Sepertimu yang Berdamai, Saya Juga Menjadi Manusia Baru

Oleh: Alhilyatuz Zakiyah Fillaily (Peneliti di eLSA)

Tentang konflik, ingatan jauh yang paling pertama datang ialah saat saya mendamaikan 2 teman SMP yang bertengkar. Pengamatan saya, konflik itu yang mengakibatkan terganggunya proses belajar pada masing-masing diri mereka. Saya ingat bagaimana wajah mrungut itu, mereka lebih diam, pindah teman bergaul dan terlihat tidak riang seperti biasanya. Akhir-akhir ini baru saya ketahui bahwa memang remaja sangat butuh diterima di lingkungannya.

Pada konflik itulah pertama kalinya saya dipercayai menjadi pendengar orang atas permasalahan hidupnya dan meresponnya dengan tindakan. Intinya mau susah-susah ikut menyelesaikan. Sebagai ingatan diri, itu dibarengi dengan awal pertama saya menstruasi. Saya hampir tak percaya ada yang mengirimkan darah melalui vagina saya. Bagi saya saat itu, justru nyeri perasaan lebih terasa, dibandingkan bagaimana nyeri haid. Dikemudian hari, saya baru benar-benar mengerti bahwa nyeri haid itu memang ada, saat teman perempuan saya ketika SMA pingsan merasakan nyeri itu. Jadi selama ini bisa dikatakan bahwa; saya menolak pengalam nyeri itu di perut saya. Betul, konflik nyaris ada dalam setiap jengkal kehidupan kita, baik konflik dengan pikiran dan perasaan diri sendiri, ataupun konflik dengan orang lain.

Saya ingin bertanya, apakah menyelesaikan konflik orang lain itu adalah pilihan? Bagi mahasiswa semester akhir semacam saya ini, tidak tahu mengapa, rasanya saya bosan mendengarkan ceramah dosen, lebih-lebih berpura-pura tenang dalam keadaan buruk. Kedengarannya sangat sok, memang. Bagaimana bisa tenang, jika mengetahui orang yang berseragam rapi itu pelaku pelecehan seksual? Cuihh, ingin saya meludah, di pot tanaman saya kok!!! Andai saya rektor, tu orang pasti saya pecat tanpa tanggung-tanggung meski titelnya mentereng. Halah, lagi-lagi kesadaran posisi relasi kuasa dan patriarki yang memutari kehidupan, membuat saya harus lebih bersabar bahwa napas perjuangan masih panjang. Maaf kalau saya naik pitam, tapi bukan soal ini yang ingin saya utarakan, bukan.

Yang membuat saya terpancing membeberkan isi pikiran, yaitu bermula pada hari saat saya membaca sebuah buku yang tiba pada hari Sabtu (13/06), dikirim oleh penyunting buku tersebut. Tak lupa penyuntingnya mengingatkan untuk tidak mempublikasikan demi keamanan dan kenyamanan penulis yang dulunya sebarak dengan Pramoedya. Buku ini memang diperjualbelikan secara tertutup, penawarannya pun hanya ditujukan kepada personal di lingkaran jaringan yang diyakini tim memiliki apresiasi, kepedulian dan keberpihakan terhadap korban.

Baca Juga  Ulil dan Liberalisme yang Saleh

Ketika membaca tepat pada halaman 7, sontak diri saya terkaget. “Aaah!” Tangan saya refleks meraba bibir dan pipi. Yang bikin hati saya kembali teriris, saat penulis menuturkan F bibirnya pecah, tamparan keras bertubi-tubi melayang, dan hidung mengeluarkan darah. Saya terbawa ikut merasakan kepedihan hidup F begitu meroyak. F, dituduh interogator mengikuti gerilya politik (gerpol) PKI. Padahal ia baru saja mendengar istilah itu. Ia tak tahu apa-apa.

Tahukah kamu? Sebelum menulis ini, saya berjeda dari riuh, memeras pikiran, sungguh-sungguh memikirkan apa yang telah saya perbuat (lebih menusuk, sebagai generasi muda yang seringkali dibangga-banggakan) untuk bisa dibagikan menjadi pembelajaran. Jeda itu menggiring saya merasakan dengan jernih suara angin menghampar, “glug glug glug” suara jendela tak terkunci dengan sedikit terbuka yang terterpa angin, suara cetok semen yang memukul tembok oleh pekerja bangunan samping rumah, suara palu pada tembok seakan jadi suara asing yang memukuli dada saya, terdengar pula suara kecil berupa hanger handuk yang menaut di gagang pintu membuatnya bergoyang-goyang karena angin, dan diantara suara itu saya terbujur lemas di kasur. Ingin menangis rasanya. Ya, menangis. Saya dikembalikan lagi pada rasa yang tak asing, meresapi diri sendiri.

Saya sebelumnya tidak pernah membayangkan akan hidup di lorong-lorong sempit yang tajam, jauh, bahkan sepi. Dari sepanjang usia saya, justru di sinilah rasa-rasanya saya kok belajar banyak tentang kebaikan manusia, tidak di tempat lain, sekalipun itu semewah universitas terfavorit, paling populer –ataupun sebutan lainnya. Bisa sering belajar dengan penyintas 1965, dan melangkah bersama teman-teman yang memiliki jiwa yang besar merupakan proses mahal; belajar melakukan upaya-upaya kreatif melawan impunitas dengan gaya kami anak muda, alih-alih advokasi yang menuntut negara ini itu, saya tak mau menutup mata, saya dan teman-teman (seperti) ada dalam jebakan sulit ke jalan yang itu. Bagi saya pribadi, peran kecil saya dalam proses, berdampak besar dalam hidup saya. Bagaimana tidak? Minimal oleh-oleh buku dari eyang saya bawa pulang. Ya, kamu harus tahu mengapa saya memanggil eyang, kebanyakan dari mereka telah berusia senja.

Baca Juga  Masjid (bukan) Sebagai Pasar Perbedaan: Tanggapan Terhadap Ulil Abshar-Abdalla

Seumur hidup, saya akan selalu ingat Eyang Soemini, penyintas, perempuan pembela HAM, yang sejak muda mengorganisir kaumnya di Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) cabang di kotanya. Gairah membaca mengusiknya untuk menelusuri kondisi masyarakat di sekitarnya. Tak tahan hanya diam, Eyang Soemini aksi menuntut upah kaum buruh Pabrik Gula di kotanya yang dikorupsi. Eyang dan teman-teman perempuannya mendirikan TK Melati, TK pertama waktu itu, sekaligus mengajar tanpa digaji. Menarik lagi, eyang melakukan aksi Gerakan Mengganyang Tikus (Germet) saking banyaknya tikus yang merugikan para petani.

Saya ingat betul apa yang dikatakan Eyang Soemini dalam memaknai hubungannya dengan orangtua semasa muda. Ia bilang; “Saya belum bisa membahagiakan orangtua, tetapi saya berusaha tidak menyusahkan orangtua!” Emosi yang saya rasakan pada kalimat itu seakan datang dari asal jiwa yang sama. Percayakah kamu? Saya pernah mengatakan begitu pada diri saya sendiri dalam relasi yang sama (dengan orangtua), karena saya memutuskan tidak lulus cepat dan dampaknya belum bekerja mapan seperti apa yang segera dilakukan orang-orang seusia saya. Yaitu segera dan segera. Menumpuk kekayaan bekal masa depan. Untuk yang demikian, agak pragmatis dalam pandangan saya, kamu boleh tidak setuju. Saya terlibat lama pemikiran soal ini, ruwet.

Dalam peristiwa 1965, Eyang Soemini tidak hanya ditahan tanpa proses peradilan, tapi juga mengalami siksaan karena ia perempuan. Dan bayangkan sampai sekarang, telah 25 tahun lamanya air mata itu selalu mengalir dari kelopak matanya setiap kali menceritakan kebenaran.
Saya juga sering teringat dengan Eyang Rukiyah, korban penyiksaan tragedi di Rumoh Geudong Aceh. Perjalanan membawa saya bertemu dengannya saat “Peringatan Memorialisasi Rumoh Geudong” awal Maret 2020. Secara tidak sengaja kami duduk berdekatan, anaknya bernama Kak Hijriah duduk di sebelah kiri saya. Kepada beberapa rombongan kami, yang duduknya berdekatan, Eyang Rukiyah menuturkan kisahnya dalam bahasa Aceh. Kak Hijriah mengalih bahasakan ke bahasa Indonesia.

Baca Juga  Tentang Terorisme

Teman saya, pendamping penyintas Stolen Children dari Makassar mengaliri suasana dengan air mata. Eyang Rukiyah kehilangan suaminya. Tuturnya, suaminya ditembak saat perjalanan dari kebun ke rumah. Lalu dibawa ke Rumoh Geudong. Eyang Rukiyah yang menyusul ke Rumoh Geudong, malahan ditahan dan disiksa di sana. Kamu tahu? Saat itu Eyang Rukiyah sedang mengandung Kak Hijriah, saat usia kandungan 8 bulan.

Wajah Eyang Rukiyah dan Kak Hijriah nampak bahagia seperti tak ada beban sedikitpun, tak ada dendam apalagi amarah yang terpancar. Hanya kedamaian yang saya rasakan. Saat berpamitan diantara banyak orang, saya dan Eyang Rukiyah berpelukan dan saling mendoakan. Kami tiba-tiba seperti eyang dan cucu.

Pengalaman mendengarkan cerita mereka adalah pengalaman mengaktifkan perasaan empati dalam diri saya. Cukup penting bagi saya, sehingga saat ini ditemani konselor dalam memulihkan Secondary Traumatic Stress (STS). Kondisi yang kerap dialami pendengar yang secara instens dalam waktu yang lama berproses (pendamping). Teman saya, usai mendengarkan cerita 6 penyintas dalam sehari, badannya langsung pegal, mual. Adapula yang muntah. Sedangkan untuk badan saya sendiri mampu menampung cerita itu, tetapi secara psikis muncul gejala-gejala yang seperti bukan diri saya. Saya menyadari dan membaik. Saya tak pernah menyesali.

Seperti apa yang dikatakan JK Rowling; “Tak ada makhluk lain di planet ini yang seperti manusia, bisa belajar dan memahami tanpa harus mengalami. Mereka bisa menempati diri dalam posisi orang lain.” Saya juga menaruh hormat pada siapa saja, yang melakukannya! Lalu kita sama-sama menjadi manusia baru.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini