saja pengaruh perempuan kepada suaminya untuk meletekan senjata. Dan cukup banyak yang berhasil.

Dua pendeta perempuan dari komunitas Kristen dan seorang perempuan Muslim berpartisipasi dalam proses Malino I. Di Malino II, seorang pendeta perempuan dan dua perempuan Katolik dipilih sebagai perwakilan dari komunitas Kristen.

September 1999, Gerakan Perempuan Peduli (GPP) dibentuk. Gerakan ini diinisiasi oleh lebih dari 40 aktivis perempuan Muslim, Protestan dan Katolik. Mereka mengorganisir aksi menentang kekerasan di Maluku bahkan ketika konflik mencapai puncaknya. Mereka juga mengatur pertemuan dengan pejabat pemerintah dan keamanan, pemimpin agama dan lainnya.

Rupanya, peran-peran perempuan lebih kompleks dalam situasi konflik atau sesudahnya. Ia ada di atas panggung maupun di balik layar; on-stage dan off-stage. Perempuan memiliki modal untuk itu, terutama yang bersifat psikis; phsycological capital. Karenanya, pelibatan perempuan dalam rangka membangun perdamaian merupakan salah hal yang bisa diupayakan.

Tentu ini tak lepas dari bacaan awal tentang akar konflik sebagai langkah awalnya. Kata Stewart (2008), konflik terjadi karena ada ketidaksetaraan horisontal atau horizontal inequalities. Ketidaksetaraan dalam dimensi ekonomi, sosial atau politik atau status budaya antara kelompok yang didefinisikan secara kultural, potensial menyebabkan konflik. Kebijakan yang berkontribusi untuk mengurangi ketidaksetaraan horisontal, karenanya mengurangi kemungkinan konflik. Begitu juga peran-peran kelompok sosial yang memang ada di level horisontal.

Baca Juga  ‘Anjing’ Menggonggong, Kafilah Menggonggong

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini