Tujuh Tahun Bersama Warga Sedulur Sikep Kudus

0
399
Sesepuh Sedulur Sikep Kudus Budi, Santoso (paling kiri) bersama tiga putrinya yang waktu itu tahun 2012 masih bersekolah di salah satu SMP Kecamatan Undaan. Kini, ketiga putrinya sudah menikah. Foto: Ceprudin

Mereka pernah ditolak mendaftar sekolah dan tak dapat meminjam uang ke bank; jalan panjang perjuangan Sedulur Sikep Kudus hingga akhirnya nikah dapat dicatatkan…

Kamis 25 April 2019 menjelang malam adalah waktu bersejarah bagi Penganut Kepercayaan Sedulur Sikep di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Pada malam itu, pertama kalinya komunitas adat yang dikenal dengan sebutan Samin ini, dapat mencatatkan perkawinan di pemerintah.

Artinya, itu perkawinan adat Penganut Sedulur Sikep Kudus pertama yang sah secara negara. Sebelumnya, jika ingin perkawinan mereka sah secara negara, Penganut Sedulur Sikep harus masuk ke salah satu dari enam ”agama negara”. Jika tidak, maka perkawinan mereka tak bisa dicatat pemerintah.

Eksesnya, mereka tak mendapatkan akta perkawinan atau akta nikah. Sebagaimana kita tahu, bagi warga negara yang tak memiliki akta nikah maka akan bermasalah pada administrasi kependudukan lainnya. Termasuk status anak di akta kelahiran, status kepala keluarga pada kartu kelurga (KK) dan tentunya status di KTP.

Bagaimana dengan Adminduk Wong Sikep Kudus? Jelas akhirnya bermasalah. Status ”anak luar kawin” di akta kelahiran dan status ”ibu sebagai kepala keluarga” menjadi hambatan serius dalam mendapatkan akses hak-hak dasar sebagai warga negara.

Kondisi ini mereka alami puluhan tahun. Meski begitu, komunitas adat Sedulur Sikep tetap sabar berjuang. Bagi mereka, setia pada ajaran leluhur adalah pilihan paling tepat. Mereka menilai, melebur mengikuti salah satu ”agama negara” sama dengan menghianati ajaran leluhur yang sakral.

7 Tahun Bersama

Kurang lebih tujuh tahun Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menjadi teman curhat, keluh kesah, dan kegundahgulanahan warga Sedulur Sikep Kudus. Dalam kurun waktu 2012 hingga 2019 ini, kami saling belajar. Ada kekurangan dan ada kelebihan antara kami di eLSA dan Sedulur-sedulur Sikep Kudus.

Tak dapat berbuat banyak memang. Namun setidaknya, eLSA bisa menjadi teman ngobrol soal aturan formal bernegara yang semua harus berdasarkan aturan positif yang berlaku. Mulai dari syarat perkawinan, membuat akta kelahiran, mendaftar sekolah, dan lain sebagainya.

Tepat 23 Februari 2012, awal mula eLSA dan Wong Sikep Kudus berjumpa. Dalam rentang 2010-2012, eLSA baru memfokuskan pemantauan pada isu-isu diskriminasi terhadap kelompok adat kepercayaan.
Berbekal informasi dari sebuah website, dua staf eLSA, Ceprudin dan Khoirul Anwar, berangkat menuju Desa Larikrejo, Kecamatan Undaan, Kudus.

Di desa ini, kami bertemu dengan sesepuh Sikep Kudus Budi Santoso. Pak San, begitu warga setempat memanggilnya, menyambut kedatangan teman-teman eLSA dengan hangat.

Baca Juga  Melanjutkan Komitmen untuk Bekerjasama

Menurut Pak San, di Desa Larekrejo warga penganut Sedulur Sikep terdapat 16 kepala keluarga atau kurang lebih sekitar 50 orang. Di Kudus, warga Sedulur Sikep kesemuanya tinggal di Desa Larikrejo dan Karangrowo Kecamatan Undaan. Total warga Sikep di Kudus sekitar 80 kepala keluarga atau kurang lebih 200 orang.

Taruhan Nyawa

Pada pertemuan pertama, Pak San cerita panjang lebar lika-liku sejarah Wong Sikep di Kudus. Keras, kasar, penuh rintangan besar. Bahkan suatu ketika nyawa menjadi taruhan. Saat itu mereka harus berurusan dengan Babinsa rezim Orde Baru yang sedang mengawal pembangunan irigasi di daerahnya.

”Inti masalahnya, soal tanah untuk irigasi yang tidak sesuai dengan perjanjian awal antara pemerintah dan warga. Kami bukan menolak pembangunan irigasi, tapi kami menolak karena tanah yang dikeruk tidak sesuai dengan kesepakatan. Itu kejadian sekitar tahun ’60 an,” cerita Budi Santoso, dengan bahasa jawa krama.

”Terpaksa kami menghadang alat berat dan memaksa untuk menghentikan pengerukan tanah. Saya waktu itu menjadi jadi komandonya dan ditodong pistol oleh Babinsa. Itu cerita dulu,” sambungnya.

Bukan saja cerita soal ancaman fisik dan nyawa. Pak San juga berkisah tentang ”kekerasan sikologis” yang hingga sekarang masih membekas dalam ingatannya. Dia dan istirnya Tianah dipaksa mencatatkan perkawinan.

Pada kurun 1970-1980 an, pemerintah di desanya sedang gencar-gencarnya program tertib administrasi. Tak terkecuali pencatatan perkawinan. Masa-masa itu, kata Pak San, semua warga Sikep diwajibkan untuk mencatatkan perkawinan.

Artinya, secara tidak langsung wong Sikep harus memeluk salah satu ”agama negara”. Supaya perkawinan mereka dapat dicatatkan dan mendapat akta nikah.

”Mulai tahun-tahun ini banyak sekali warga Sikep yang pindah keyakinan, memeluk agama demi pencatatan perkawinan. Waktu itu sepertinya hanya saya yang berani tegas menolak untuk dicatatkan. Sampai didatangi aparat ke rumah. Saya mau dicatatkan, asal kami nikah berdasarkan adat Sedulur Sikep, bukan secara agama,” tegas Budi Santoso, kala itu.

Karena menolak dicatatkan, pada akhirnya pasangan Budi Santoso dan Tianah yang menikah secara adat Sikep tak mendapat akta nikah. Akta nikah itulah yang dikemudian hari menjadi batu sandungan anak-anaknya dalam bersekolah dan keluarganya saat hendak meminjam uang ke bank.

Ditolak Sekolah

Awal tahun 2011, satu anak warga Sikep mendaftar di salah satu SMP di Kecamatan Undaan. Heru Lukwantoro namanya. Nahas, panitia menolaknya. Anak itu keponakan Budi Santoso, anak dari Maskad yang merupakan kaka dari Budi Santoso.

Baca Juga  Belum Sampai 40 Hari, NU Bolehkan Aborsi

Panitia beralasan, menolak warga Sikep karena kesepakatan internal panitia pendaftaran. Panitia merasa siswa Sedulur Sikep kerap membuat masalah di sekolah.

Saat mendaftar, Maskad sebetulnya terlebih dahulu bisa bertemu dengan kepala sekolah. Karena menunggu kepala sekolah lama tak kujung datang, Maskad akhirnya langsung mendaftarkan anaknya. Oleh panitia diberi belangko pendaftaran.

Pada belangko tersebut, terdapat kolom agama dan Maskad mengisinya dengan “Kepercayaan, Samin, atau Sedulur Sikep”. Kemudian panitia yang waktu itu juga terdiri dari guru agama, berkata di depan Maskad, supaya belangko dikembalikan alias ditolak.

”Orangnya perempuan, namanya, saya lupa. Dia, guru agama itu, nyuruh kepada panitia penerimaan siswa baru lainnya, agar formulir dikembalikan lagi ke saya,” cerita Maskad yang waktu pertemuan itu menemani Pak San. Panitia merasa, sebelumnya sudah ada siswa Sikep atau Samin yang membuat ribet di sekolah.

Meskipun sempat ditolak, Heru Lukwantoro akhirnya bisa masuk sekolah dengan keputusan kepala sekolah.

Dipaksa Praktik Wudu

Usut punya usut, kejadian yang oleh panitia dinggap membuat masalah di sekolah tersebut merupakan kejadian sewaktu anaknya Pak San. Pak San, bercerita sejak menyekolahkan anak-anaknya pada tahun 2009. Sejak awal mendaftarkan anaknya, Pak San menyampaikan kepada kepala sekolah beserta wakilnya bahwa anaknya menganut ajaran Sikep.

Singkatnya, setelah ada kelonggaran dari sekolah, masuklah anak-anak Sedulur Sikep hingga mengikuti proses belajar mengajar. Setelah berjalan proses belajar, siswa Sikep dipaksa untuk mengikuti praktek wudlu dan sholat. Serta baca tulis al-Qur’an.

Karena ada kewajiban mengikuti praktek pelajaran agama itu, putri Pak San enggan masuk sekolah. Putri Pak San yang ketika itu duduk di bangku kelas tiga mogok sekolah hampir dua minggu.
Singkat cerita, dengan rembugan antara Pak San dan Kepala Sekolah Pak Djamin, diperoleh kesepakatan bahwa anak-anak Sikep boleh tidak mengikuti pelajaran agama.

Itulah problem pendidikan siswa Sedulur Sikep. Mulai dari pendaftaran hingga proses belajar masih menghadapi rintangan. Hingga puncaknya pada saat ujian nasional.
Mereka mau tak mau harus memilih salah satu pelajaran agama. Demi lulus, mereka akhirnya memilih agama Kristen untuk pelajaran yang diujiankan untuk mengisi kolom pelajaran agama di ijazah.

Ditolak Bank

Hubungan eLSA dan warga Sikep Kudus terus berlanjut. Banyak kegiatan yang dilakukan bersama. Banyak rintangan yang dihadapi bersama. Banyak cerita-cerita detail yang diterima berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat wong Sikep Kudus.

Baca Juga  Komunitas Hindu di Kota Semarang (Bagian Pertama)

Audiensi ke Dinas Pendidikan Kab. Kudus untuk akses pendidikan. Audiensi dengan Kesbangpol Kabupaten Kudus, hingga menemui catatan sipil untuk meminta beberapa administrasi kependudukan.

Sekitar tahun 2015, ada kejadian memilukan. Saat itu, keluarga Pak San butuh modal tambahan untuk menggarap sawah. Karena tak ada jalan lain, akhirnya mereka bermaksud untuk meminjam uang ke bank. Namun, dari dua bank yang mereka ajukan, keduanya juga menolak memberikan pinjaman.

”Alasannya, karena kepala keluarganya perempuan. Mungkin mereka menggap kami keluarga yang tidak punya bapak. Karena memang di kartu keluarga, yang tertera kepala keluarga adalah saya (Tianah). Bukan bapaknya (Pak San tertulis di kolom lainnya),” tutur Tianah, istri Pak San.

Kejadian ini sungguh memukul hati warga Sikep dan eLSA sebagai teman curhat. Mulai itu, lalu kami berdiskusi serius mengenai pencatatan perkawinan. Elsa hanya bisa memberika penjelasan, untuk saat ini, memang hanya ada dua pilihan supaya bisa mendapat akta nikah.

Melebur ke salah satu agama negara atau mendaptar sebagai organisasi kepercayaan di Kesbangpol dan Kemendikbud. Waktu itu, kami tak bisa mengarahkan. Karena sejak awal, eLSA juga bukan pengarah. Namun eLSA adalah teman bahkan keluarga untuk berjuang bersama.

Setelah itu, komunitas Sikep Kudus banyak bertemu dinas-dinas pemerintahan. Bertemu Disdukcapil, Kesbangpol Kabupaten Kudus dan Provinsi Jateng, bahkan hingga bertemu Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.

Singkat cerita, terbitlah SK terdaptar sebagai Organisasi Kepercayaan dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Disusul juga dengan terbitnya SK bahwa Budi Santoso adalah sespuh atau tokoh agama yang berhak menikahkan warka Sikep.

Dengan bahasa lain, Pak San saat ini sebagai ”Modin”nya wong Sikep Kudus. Sehingga perkawinan mereka dapat di catatkan dan sah secara negara dan ritual tetap secara adat leluhur Sedulur Sikep.

Karena itu, pencatatan pertama perkawinan Sedulur Sikep Kudus bukan semata karena adanya putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 tentang kolom agama di KTP dan KK. Tapi juga buah perjuangan panjang dan kegigihan wong Sikep Kudus.

Selamat untuk Kristiyanto dan Ani Agustina yang pertama kali merasakan perkawinannya sah secara negara juga sah secara adat Kepercayaan Sedulur Sikep. Semoga menjadi keluarga yang bahagia. (Tim Redaksi eLSA)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini