Undang-Undang PNPS Hambat Perkembangan Penghayat

[Semarang – elsaonline.com] Keberadaan aliran kepercayaan di Jawa Tengah mengalami pasang-surut perkembangan, kadang hidup dan kadang mati. Salah satu indikasinya adalah banyaknya masalah-masalah yang muncul ketika mendirikan tempat ibadah maupun sanggar. Banyak anggota pengemat aliran kepercayaan yang akan mendirikan tempat ibadah terganjal dengan aturan yang ada, serta banyak mendapat pertentangan di masyarakat.

Selain itu masalah pendirian ibadah, masalah pendidikan, pemakaman dan keluarga juga menjadi penambah pasang-surut kehidupan mereka. Soal ini disampaikan oleh Asfinawati, mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta saat menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang Problematika penghayat aliran kepercayaan. Menurutnya, masalah-masalah aliran kepercayaan seringkali muncul dalam ruang konteks sosial masyarakat, di mana hal itu perlu diselesaikan bersama. “Banyak sekali permasalahan soal penghayat. Misalnya saja, kalau dilihat dari International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) dan tata aturan yang berlaku di Indoenesia, banyak ketimpangan dan diskriminasi terhadap mereka. Belum lagi kalau ditinjau dengan sudut pandang yang lain,” kata Asfinawati saat menjadi pembicara tunggal acara tersebut di Hotel Muria Semarang, Selasa (27/8).

Dikatakannya, menangani kasus aliran kepercayaan tidak boleh disamakan dengan penanganan terhadap kasus-kasus pada umumnya. Ia mencontohkan bahwa tuduhan melanggar ketertiban umum yang disematkan pada kelompok aliran kepercayaan sulit untuk diterima. “Dalam kasus ketertiban umum, banyak penghayat yang tersandung masalah itu. Jujur, kalau dilihat secara seksama tindakan mereka tidak patut untuk dihukum dengan pasal tersebut,” lanjutnya. Setidaknya ada beberapa aturan yang mengatur penghayat dari lintas disiplin.

Aturan itu adalah Perpres No.1 Tahun 1995 tentang Pencegahan Penyalahgunaa dan atau Penodaan Agama, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43,41 tahun 2009 dan PP Nomor 37 tahun 2007 tentang pelaksanaan UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan. “Sumber hukum di Indonesia adalah konstitusi dan hukum. Jika alat negara tidak mengindahkan itu, berarti mereka telah melanggar aturan dasar di Indonesia,” tambahnya.

Baca Juga  Penghayat dan Identitas Lokal Seragam Pemerintah

Sementara itu, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Tedi Kholiludin mengatakan secara yuridis, kekuatan hukum aliran kepercayaan sudah sangat kokoh. Tapi praktek di lapangan kerapkali tidak sesuai dengan dalil hukumnya. “Di Jawa Tengah ini, organisasi penghayat kepercayaan ini sangat banyak sekali sekitar 330an lebih. Hak mereka harus dipastikan bisa terpenuhi”, kata Tedi. Langkah itu dimulai dengan melakukan pemetaan terhadap eksistensi aliran kepercayaan serta masalah yang kerap melanda kelompok tersebut. “Kadang, kelompok penghayat sendiri tidak menyadari kalau mereka tidak terdiskriminasi. Karena itu, perlu disadarkan,” lanjut Tedi. [elsa-ol/nzr]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini