Oleh: Nazar Nurdin
Menulis tentang Gus Dur adalah hal yang sulit. Saya tidak tahu apa-apa soal Gus Dur. Siapakah dia, bagaimana riwayat hihupnya, bagaimana jenjang pendidikannya, dsb. Saya juga tidak pernah bertemu dengan Gus Dur.
Yang saya tahu Gus Dur adalah mantan Presiden RI, mantan ketua umum Nahdlatul Ulama’, aktivis demokrasi yang bertindak toleran, cucu sang Kyai, KH Hasyim Asy’ari. Itu saja, tidak lebih kala itu.
Banyak orang mengatakan bahwa Gus Dur adalah cucu pendiri Nahdlatul Ulama, Syekh Besar KH Hasyim Asy’ari. Dia putra Wahid Hasyim, putra Mbah Hasyim yang menjadi Menteri Agama pertama Indonesia. Itu yang tahu dari sisi riwayatnya.
Kemudian, pendidikannya di berbagai kampus di luar negeri. Ada beberapa kampus top di luar negeri, terutama timur tengah yang ilmunya berhasil dicurinya. Namun, Gus Dur tidak pernah mempunyai ijazah kelulusan. Artinya, Gus Dur memilih untuk tidak lulus.
Selanjutnya, pulang dan menjadi aktivis pluralis, moderat yang sangat peduli akan demokrasi. Itu saja. Tidak lebih.
Soal lain, Dia kemudian jadi ketua NU selama beberapa periode. Dianggap berhasil, Ia menjadi corong NU untuk berbicara soal pluralisme, moderatisme dan pentingnya hubungan kerukunan antar agama. Gus Dur semakin populer, dan tahun 1999 didapuk kemudian jadi Presiden RI. Jaringan dan persebaran pengetahuan otomatis semakin meluas. Saya juga tahu sedikit soal ini. Tidak banyak.
Hanya sedikit yang saya tahu, tidak banyak. Semua yang saya ketahui itu berasal dari teks teks soal Gus Dur.
Beragam buku terbitan LKiS khusus menerbitkan judul. Ada puluhan terbitan buku yang masih diedarkan hingga saat ini. Itulah buku yang sering bisa saya baca. Selain itu, tulisan kawan-kawan Gus Dur terutama dari Greg Barton soal autobiografi menjadi semakin jelas, siapa dan bagaimana sosok Gus Dur itu.
Pengetahuan soal Gus Dur bertambah seiring dengan pernyataan dari beberapa pihak soal perjumpaan dengan Gus Dur. Pernyataan yang bernada kekaguman akan Gus Dur. Pernyataan yang tulus dari para murid, kolega. Tapi cenderung subjektif. Itulah yang pengetahuan saya soal Gus Dur.
Selain itu, kemunculan Gus Dur dalam talk show di televisi, radio, tulisan di koran dan advokasinya pada beragam persoalan bangsa menambah rasa tahu. Inilah yang mungkin satu step materi Gus Dur kepada saya.
Saya juga beberapa kali ikut Gus Durian, para orang, sahabat yang mengabdikan dan meneruskan cita-cita Gus Dur. Semakin saya membaca, semakin terlena dengan apa yang disubjektifkan orang-orang soal Gus Dur. Saya memang tidak tahu apa-apa, namun soal objektifitas memang perlu untuk ditonjolkan.
Tokoh bangsa yang baik tidak bisa hanya muncul lewat klaim dan subjektifitas teman dekatnya. Tokoh bangsa yang baik adalah warga, penduduk yang cinta dan terus mengabadikan apa yang diperjuangkan Gus Dur untuk kemakmuran masyarakatnya. Tentu sosok Gus Dur harus dipandang secara objektif.
Gus Dur dipandang dari kalangan militer adalah sosok yang mencintai bangsanya. Dipandang dari tokoh agama lain, Gus Dur adalah pengayom dan penebar toleransi. Lihat bagaimana pernyataan Basuki Cahya Purnama dalam haul Gus Dur. Begitu juga soal bagaimana cara Gus Dur mengajari murid-muridnya, santrinya bahkan koleganya.
Dipandang dari relasinya luar negeri, Gus Dur bisa membuat presiden negara lain bisa tergelak tawa. Banyak orang berkata, kekuatan Gus Dur soal kepandaian berbabahasa menjadi primadona yang sangat berbeda dari biasanya. Gus Dur pun dipandang sebagai sosok yang cerdas. Dia bisa menyeimbangkan kelucuan dalam bingkai kecerdasan intelektual. Ini khas kyai dan berakar dari kalangan pesantren.
Dari sinilah saya kira objektifme soal Gus Dur sudah muncul. Objektivisme sudah bisa terlampaui dan dinyatakan lengkap oleh semua orang. Bagi banyak pihak yang merasa khawatir soal objektifitas mungkin masih butuh waktu lebih lama.
Hasil berupa kisah perjuangan membebaskan kaum lemah tidak bisa dilihat secara praktis. Ada waktu pembuktian dan pengujian akan eksistensi gerakan dan pemikiran seorang.
Sekali lagi, Gus Dur agaknya sudah melewati ini. Saya pandang secara objektif. Tidak ada kerakusan Gus Dur akan kekuasaan. Hanya pengabdian untuk bangsa, dan masyarakat yang memaksa Gus Dur bersedia diturunkan. Itulah moment yang sangat tidak mungkin terlupakan.
Bahwa kedewasaan, ketabahan, dan tidak adanya dendam diprektekkan Gus Dur secara halus tanpa ada permusuhan kemudian.
Inilah yang membedakan Gus Dur dengan yang lain. Inilah pembacaan dan renungan singkat soal Gus Dur dalam pandangan saya.Akhirnya, sudah empat tahun berlalu Gus Dur meninggalkan semua. Selamat jalan Gus Dur. Semoga amal bakti diterimya di sisi-Nya.