Budaya Populer, Postmodernisme dan Islam (1)

Oleh: Yayan M Royani

Bagaikan buah simalakama, ketika label halal muncul sebagai kontroversi. Di satu sisi, sebagian masyarakat membutuhkan hal tersebut, disisi lain labelisasi itu menjadi jalan untuk kapitalisasi agama. Saat ini, label halal telah menjadi tren untuk mengislamkan produk pasar yang berkembang di alam modern. Sebagaimana label halal, badai islamisasi modernitas memang memunculkan berbagai kecurigaan. Sebut saja lahirnya ustadz-ustadz seleb, komunitas hijaber, busana muslimah modern, wisata religi sampai ekonomi syariah dan “ah” “ah” lainnya.

Kecurigaan tersebut tidak lepas dari anggapan akan lunturnya nilai substantif dari ibadah karena digerus oleh kepentingan duniawi. Budaya spiritual masyarakat sedikit demi sedikit tergantikan dengan budaya material yang tereduksi dalam kata industri dan uang. Dalam situasi tersebut, pasar bebas mempunyai peran signifikan karena telah terjadi proses simbiosis mutualisme antara keduanya. Terlihat ajaran agama yang instan menjadi komoditas yang laku untuk menjadi modal marketing bagi masyarakat modern saat ini.

Perubahan paradigma tersebut tidak lepas dari keberhasilan media dalam mempengaruhi pandangan masyarakat. Meski berlawanan dengan teori pasar yang menyatakan tidak ada barang ketika tidak ada pesanan, faktanya banyak orang-orang meninggalkan nilai-nilai tradisinya hanya untuk mengikuti tren tayangan dalam televisi. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi dahaga spiritualnya dengan hal-hal yang mudah dicerna tanpa ingin mengetahui dasarnya lebih dalam.

Dalam sistem ekonomi, maka kita mengenal konsep ekonomi syari’ah yang menjadi alternatif dari ekonomi kapitalis dan sosialis. Banyak yang berharap sistem ini dapat menjadi solusi bagi carut-marutnya sistem ekonomi konvensional. Sayangnya, hal itu hanya berlaku ketika dilihat dari sudut pandang konsep ekonomi Islam yang normatif, berbeda ketika ditinjau dari realisasi di lapangan. Sebagaimana produk halal, faktanya “syari’ah” hanya menjadi brand semata untuk menarik nasabah, sedangkan sistemnya masih teracuni sistem konvensional.

Pada fenomena ustadz seleb, masyarakat telah dininabobokan dengan ajaran-ajaran yang instan, sehingga menjauhkan dari pengetahuan agama yang lebih mendalam. Celakanya mereka lebih percaya kepada ustadz-ustadz karbitan tersebut dan melupakan kyai-kyai kampung yang jelas-jelas secara keilmuan lebih mumpuni. Serapan ilmu yang didapat secara gampang, tentunya sangat dekat dengan kesalahan jika tidak benar-benar diterima dari guru yang mumpuni atau guru yang dapat langsung  merekatemui dalam komunitasnya. Yaitu kyai-kyai yang telah lama menuntut ilmu dengan segudang dasar agama yang tidak diragukan lagi. Yaitu mereka yang dengan ikhlas mengamalkan ilmunya tanpa pamrih maupun jadwal tayang.

Baca Juga  Gereja Mormon di Indonesia dan Pergulatan Membangun Identitas (bagian 1)

Pada fenomena hijaber dan komunitas sosialita muslim lainnya. Sekilas kegiatan mereka sangat menarik untuk diikuti, karena selain berislam juga bergaya.Hanya saja, sebagian komunitas ini lebih mendasari kegiatannya pada ajang mengekpresiakan diri dibanding syi’ar agama. Dengan dilandaskan pada kepentingan eksistensi diri, tidak jarang mereka melakukan hal-hal diluar dugaan atas pandangan umat terhadap wanita yang berhijab. Bahkan ada yang hanya berhijab ketika berkumpul saja (ikut-ikutan), setelahnya tidak ada yang tersisa dari penutup rambutnya tersebut.

Selain fenomena hijabers, saat ini mencuat fenomena komersialiasi spiritual. Sebut saja wisata religi, doa berbayar sampai iming-iming keberhasilan usaha dengan shodaqoh dll. Akibat dari semua itu, secara tidak langsung masyarakat ditipu oleh usaha-usaha penikmatan spiritual yang sesungguhnya hanya untuk mencari keuntungan materi saja. Konsep teologi yang dipenuhi dengan nilai-nilai keikhlasan dan kesederhanaan, telah ternodai oleh praktek ibadah tanpa kesadaran murni spiritual, melainkan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.

Perspektif Culture Studies

Dalam menjawab kecurigaan-kecurigaan tersebut diatas, makadapat didekati dengan berbagai presfektif diantaranya adalah culture studies. Menurut Horkheimer dan Adorno, jika spiritualitas masyarakat disebut sebagai bagian dari budaya, maka saat ini telah menjadi industri pasar yang aktif yang berkembang dengan tren ekonomi. Yaitu ketika pasar  membuka kran industri sebesar-besarnya untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat dengan berbagai cara diantaranya memanipulasi.

Manipulasi yang dimaksud merupakan konsekuensi dari adanya perkwainan antara budaya dengan faham konsumerisme. Komoditas memagang nilai hanya untuk perluasan bahwa komoditas tersebut memegang status yang diinginkan oleh konsumen. Sehingga budaya popular dapat diibaratkan sebagai pabrik yang mencetak berbagai produk standar untuk memanipulasi rakyat menuju kepasifan. Kenikmatan yang mudah tersedia lewat budaya pupuler telah membuat rakyat patuh dan puas, tidak peduli akankeaslian budaya mereka.

Lebih dalam dari Horkheimer dan Adorno, menurut John Storey dalam bukunya Cultural Theory dan Popular Culture: an Introduction, menyatakan bahwa sebelum menjustifikasi fenomena perubahan kultur, khususnya yang berkaitan dengan popular culture, alangkah baiknya mencoba untuk menulusuri secara teoritis tentang culture itu sendiri. Untuk melihat definisi popular culture yang  beragam, seorang peneliti harus jeli melihat permasalahan agar tidak terjebak dalam satu perspektif yang timpang.

Baca Juga  Pemuda Lintas Agama Mengenali Ahmadiyyah

Raymon Williams menyebut ada tiga definisi kultur yang kesemuanya mempunyai perbedaan yang cukup mendasar. Pertama kultur dikaitkan dengan proses intelektual, spiritual dan perkembangan etika. Kedua, kultur dikaitkan dengan jalan hidup (way of life) yang setiap kelompok (komunitas) mempunyai bentuk maupun periode sendiri-sendiri. Adapun ketiga kulturdiartikan sebagai sinonim sebagaimana dalam struktural dan post struktural yang biasa disebut praktek pelambangan.

John menambahkan bahwa ketika berbicara definisi kultur, maka tidak dapat dilepaskan dari definisi ideologi yang menurutnya terbagi menjadi lima definisi. Dari kelima definisi tersebut, John menyimpulkan bahwa antara kultur dan ideologi tidak mempunyai perbedaan yang signifikan, bahkan cenderung disamakan. Menurutnya, ideologi lebih condong kepada pembawaan dimensi politik dalam medan budaya. Konsep ideologi memberikan penjelasan tentang hubungan kekuasaan dan politik yang memberi label budaya/kultur. Sehingga ketika membahas popular culture, diharapkan tidak hanya membahas mengenai entertainment dan rekreasi saja.

Sebagaimana telah disampaikan bahwa definisi popular culture sangatlah beragam. Untuk memperjelas, William memberikan definisi secara khusus kepada kata popular. Menurutnya popular berarti sesuatu yang banyak disukai oleh orang; sesuatu yang dapat memenangkan hati orang banyak; kultur yang dibuat oleh masyarakat untuk diri mereka sendiri. Definisi tersebut secara umum sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memberikan arti; dikenal dan disukai orang banyak. Merujuk kepada definisi tersebut, maka definisi popular culture menjadi mempunyai banyak ragam tergantung kepada perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, antara culture dan popular selalu berhubungan dengan sosial dan perkembangan ekonomi.

Sebagai upaya untuk mengidentitfikasi serta mengukur popular culture dalam masyarakat, maka dapat melakukan penelitian sederhana dengan melihat berbagai fenomena kultur yang sanga di kenal di masyarakat. Sebagai contoh, ketika melihat televisi maka tren apa yang menjadi siaran yang paling popular. Ketika membeli Compact Disk (CD) maka dapat kita lihat CD dengan judul apa yang paling laku dijual. Dengan ukuran tersebut, maka popular culture harus didasarkan pada ratting dan hitungan kuantitatif.

Pertanyaan selanjutnya, apakah popular culture cukup terwakili dengan persyaratan tersebut?. Menurut John, hal itu tidak dapat dibenarkan secara kualitatif, dimana ada kultur lebih dari popular karena bernilai yang disebut dengan high culture. Sehingga, popular culture merupakan culture yang belum sampai tarap high culture karena keterbatasan kualitas, bisa dikatan sebagai hasil dari kegagalan pencapai teks dan proses.

Baca Juga  Warga Tionghoa Semarang Peringati Haul Gus Dur

Menurut Pierre Bourdieu, pembagian antara popular culture dan high culture tidak lepas dari kepentingan untuk membedakan kelas sosial, yaitu pada katagori ekonomi sosial dan level kualitas budaya. Menurutnya, apa yang dinamakan konsumsi kultur adalah kecondongan dengan sengaja ataupun tidak untuk memenuhi legitimasi dan perbedaan sosial.

Selanjutnya budaya popular sering di dukung oleh klaim bahwa hal itu merupakan budaya masal yang diproduksi secara komersial. Adapun high culture merupakan budaya yang diciptakan oleh pribadi dengan nilai yang baik, yang biasanya selalu terkait dengan nilai, moral dan estetika. Meski begitu, pembedaan antara keduanya mempunyai kendala sebagai contoh karya William Shakespaere dimana budaya tingginya di saat ini justru menjadi budaya popular di masanya.

Untuk mendefinisikan budaya popular selanjutnya adalah dengan mengartikan apa yang disebut budaya massa. Budaya masa menurut John adalah budaya putus asa komersil masyarakat, yaitu ketika budaya diproduksi untuk memenuhi kebutuhan massa. Adapun audiennya adalah konsumen tanpa perbedaan  dengan budaya yang disuguhkan berupa formula manipultif, dimana tergantung kepada politik yang mengendalikan. Sehingga tidak mengherankan apabila budaya tersebut dikonsumsi dengan akal yang pasif.

Bagi sebagian pengkritik kebudayaan Eropa mengartikan bahwa budaya massa selain dianggap budaya yang miskin dan dipaksakan, juga merupakan budaya Amerikanisasi. Yaitu budaya impor yang dilandaskan pada budaya popular dengan ideologi kebebasan dan komersil. Dapat dikatakan bahwa budaya populer merupakan budaya yang berasal dari Amerika dan disebarluaskan untuk selanjutnya mengancam budaya tinggi sekitar khususnya di negara-negara Eropa diantaranya Inggris.

Dalam budaya massa, ada yang disebut dengan perspektif jinak, dimana dalam teks dan prateknya budaya popular dipandang sebagai fantasi publik. Budaya popular dipandang sebagai dunia mimpi publik yang menurut pendapat  Richard Maltbi sebagaimana dikutip John menyatakan bahwa budaya populer merupakan tempat pelarian dari utopis masyarakat. Yaitu mencoba mengambil mimpi untuk selanjutnya dikemas dan dikembalikan untuk di jual dan dikonsumsi.

Berbeda dengan beberapa pendapat di atas, budaya pouler juga dianggap sebagai budaya yang berasal dari rakyat dan kembali kepada rakyat. Anggapan tentang Budaya popular merupakan budaya rakyat ini telah menjadi kritik simbolis terhadap konsep kapitalisme modern. (bersambung)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini