Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Malam itu, 3 Januari 2011, Dusun Wailala, Pulau Ambon, begitu senyap. Karena sudah larut malam saya pun merebahkan diri di kamar tidur. Tapi mata ini tidak mau terpejam. Pikiran tidak tenang. Hati gelisah tidak karuan. Maklum sehari sebelumnya saya mendengar kabar mengejutkan: ayah saya koma.
“Sejak tadi sore kakek tidak sadarkan diri Pak. Sekarang sedang dirawat di ICU RS Batang. Sebaiknya Pak Manto cepat pulang,” kata keponakan saya singkat lewat sms.
Saya mencoba telpon keluarga untuk menanyakan kabar lebih lanjut tentang sebab-musabab ayah koma, sekaligus mencoba menenangkan mereka yang sedang panik. Saya minta keponakan saya untuk terus mengupdate informasi lebih lanjut tentang perkembangan ayah.
Sehari semalam sudah berlalu. Tapi ayah masih belum sadarkan diri. “Nafasnya teratur tetapi belum sadar,” kata kakak saya. Saya mencoba untuk tenang, meski jantung saya terus berdegup kencang. Pikiran buruk selalu melintas di benak: akankah ayah pergi menghadap Sang Khalik? Saya mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk itu tetapi selalu gagal. Ayah memang sudah lama terkena stroke dan berbagai aneka penyakit. Ia sudah berkali-kali jatuh sakit tetapi selalu sembuh. Tapi kali ini apakah ia akan sembuh juga?
Perlahan-lahan gelap mulai menyelimuti Ambon. Meski sudah lebih dari 24 jam koma, ayah ternyata belum juga siuman. Ponsel sengaja tidak saya matikan karena ingin mendengar update informasi tentang ayah. Karena sudah larut malam, saya pun mencoba untuk tidur. Lampu saya matikan karena saya tidak bisa tidur dengan lampu menyala. Tetapi saya gagal memejamkan mata.
Ketika berbagai pikiran sedang berkecamuk, tiba-tiba ponsel saya berdering. Keponakan saya “missed call”. Saya pun segera telpon balik. Tetapi apa yang saya dengar bukan jawaban kata-kata melainkan tangisan membahana. Innalilahi wa inna ilaihi rajiun. Ayah wafat. Ponsel saya matikan. Air mata saya pun tumpah ruah tak terbendung membasahi bantal. Saya menangis sesenggukan dalam gelap. Sendirian. Tubuh saya lunglai seperti tak bertenaga. Malam itu menjadi malam paling “dramatis” dalam sejarah hidup saya.
Setelah beberapa menit berlalu, saya mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Saya langkahkan kaki ke kamar mandi untuk membasuh muka. Sejurus kemudian saya keluar rumah. Menatap langit yang bertaburan bintang, kemudian duduk merenung seorang diri. Setelah pikiran cukup tenang, saya kembali ke kamar tidur kemudian mengirim sejumlah email dan sms ke beberapa kolega, senior, dan teman untuk mengabarkan tentang kematian ayah sekaligus meminta mereka untuk turut mendoakan almarhum. Ponsel saya berkali-kali berdering tetapi saya masih enggan untuk mengangkatnya, meskipun itu dari istri atau bekas profesor saya. Hanya sms yang saya baca malam itu.
Sejak mengetahui kematian ayah, semalam suntuk mata saya tidak bisa dipejamkan sampai jam 5 pagi ketika saya ditemani oleh “bapa piara”, Pdt. Elifas Maspaitella, bergegas menuju Bandara Pattimura Ambon untuk terbang ke Jakarta dan Semarang menggunakan “Lion Air”, kemudian meluncur ke kampung saya di Batang guna menghadiri upacara pemakaman ayah. Sebelumnya saya pesan kepada kakak saya untuk tidak menguburkan ayah sampai saya tiba di kampung.
Sepanjang perjalanan pulang di pesawat yang memakan waktu sekitar lima jam itu, air mata terus mengalir membasahi pipi. Ponsel saya tidak henti-hentinya berdering. Telpon dan sms bela sungkawa terus bermunculan tidak hanya dari teman-teman dekat tetapi juga dari sejumlah pejabat, politisi, tokoh agama, dosen, pengusaha, dan masih banyak lagi. Di Bandara Soekarno-Hatta, saya dijemput seorang teman baik, Pdt. Sintje Latuputty, dari STT I.S. Keijne Abepura Papua yang sedang mengambil studi doktoral di STT Jakarta. Ia sengaja menemui saya di bandara untuk mengucapkan bela sungkawa.
Sekitar jam 1 siang, pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Setibanya disana saya dijemput oleh Mas Mukhsin Jamil, Iman Fadhilah, dan Mas Tris. Sesaat kemudian kami langsung meluncur menuju kampung halaman saya dengan mengendarai mobil milik Dr. Imam Yahya, Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Semarang, yang telah berbaik hati meminjamkan mobilnya.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam, saya akhirnya sampai di rumah. Mas Mukhsin memapah saya turun dari mobil. Ratusan orang pelayat dari berbagai kampung sudah berkerumun menunggu di kompleks rumah duka yang hampir separuhnya tertutup oleh mushalla itu. Kala itu suasana begitu hening. Orang-orang tertunduk lesu. Sejenak saya peluk jasad ayah yang sudah dibungkus kain kafan itu. Saya tatap wajahnya yang kuning. Saya pandang bibirnya yang tersenyum. Setelah mengucapkan do’a, saya kemudian meminta kakak saya untuk segera memakamkannya.
Meskipun biasanya kakak saya yang memimpin upacara kematian di kampung (setelah ayah pensiun dari jabatan “lebe desa”), tapi kali ini tidak. Proses ritual pemakaman dipimpin oleh Lebe Wari dari desa tetangga yang juga teman baik ayah semasa hidup. Ratusan orang dari berbagai desa ikut mengiringi jenazah ayah sampai ke tempat pemakaman umum desa dimana ayah akan dikuburkan untuk selama-lamanya. Sambil menggendong anak saya, Victoria Astranawa, yang berumur 5 tahun, saya juga turut menyaksikan detik-detik pemakaman ayah tercinta pada tanggal 4 Januari 2011. Setelah jasad ayah dikuburkan, kemudian ditaburi bunga dan air, lalu dilanjutkan dengan pembacaan talqin, yasin dan tahlil secara khidmat.
Kematian dalam pandangan dunia orang Jawa adalah sesuatu yang menyedihkan karena itulah setiap kematian selalu diiringi dengan tangisan. Ini berbeda dengan tradisi masyarakat Toraja di Sulawesi misalnya yang memandang kematian sebagai hal lumrah. Kematian adalah kehidupan baru yang menyenangkan. Mereka tidak menyambutnya dengan kesedihan dan tangisan seperti laiknya orang Jawa tetapi dengan tarian dan nyanyian. Mereka juga melakukan upacara penyembelihan kerbau sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga yang ditinggalkan. Kerbau-kerbau itu, menurut kepercayaan masyarakat Toraja, untuk “bekal kehidupan” orang yang mati itu sekaligus sebagai tunggangan menuju surga.
Jadi sebetulnya tidak ada “kematian” dalam kamus kepercayaan masyarakat Toraja. Yang ada adalah “kehidupan” di “dunia lain”. Lebih lanjut, mereka tidak mengubur jasad orang meninggal itu di dalam tanah melainkan ditumpuk di atas batu-batu karang yang menjulang tinggi. Tumpukan mayat itupun tak pelak menjadi tumpukan tengkorak. Tetapi berbeda dengan orang Jawa yang umumnya takut terhadap tengkorak, masyarakat Toraja tidak demikian. Mereka menganggap tengkorak itu tidak ubahnya sebagai teman belaka.
Bagaimana dengan kuburan? Konsep kuburan juga lain dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Di Jawa pada umumnnya kuburan adalah sesuatu yang sangat angker, menyeramkan, dan menakutkan. Rasa angker itu semakin terasa karena kuburan dipenuhi dengan pohon-pohon besar. Kompleks pemakaman juga kotor dan tidak terawat. Pemandangan ini kontras dengan di negara-negara Barat dimana kuburan dijadikan sebagai tempat wisata yang mengasyikkan. Area pemakaman tertata rapi, bersih, dan indah dengan hamparan rumput menghijau yang terawat laksanana lapangan bola di klub-klub besar di Eropa. Tidak ada pohon-pohon besar yang angker. Tidak ada batu-batu nisan yang berserakan.
***
Setelah proses ritual pemakaman selesai, saya pun bergegas menuju rumah untuk menemui ibu dan keluarga. Masih ada banyak orang yang berkumpul disana: teman-teman dan sanak saudara ayah, warga kampung, maupun kaum perempuan yang bekerja untuk mempersiapkan “upacara perjamuan pasca kematian” selama tujuh hari.
Ada banyak hal yang diperbincangkan waktu itu: tentang tanda-tanda kematian ayah, tentang suasana di hari wafatnya ayah, tentang perjuangan ayah di masa lalu, tentang tanda-tanda ke-khusnul khatimah-an kematian ayah, dan masih banyak lagi.
Menurut cerita warga setempat, hari wafatnya ayah merupakan sangat unik karena cuaca terang-benderang padahal sebelumnya selama berhari-hari kampung itu diguyur hujan lebat dan angin kencang. Bahkan selama tujuh hari, kampung itu tidak diguyur hujan lebat. Baru setelah hari ketujuh, hujan deras mengguyur desa itu. Menurut penuturan warga kampung, cuaca terang benderang di musim hujan itu disebabkan karena ayah semasa hidupnya sering melakukan “tirakat”, yakni praktek ritual tertentu yang dilakukan untuk memohon kepada Allah SWT agar tidak terjadi sesuatu yang buruk dan merugikan pada seseorang. Tirakat itu biasanya dilakukan dengan cara berpuasa, “nganyep” (mengindari minum-minuman yang manis, makanan asin dan lain-lain), atau “mutih” (hanya makan nasi putih saja tanpa lauk-pauk dan sayur mayur).
Cerita lain adalah yang dikisahkan para penggali kubur yang berjumlah 15 orang. Menurut mereka menggali kuburan orang itu tidak sama. Gampang dan tidaknya itu tergantung amal perbuatan orang yang meninggal itu selama ia hidup di dunia. Kalau orang itu baik semasa hidupnya, maka liang lahat akan mudah digali. Sebaliknya, kalau orang itu berakhlak jahat ketika hidup di dunia, maka kuburannya akan susah digali. Karena itu memakan waktu yang sangat lama untuk menggali liang lahat. “Bahkan saya pernah menggunakan air kencing untuk membasahi kuburan karena susah digali,” kata seorang penggali kubur. Bagaimana dengan ayah? “Kami hanya membutuhkan beberapa menit saja untuk menggali kuburnya,” tutur mereka. Setelah menggali kubur, mereka tidak boleh pulang. Mereka harus tetap di makam itu, menjaga liang lahat sampai jenazah datang.
Pada saat syakaratul maut (detik-detik ajal tiba), menurut sejumlah kesaksian, ayah menjalaninya dengan sangat mudah. Tidak seperti banyak orang yang kesulitan dan kesakitan saat ajal menjemput, konon ayah sangat gampang. Setelah dibacakan kalimat tahlil dan yasin oleh kakak saya dan permohonan permintaan maaf dari anak-cucu atas segala kesalahan (saya dimintakan maaf karena tidak ada disinya), ayah langsung wafat dengan tersenyum. Orang-orang yang memandikan jenazahnya juga berkomentar sama: “simbah kok koyo wong turu karo mesem” (“kakek—maksudnya ayah saya yang memang biasa dipanggil simbah atau kakek di kampung—seperti orang tidur yang tersenyum”).
Masih banyak cerita-cerita rakyat seputar kematian ayah.
***
Dalam tradisi masyarakat setempat—dan di desa-desa di Jawa pada umumnya—setelah orang meninggal kemudian diikuti dengan acara tahlilan selama tujuh hari, ditambah “sedekahan” pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, lalu pada tahun pertama, kedua, dan ketiga atau seribu hari yang sering disebut dengan “nglepas” yang ditandai dengan pemotongan dua ekor kambing. Istilah “nglepas” maksudnya untuk “melepas selama-lamanya”, tidak ada sedekah dan tahlilan lagi setelah seribu hari itu.
Lagi-lagi setiap masyarakat memiliki tradisi yang berlainan dalam menyambut kematian. Di Ambon misalnya, orang yang mati hanya “dirayakan” pada hari pertama saja. Tidak ada “upacara ritual pasca kematian” pada hari ketiga, ketujuh dan seterusnya. Ketika ada orang meninggal, ia langsung dibawa ke kuburan. Setelah dikubur, kemudian diadakan ibadah ritual pemakanan. Setelah ibadah usai para pelayat kemudian pulang ke rumah duka untuk “syukuran” sekedarnya dengan minuman dan makanan ringan. Bagi masyarakat Ambon, kematian harus disyukuri karena dengan kematian berarti tugasnya di dunia sudah usai, untuk selanjutnya menghadap Sang Khalik. Menurut Pdt. Desi Aipasa, dulu ada upacara perjamuan pasca kematian khususnya pada hari ketiga dengan mengundang orang untuk makan-makan. Tetapi karena dirasa memberatkan keluarga yang meninggal, tradisi itu dihilangkan.
Tidak seperti dalam tradisi masyarakat Ambon, di Jawa, kematian disambut dengan berbagai upacara ritual dan sedekahan. Seperti di desa-desa lain di Jawa, hari itu kami sekeluarga juga sibuk mempersiapkan tujuh hari tahlilan dan sedekahan pasca wafatnya ayah. Ada yang bertugas belanja di pasar untuk membeli barang-barang kebutuhan dan aneka jenis makanan perjamuan; ada yang memasak di rumah untuk melayani para tamu; ada juga yang mempersiapkan perangkat tahlilan (sound system, karpet, disel dan lain-lain). Saya sendiri bertugas sebagai “menteri keuangan” yang mengurus semua biaya sejak perawatan di rumah sakit sampai tetek-bengek pemakaman dan upacara perjamuan selama tujuh hari itu. Acara tahlilan dilakukan di malam hari sehabis salat Isya dengan mengundang warga setempat, khususnya kaum laki-laki.
Pada hari ketiga suasana agak lain. Para tetangga dan warga setempat khususnya kaum perempuan (ibu-ibu rumah tangga) berdatangan untuk menyumbang ala kadarnya kepada “shahibul mushibah”. Pada malam hari setelah tahlil di hari ketiga itu, para peserta tahlil yang berjumlah sekitar 100 orang itu diberi jamuan makan malam. Setelah itu mereka diberi bingkisan yang berisi beras, mi instan, gula, telur, kue, dan “uang wajib” (beberapa ribu rupiah). Pada hari ketujuh juga sama. Selain diberi bingkisan berisi aneka bahan makanan dan “uang wajib”, peserta tahlil juga dijamu makan malam. Suasana tahlilan pada hari ketujuh agak lain karena waktu itu kami menghadirkan seorang kiai muda pengasuh sebuah pondok pesantren di wilayah Batang. Ia memberi ceramah seputar kematian dalam perspektif Islam dan pentingnya ritual tahlilan.
Sebetulnya bukan hanya di rumah saja acara tahlilan digelar. Setiap pagi (selama tujuh hari), kami sekeluarga juga membacakan tahlil dan surat yasin di makam ayah.
***
Ritual-ritual pasca kematian itu menunjukkan dengan nyata bahwa kampung saya yang bernama Desa Manggis (terletak di wilayah Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa tengah) merupakan daerah “abangan” dan Islam sekaligus. Dulu, kampung tempat saya dilahirkan dan dibesarkan itu bisa dikatakan 100% sebagai “desa abangan”, kalau boleh menggunakan kategori yang pernah dipakai mendiang antropolog Cliff Geertz.
Aroma “abanganisme” memang kental di kampung yang dikelilingi hutan jati dan semak belukar itu. Orang-orang biasa menabur sesajen di sawah, membakar dupa atau kemenyan di rumah, menyepi di kuburan, bertapa di tempat keramat, berjudi dan minum minuman keras saat sebuah pesta berlangsung, memasang togel, dan masih banyak lagi. Tidak ada orang salat, puasa, atau zakat meskipun KTP mereka beragama Islam. Desa saya dulu juga menjadi “produsen” perempuan pelacur (WTS) yang mangkal di sepanjang jalan pantura Jawa Tengah. Tidak hanya itu. Kampung saya juga dipenuhi dengan kekerasan. Perkelahian sudah menjadi pemandangan biasa disana. Perampokan harta milik tetangga juga menjadi hal lumrah. Lagi, dunia tenung atau santet (dikenal dengan “kemodong”) sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat. Manggis sudah lama populer sebagai sumber segala jenis ilmu hitam (black magic).
Tapi itu kisah masa lalu. Pelan-pelan desa itu sudah berubah atau mengalami “proses transformasi” dari abanganisme ke Islam. Kampung mini berpenduduk kurang dari 500 jiwa itu kini sudah memiliki masjid agung yang cukup megah berdiri di tengah kampung, di sambing dua buah mushola. Pelan-pelan orang juga melakukan salat, puasa, zakat dan seterusnya. Sementara perjudian, minuman keras dan pelacuran perlahan tapi pasti juga berkurang sangat signifikan. Jama’ah tahlil juga marak. Setiap RT (Rukun Tetangga) sudah mempunyai jamaah tahlil sendiri-sendiri, baik laki-laki maupun perempuan. Jika dulu pengajian adalah “barang langka”, maka kini pengajian sudah ramai, menghadirkan kiai atau mubaligh yang tidak jauh dari daerah itu.
Meskipun suasana keislaman begitu marak, tetapi praktek “abanganisme” atau “Jawaisme” tidak serta merta hilang: sesajen masih ada, klenik juga demikian, apalagi mantra. Karena itu agak sulit untuk menjelaskan apakah di kampung saya itu Islam yang mengalami proses “penjawaan” atau tradisi Jawa yang sebetulnya telah mengalami proses islamisasi. Dengan kata lain Jawa yang diislamkan atau Islam yang dijawakan.
Sebagai “desa sekuler” dan “abangan”, maka tidak ada kiai atau ustad di kampung itu. Juga tidak ada madrasah apalagi pondok pesantren. Satu-satunya “bangunan Islam” yang ada kala itu adalah musola (mushola) atau langgar kecil yang dibangun di halaman rumah ayah pada tahun 1970-an. Dengan bantuan dana dari Departemen Agama, langgar ini pada tahun 1980-an diperbesar menjadi masjid dengan nama Masjid Al-Huda untuk salat Jum’at dan salat ‘Ied.
***
Jika suasana keislaman di Desa Manggis begitu marak saat ini maka kredit atau penghargaan harus diberikan kepada ayah saya yang bertindak sebagai—meminjam istilah antropolog Dale Eickelman yang melakukan kajian transformasi pendidikan Islam di Maroko—“agen budaya” (cultural agent) proses penyebaran Islam dan transformasi kebudayaan masyarakat setempat. Ayah saya, bernama Soeroto Bin Cermo (lahir sekitar tahun 1925), memang pelopor Islam di kampung itu. Ia bahkan bisa dikatakan sebagai “peletak dasar” keislaman di desa itu.
Ayah sayalah yang mula-mula mengajari orang-orang kampung untuk ngaji turutan atau juz’amma, yakni bagian terakhir Alqur’an, juz 30, yang berisi surat-surat pendek. Dia pula yang mengajari orang kampung untuk membaca syahadat, menunaikan salat, puasa, zakat, mengurus mayat ala Islam, tahlilan, selametan atau gendurenan ala Islam, dan sebagainya. Di saat warga kampung masih hobi melakukan tindakan asusila, kekerasan dan kriminalitas, ayah datang memberi wejangan yang melarang aneka tindakan jahat yang merugikan orang lain itu. Pada saat orang kampung tidak mengenal madrasah dan pesantren, ayah saya menyekolahkan anak-anaknya (termasuk saya) ke madrasah (Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah sampai IAIN) serta mengirimnya ke pondok pesantren. Karena peran dan aktivitas keagamaan yang ayah lakukan itulah maka di kampung keluarga kami dikenal dengan “keluarga relijius”.
Meski ayah adalah pelopor Islam di kampung, ia bukanlah seorang kiai atau ustad lulusan pesantren atau madrasah yang mahir berbahasa Arab dan fasih membaca kitab kuning. Ia hanya seorang petani penggarap biasa yang miskin seperti orang lain di kampung yang terletak di lereng Gunung Puyuh itu. Hanya saja, berbeda dengan petani-petani lain di kampung itu, ia pernah ngaji dengan seseorang dari desa tetangga yang lebih dulu tahu tentang Islam. Itu saja. Ilmu itu kemudian ia getuk-tularkan (sebarluaskan) di kampungnya sejak beberapa dekade yang lalu. Oleh karena itu pelafalan Bahasa Arab-nya jauh dari fasih. Bacaan Alqur’an-nya juga tidak menggunakan Ilmu Tajwid. Pengetahuan Islam-nya juga pas-pasan. Tetapi karena tidak ada “wong pinter ngaji” (orang pandai mengaji) di kampung itu, akhirnya ayah saya lah yang kemudian diangkat oleh kepala desa untuk menjadi “lebe” atau “modin” yang mengurusi masalah keagamaan di kampung.
Lebih dari itu, walaupun ayah adalah tokoh agama di kampung itu, ia bukanlah seorang “Muslim fanatik” yang membenci non-Muslim. Ia adalah seorang modin pluralis yang berteman dengan pengikut agama manapun. Dan walaupun ayah belajar ngaji dan ilmu-ilmu keislaman tetapi ia tidak melupakan ajaran-ajaran Jawa yang diwariskan para leluhurnya.
Jelasnya, ayah saya, yang biasa dipanggil Mbah Roto atau Mbah Dongkol adalah seorang “Muslim kejawen” tulen yang tidak hanya rajin sembahyang (salat) dan puasa Senin-Kamis, puasa di bulan Ramadlan, atau poso Suro (puasa pada bulan Muharram), zakat fitrah dan ajaran-ajaran Islam lain (selain haji karena memang belum mampu) tapi juga setia mengamalkan nilai-nilai dan falsafah kejawaan dan spiritualitas Jawa. Merawat makam para leluhur, memasang sesaji di sawah, memimpin doa slametan adalah bagian dari aktivitas hidupnya.
Sebagai orang sepuh yang “dituakan” di kampung, ayah juga sering dimintai tolong warga kampung untuk mendoakan orang yang sedang sakit agar lekas sembuh, memberi nama bayi yang baru lahir agar kelak bernasib baik, dan bahkan menjadi pawang hujan terutama saat orang kampung sedang mempunyai hajatan seperti khitanan, nikahan, cukuran, mitoni dan lain-lain. Tujuannya tentu saja agar cuaca tetap terang tidak turun hujan. Kalau cuaca terang, banyak tamu akan datang ke rumah si empunya hajat. Semakin banyak tamu berarti semakin banyak rezeki karena mereka pasti akan menyumbang. Saat bertugas sebagai pawang hujan, ayah hanya makan nasi putih tanpa air minum. Katanya, kalau minum air, hujan bisa turun. Menurutnya, tugas pawang hujan sebetulnya bukan untuk menghentikan hujan melainkan hanya memindahkannya agar turun di tempat lain.
Walaupun ayah seorang imam langgar tapi ia tidak fasih berbahasa Arab. Maklum tidak ada kiai pesantren yang mengajarinya bahasa Arab secara fasih. Guru agama yang mengajarinya ngaji dulu memang alumnus sebuah pesantren di Cirebon tapi bukan “ulama” yang mahir kitab kuning. Para guru agama yang mengajarinya ngaji itu bernama Kasim dan Wahidi. Yang terakhir itu adalah “ayah tiri” ayah saya. Ia belajar mengaji dan sembahyang di Desa Kedunglanggar, tetangga Desa Manggis.
“Kira-kira kapan, bapak mulai belajar mengaji dan sembahyang?” tanya saya suatu ketika menggunakan Bahasa Jawa.
“Sakdurunge merdeka” (maksudnya sebelum Indonesia merdeka), jawabnya singkat.
Adapun materi yang diajarkan hanya sebatas turutan (juz’ama), barzanji, tata cara sembahyang, tahlilan, dan berbagai ritual keagamaan yang biasa menjadi amalan keseharian warga Muslim Jawa. Kelak, pengembangan amalan keislaman di kampung—termasuk pelajaran tajwid atau tartil Qur’an—dilakukan oleh kakak saya sepulang dari Pondok Pesantren di Bawang (Batang) dan saya sendiri.
Pada waktu itu, sekitar 1970-an atau 1980-an, tidak ada warga kampung Manggis yang belajar mengaji. Bahkan tidak ada yang tahu bagaimana bersembahyang secara Islami. Karena mengerti tata-cara sembahyang dan sedikit bisa mengaji turutan ini, ayah dipandang sebagai “wong pinter” di desa itu. Ia pun kemudian, meminjam istilahnya, “diecuk-ecuk” (diperlakukan secara baik) oleh modin desa (lebe) kala itu yang bernama Kasim. Ayah saya suatu saat berkisah, pada setiap bulan Ramadlan, Kasim selalu menyembelih kambing untuk selametan karena ayah berhasil meng-khatam-kan Al-Qur’an. Tradisi membaca Al-Qur’an sampai tamat memang menjadi bagian dari rutinitas masyarakat Islam Jawa hingga kini. Ayah mengaku hafal beberapa surat dalam Alqur’an terutama Surat Yasin, Al-Fatihah, Al-Ikhlas (yang olehnya disebut Surat “Qulhu” karena memang surat ini dimulai dari kata “Qul-hu”) dan beberapa surat pendek dalam Juz’amma, tentu saja dengan logat “Arab-Jawa.” Ayah saya juga hafal “ayat Kursi” yang menjadi “ayat andalan.” Ayat Kursi ini—ditambah dengan mantra-mantra Jawa tertentu—menurutnya mampu mengusir roh-roh jahat dan mahluk halus yang mengganggu manusia. Karena itu dalam setiap slametan atau tahlilan ayat ini selalu dibaca. Selain itu ayat ini konon juga bisa dipakai sebagai ilmu kekebalan tubuh.
***
Dunia klenik (mistik) memang menjadi bagian dari “pandangan dunia” dan karakteristik warga Desa Manggis yang berkultur “abangan” ini. Warga desa ini juga sudah terbiasa dengan praktek ilmu-ilmu kesaktian termasuk “ilmu hitam” (black magic). Yang populer adalah jenis ilmu hitam kemodong. Orang yang terkena serangan ilmu ini, konon perut mereka akan terisi jarum, paku, atau beling (pecahan kaca) sehingga pelan-pelan ia akan mati. “Jangan sekali-kali melintasi kebun apalagi mencuri buah-buahan atau apa saja yang ada di kebun milik seorang dukun kemodong kecuali kalau mau mencari malapetaka,” pesan ayah suatu ketika. Karena terkenal dengan praktek ilmu hitam ini, dulu Desa Manggis ditakuti penduduk kampung lain. Selain dukun “ilmu hitam,” di desa ini juga ada beberapa orang ahli ilmu brojomusti yang mampu menjungkalkan orang hanya dengan sekali pukul serta ilmu semar mesem atau “ilmu pelet” yang konon bisa membuat para perempuan (atau laki-laki) bertekuk-lutut kepada orang yang menaksirnya.
Bisa dibayangkan karena adanya berbagai “aktor sosial” (social actors) di kampung itu, maka kompetisi tidak bisa dielakkan. Seperti kajian Victor Turner pada masyarakat Ndembu, Afrika, yang ditandai dengan kompetisi antar aktor dalam sebuah “drama sosial” (social dramas—Turner menggambarkan suasana kehidupan yang penuh kompetisi itu sebagai sebuah “drama” dan kampung sebagai sebuah medan atau arena kompetisi atau “field”), maka begitulah yang terjadi di kampung saya: para “aktor sosial” seperti modin, dukun, orang kaya, tuan tanah, dan pamong praja—lurah dan perangkatnya—terlibat persaingan untuk memperebutkan pengaruhnya masing-masing. Kompetisi itu dilakukan dengan berbagai cara dan didorong oleh berbagai motif: dari motivasi ekonomi dan politik sampai motivasi keagamaan.
Ayah berkali-kali mengisahkan perjuangan beratnya yang sangat heroik ketika mendirikan langgar dan mengajarkan ngaji kepada warga desa. Hampir setiap malam langgar dari papan yang ia dirikan itu dikencingi dan diberaki oleh warga setempat yang usil. Setiap pagi menjelang subuh ayah selalu membersihkan kotoran-kotoran itu. Ia juga berkali-kali dilecehkan dan dihina sebagai “manusia kalong” (kelelawar) karena kebiasaannya berpuasa di siang hari dan makan hanya pada malam hari. Berkali-kali pula ayah diledek sebagai manusia miskin yang hanya makan dari “nasi berkat” (nasi berkat adalah nasi yang dibungkus di daun jati sebagai bingkisan setelah selesai acara selamatan atau kenduren). Tetapi ayah tidak menggubris omongan-omongan itu, apalagi menyerah begitu saja kepada orang-orang yang membencinya. Ia tetap menjalankan rutinitas keagamaan dan melaksanakan tugas sebagai modin kampung, meskipun beberapa kali ia diancam dengan golok. Ayah memang tidak hanya diancam tetapi bahkan pernah disabet sebilah pedang tepat di lehernya. Darah muncrat dengan deras, tetapi nyawa tidak melayang.
Sebagai “kampung abangan,” Desa Manggis tidak hanya familiar dengan dunia mistik tapi juga praktek-praktek “sekuler” lain seperti judi, mabuk-mabukan, sabung ayam, berburu babi hutan dan masih banyak lagi. Dangdut, campur sari, tayub, wayang, lengger, dan kuda lumping adalah tontonan (tanggapan) yang lumrah dilakukan orang kampung ketika mereka sedang mempunyai hajatan. Setiap musim “sedekah bumi” tiba di bulan Legeno (Jumadil Awal dalam sistem kalender Hijriah), warga kampung juga menggelar hiburan “tayuban” dengan mengundang para ronggeng (penari Jawa) untuk menari, menyanyi, dan berjoget sehari-semalam. Para warga pun rela berdesak-desakan untuk menonton ronggeng dari luar desa ini. Bagi warga yang berduit, mereka bisa berdansa dan bernyanyi bersama si ronggeng. Biasanya petujukan seni ini diiringi dengan judi dan pesta minum tuak sampai teler (tenggeng).
Tidak seperti acara-acara lain, khusus dalam sedekah bumi, hiburan yang harus ditanggap adalah ronggeng, tidak boleh yang lain. Pernah suat saat kepala desa setempat menggelar wayang, bukan ronggeng pada waktu sedekah bumi, tiba-tiba hujan lebat disertai dengan angin kencang. Menurut kepercayaan orang kampung, itu pertanda leluhur dan danyang desa tidak menyetujui pertunjukan wayang kulit saat sedekah bumi.
Sedekah bumi adalah tradisi setempat yang diwariskan secara turun-temurun semacam “pesta desa” agar tanah tetap subur sehingga bisa ditanami padi, jagung, singkong, dlsb. Warga desa biasanya dimintai iuran oleh para pamong desa (pamong projo) yang besarnya sesuai dengan luas tanah mereka. Semakin luas kebun dan sawah yang mereka miliki semakin banyak uang yang harus dikeluarkan. Uang hasil iuran itu kemudian dipakai untuk menanggap ronggeng serta membeli kerbau atau kambing jantan (wedus bandot). Kerbau atau kambing jantan ini kemudian disembelih di bawah pohon tua dan sangat besar bernama Epek dengan disaksikan oleh warga setempat. Pohon Epek ini, oleh warga kampung, dipandang “keramat” untuk tidak menyebut angker karena konon banyak makhluk halus yang bersemayam di sini. Memang melihat pohon ini, bulu kuduk bisa merinding. Selain sangat besar, menjulang tinggi, dan berumur tua, Pohon Epek ini berdaun sangat lebat sehingga menimbulkan kesan seram. Selama bertahun-tahun tradisi penyembelihan kerbau atau kambing jantan plus “selametan akbar” yang dalam ilmu antropologi disebut “ritual meal” ini selalu dilakukan di bawah pohon yang letaknya di sebelah timur Desa Manggis ini.
***
Ayah saya lah yang selama bertahun-tahun melakukan proses penyembelihan kerbau atau wedus bandot tadi. Sebagai seorang lebe, ayah mendapat imbalan sawah bengkok—yang merupakan sawah satu-satunya yang ia miliki. Lebe adalah jabatan perangkat desa terendah di kampung. Tidak seperti pamong desa lain yang bengkok-nya cukup luas, sawah bengkok milik ayah hanya 500 M2 atau setengah hektar. Itupun sebagian dari sawah tadi berupa bledo atau tanah gembur yang tidak subur dan susah ditanami. Jika menanam benih padi di bledo ini, separuh tubuh bisa tenggelam di lumpur. Sewaktu anak-anak saya sering bermain ke sawah ini untuk mencari belut dan membantu orang tua membersihkan rumput pengganggu tanaman padi.
Setiap musim panen tiba, biasanya setiap empat bulan sekali, sawah bengkok ini hanya menghasilkan kurang lebih Rp. 1 juta rupiah. Itupun jika kondisi padi sangat baik, jika kualitas padi begitu buruk karena dimakan serangga dan hama padi lain (seperti wereng, tongkro, ulat, tikus, burung, atau bahkan babi hutan) harga jualnya bisa merosot tajam. Dari penghasilan Rp. 1 juta per empat bulan itu, jika dibuat rata-rata maka per bulan penghasilan kotor ayah sekitar Rp. 200 ribu rupiah. Itupun tentu saja belum dipotong biaya mencangkul, menanam benih (tandur), membersihkan tanaman pengganggu padi (matun dan bibit galeng—membersihkan rumput di pematang sawah), atau ongkos membeli pupuk dan obat-obatan. Juga belum termasuk biaya makan para pekerja. Jadi, setelah dipotong sana-sini, total bersih penghasilan orang tua saya per bulan mungkin sekitar Rp. 100 ribu sampai 150 ribu.
Celakanya, petani sering kali tidak diuntungkan oleh permainan sistem “pasar global.” Saat musim menggarap sawah tiba, harga pupuk dan obat-obatan biasanya melambung tinggi. Tetapi begitu musim panen datang, harga gabah sering anjlok. Ini sudah menjadi rahasia umum dalam jagat pertanian Indonesia. “Beruntung” orang tua saya mempunyai pekerjaan sambilan sebagai seorang lebe yang kalau diundang warga untuk memimpin doa slametan atau kenduren biasanya selalu mendapat “uang wajib” (dulu Rp. 100,-). Oleh ayah, uang recehan itu dikumpulkan dalam kaleng atau celengan yang terbuat dari tanah liat kemudian disimpan dalam kamar untuk dipakai sewaktu-waktu dibutuhkan baik untuk membeli lauk-pauk seperti ikan teri atau kerupuk dari warung desa, selain untuk uang saku sekolah saya dulu.
Hasil penjualan padi itu kemudian dipakai untuk membeli beras, membayar utang, atau menyumbang warga yang sedang hajatan. Bagi orang kampung, menyumbang tetangga yang sedang hajatan adalah prioritas utama. Soal jumlah urusan belakangan, yang terpenting ikut berpartisipasi memberi sumbangan. Menyumbang tidak hanya memberikan sejumlah uang atau barang-barang lain (beras, ayam, mi dan lain-lain) tetapi juga, dan ini yang utama buat mereka, “setor rai,” yakni menunjukkan diri ke orang yang punya hajat. Tidak menyumbang berarti aib dan mendapat sanksi sosial berupa dikucilkan atau digunjingkan oleh masyarakat. Meskipun yang punya hajatan tidak mempunyai buku “daftar tamu,” mereka mampu mengenali satu-persatu tamu kampung yang hadir atau tidak hadir. Itu bisa dimengerti karena jumlah penduduk kampung Manggis hanya berkisar ratusan. Menyumbang orang hajatan juga simbol solidaritas sosial yang menjadi karakter umum warga kampung yang hidup dalam tradisi komunalisme.
***
Karena penghasilan yang kecil sementara kebutuhan hidup primer-sekunder begitu banyak, ayah selama bertahun-tahun tidak mampu memperbaiki rumah gubugnya. Rumah kami dulu beratap daun ilalang, sebagian berpagar bambu (gethek) dan sebagian lagi dari daun kelapa (bleketepe) serta berlantai tanah. Karena di bagian belakang rumah dijadikan kandang kambing dan ayam, rumah ini juga berbau pesing dan pengap. Jika musim hujan tiba, kami terpaksa tidak bisa tidur karena rumah bocor atau tidur di ruang lain yang kebetulan tidak bocor dengan menggelar tikar terbuat dari daun pandan (disebut klasa). “Tikar pandan” ini adalah hasil karya ibu dan paman saya yang memang dulu pembuat tikar ini untuk dijual di pasar dekat jalan raya Daendels dan desa-desa sekitar guna membantu memenuhi kebutuhan hidup. Tidur di papan tanpa kasur dan hanya berselimut sarung kumal adalah bagian dari sejarah masa kecil saya.
Bangunan rumah gubug ini berada di tanah yang dulu, kata ayah, sangat angker karena banyak makhluk halus semacam jin, demit, dan gendruwo. Karena angker itulah tanah ini, oleh pemiliknya, rela ditukar dengan sepetak kebun milik ayah yang luasnya jauh lebih kecil. Selain angker, tanah kosong ini juga menjadi jamban (toilet) umum warga kampung yang membuang hajat. Kelak di tanah inilah, oleh ayah saya, dibangun sebuah langgar (musala) panggung kecil yang terbuat dari papan kayu dan bambu. Inilah langgar pertama di kampung itu. Waktu itu ayah memang sedang mencari tanah kosong untuk pembangunan sebuah rumah. Maka begitu mendapat tawaran untuk menukar kebun, ayah pun bersedia. Pembangunan langgar itu konon, antara lain, juga dilakukan dengan maksud untuk mengusir mahluk-mahluk halus penunggu kebun angker itu.
Meskipun berpenghasilan sedikit dan kondisi ekonomi serba terbatas, ayah masih bersyukur tinggal di desa karena kebutuhan makan bisa dikatakan tercukupi sehingga tidak menderita kelaparan. Tentu saja kebutuhan makan ala kadarnya, bukan “empat sehat lima sempurna” seperti sering diajarkan para guru, pegawai pemerintahan atau dinas kesehatan. Jika tidak mampu membeli beras, kami dulu makan dengan nasi jagung yang ditumbuk lembut. Karena itu bagi orang-orang yang berkumis lebat, kalau makan nasi jagung ini bisa menempel di kumis sehingga kelihatan kerlap-kerlip seperti terkena serbuk bunga.
Nasi jagung ini biasanya dimakan dengan sayuran daun singkong, sambal, garam, dan lalap jengkol atau petai. Kadang-kadang juga pakai lalapan sambal bunga pisang (jantung). Kalau ada sedikit uang, ibu biasanya membeli gereh tengeng (ikan agak panjang yang rasanya sangat asin) atau gereh pethek (ikan asin yang bentuknya pipih dan bulat) di warung atau kedai kampung. Harga tiap biji gorengan ikan biasanya Rp. 25,-. Ikan ini kemudian dipotong-potong kecil agar semua anggota keluarga mendapat bagian. Karena jarang ada yang mau makan bagian kepala ikan asin ini, orang tua saya sering bilang: “Siapa saja yang mau memakan kepala ikan asin ini, kelak akan menjadi kepala (pemimpin).” Saya memang sering makan kepala ikan asin ini tapi bukan karena didorong supaya menjadi pemimpin melainkan lebih karena sering tidak mendapat bagian badan ikan terutama saat sarapan pagi. Sarapan pagi di kampung saya dulu biasanya adalah sisa-sisa makanan malam yang kadang-kadang sudah agak basi. Karena sarapan sering dilakukan di pagi-pagi buta sebelum berangkat ke sawah, saya memang sering tidak mendapat bagian.
Karena didorong ingin makan pakai lauk-pauk yang “pantas” ini, saya dulu sering menjual kayu bakar ke warung untuk ditukar dengan ikan asin atau gorengan tempe gembus. Makan sego jagung menjadi alternatif utama saat padi gagal panen. Jika tidak ada beras dan jagung, terutama saat musim paceklik, alternatif lain adalah singkong (ketela pohon), uwi, gembili (sejenis umbi-umbian) dan talas (pangkal batang yang menjadi besar dan berisi yang dapat dimakan) yang dibakar atau direbus. Pernah kami kekurangan bahan makanan, hanya ada gadung semacam umbi-umbian yang tumbuh di hutan dan mengandung racun jika tidak dimasak dengan hati-hati. Celakanya, suatu ketika, ibu saya tidak memasak gadung ini dengan seksama—hanya direbus beberapa saat—sehingga setelah makan kami sekeluarga pingsan berjam-jam karena teler! Beruntung Tuhan masih memberi kami nyawa sehingga tidur kami yang berserakan waktu itu akibat keracunan gadung tidak berkelanjutan.
Jika musim hujan tiba, kami sekeluarga—dan juga warga lain di Manggis—makan ulat jati dan entung. Di musim hujan, biasanya ulat-ulat ini memakan daun-daun hutan jati di dekat desa. Dengan penuh semangat, warga kampung—termasuk saya tentunya—terutama kaum perempuan dan anak-anak dengan membawa dunak (bakul cukup besar terbuat dari anyaman bambu) atau cething (bakul berukuran kecil) berangkat pagi-pagi ke hutan dan mulai gerilya mengumpulkan ulat-ulat jati dan entung (kepompong ulat yang hendak jadi kupu-kupu) tadi. Setelah berhasil mengumpulkan ulat-ulat dan entung itu, siang atau sore harinya mereka kembali ke kampung. Ulat-ulat dan entung tadi kemudian digoreng atau dibuat pepes (makanan yang dibungkus pakai daun pisang kemudian dicampur parutan kelapa dan garam kemudian dikukus atau dipanggang) atau digoreng. Setelah matang, pepes atau gorengan ulat jati ini kemudian menjadi hidangan santap malam keluarga. Sungguh nikmat dan gurih rasanya menyantap gorengan atau pepes ulat dan entung ini apalagi jika dimakan saat hujan lebat mengguyur kampung. Tidak ada perasaan jijik sedikitpun saat makan makhluk ini. Semua terasa biasa-biasa saja.
Bagi orang kampung, selain membawa bencana banjir, hujan ini juga bisa mendatangkan rezeki karena begitu hujan selesai biasanya makhluk yang bernama laron (flying white ant, kata kamus Inggris, atau kelekatu alias anai-anai bersayap) berhamburan dari tanah. Saat itulah warga kampung sibuk menangkap dan menjaring laron untuk dijadikan sebagai lauk-pauk. Seperti pepes atau gorengan ulat jati, makan pepes atau gorengan laron ini juga terasa sangat nikmat dan gurih.
***
Ayah sebetulnya anak seorang cukup kaya, terpandang, dan disegani di Desa Manggis. Konon, menurut cerita ayah, kakek saya mempunyai banyak sawah selain lima orang istri. Memiliki banyak istri, pada waktu itu, adalah salah satu tanda orang kaya (tentu untuk ukuran di kampung). Ayah sendiri adalah anak terakhir dari istrinya yang kelima. Selain kaya, kakek saya yang bernama Mbah Cermo ini, konon juga sakti. “Tidak ada orang kampung yang berani menyanggah saat kakek kamu berbicara karena takut akan kesaktiannya”, terang ayah suatu ketika.
Karena sang kakek memiliki banyak anak dari lima orang istrinya, ayah saya—sebagai anak terakhir dan terkecil—tidak mendapat bagian harta warisan. Apalagi sang kakek meninggal saat ayah masih kecil. Maka ayah pun kemudian menjadi buruh tani dari satu tempat ke tempat lain untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup. Saya tidak pernah tahu bentuk rupa sang kakek karena ia meninggal sebelum saya dilahirkan ke muka bumi ini tapi saya sering diajak ayah untuk berziarah di makam kakek terutama di hari menjelang puasa Ramadlan dan Lebaran. Dengan berziarah ke makam kakek, kata ayah, siapa tahu saya mendapat berkah “tuah” kesaktiannya. Tradisi ziarah ke makam kakek ini terus berlanjut bahkan ketika saya sudah sekolah di perguruan tinggi kelak.
Sewaktu saya kecil, ayah dibantu oleh kakak saya yang kedua dan ketiga dalam menggarap tanah bengkok. Kakak saya yang pertama tinggal agak jauh dari kampung Manggis bersama istri dan anak-anaknya. Saya sendiri sebagai anak terakhir belum pernah ikut mencangkul di sawah, karena sibuk menggembala kambing, mencari rumput, dan kayu bakar di hutan yang menjadi pekerjaan rutin saya semasa anak-anak. Hanya kadang-kadang membantu ayah membersihkan rumput-rumput di pematang sawah atau mencabuti tumbuh-tumbuhan pengganggu padi (istilah orang kampung: matun). Sesekali saya juga mengirim makanan untuk para pekerja di sawah. Mengantar makanan ini juga bukan pekerjaan mudah karena lokasi sawah yang cukup jauh dari kampung dan melewati hutan belantara serta jalan setapak yang sangat sulit dilalui. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk bisa sampai ke sawah ini.
Menggembala kambing adalah pekerjaan utama para anak-anak di kampung. Saya juga menjalani pekerjaan ini bertahun-tahun sejak kelas tiga atau empat SD sampai lulus Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jadi kurang lebih selama enam tahu saya menggeluti profesi sebagai penggembala kambing ini. Saya berhenti menggembala kambing setelah saya sekolah di sebuah Madrasah Aliyah di Pekalongan. Saya sendiri sebetulnya mewarisi “tradisi” menggembala kambing itu dari kakak saya. Sejak kakak saya sekolah di sebuah madrasah tsanawiyah di (kota) Beji, Tulis, pekerjaan menggembala kambing kemudian diwariskan kepada saya yang saat itu, kira-kira, masih duduk di kelas empat SD. Menggembala kambing di area sekitar hutan dekat kampung adalah pengalaman petualangan saya yang tidak mungkin terlupakan. Jadwal menggembala kambing biasanya dimulai jam 1.30 siang sehabis pulang sekolah sampai sore hari sekitar pukul 5.00 atau 6.00. Ada banyak suka-duka dan kisah-kisah getir, sedih, haru, dan lucu selama melakoni proses penggembalaan kambing ini. Senang karena berkumpul dengan teman-teman sebaya di kampung dan bersenda gurau menikmati padang rumput yang menghijau di pinggiran hutan jati. Sesekali kami juga makan singkong bakar, jagung bakar, dan buah-buahan atau umbi-umbian apa saja yang ditemui di lahan sekitar hutan.
Jika musim panen padi atau jagung tiba, anak-anak penggembala kambing biasanya mengambil makanan jadah pasar (kue), nasi, atau ayam jika lagi beruntung yang ditaruh oleh petani di pojok sawah sebagai sajen. Makanan sajen tadi kemudian dimakan ramai-ramai sesama penggembala kambing (J. cah angon) dengan riang gembira. Setelah matahari berada di ujung barat pertanda petang segera menyapa, kami menggiring kambing-kambing itu kembali pulang kandang. Sambil menggembala kambing, saya juga sering mencari kayu bakar atau tumbuh-tumbuhan yang bisa dimasak di rumah seperti jamur, rebung (bambu muda), serta daun-daunan di sawah.
Selain cerita-cerita menyenangkan, juga banyak dijumpai kisah-kisah pahit terutama saat musim hujan. Menggembala kambing saat musim hujan adalah tantangan tersendiri apalagi jika hujan itu diiringi dengan angin kencang dan petir. Tidak ada payung atau jas hujan hangat yang bisa menutupi tubuh dekil penggembala. Satu-satunya peralatan yang ada hanyalah caping (topi penutup kepala terbuat dari bambu) yang hanya bisa melindungi rambut kepala saja sementara anggota badan lain bayah-kuyup kedinginan. Kambing-kambing saya juga ikut kedinginan karena itu mereka mencari rumput-rumput atau daun-daun di semak belukar atau masuk hutan agar bisa terlindung dari derasnya hujan. Meski hujan lebat dan cuaca buruk, saya harus tetap menggembala kambing agar tidak dimarahi orang tua, kecuali saya bisa mencari makanan pengganti seperti daun nangka atau rumput.
Memelihara kambing—juga kerbau—memang menjadi salah satu andalan warga desa Manggis kala itu selain bertani dan berkebun. Upah yang saya terima biasanya satu anak kambing untuk satu tahun bekerja sebagai buruh penggembala satu kambing dewasa. Semakin banyak kambing yang digembalakan maka semakin banyak upah anak kambing yang saya terima. Kelak kambing-kambing hasil jerih payah selama bertahun-tahun menggembala kambing itu kemudian saya tukar dengan kerbau yang kemudian saya jual untuk biaya masuk sekolah di sebuah perguruan tinggi Islam di Semarang. Karena masa kecil saya yang banyak dihabiskan di ladang dan hutan dengan tanpa memperhatikan faktor kesehatan ini, maka tidak mengherankan jika masa kecil saya dipenuhi dengan aneka penyakit mulai sakit kulit seperti koreng, kudis, borok, wudun atau bisul lada, bubuh (bisul besar yang membengkak, bernanah, dan berbau busuk sering disebut “bisul sabut”) sampai demam, meriang, dan liver (penyakit kuning) atau maag akut.
Sakit ini semakin bertambah parah karena tidak dibawa ke dokter, mantri suntik, atau perawat, melainkan ke dukun. Alasan orang tua membawa saya ke dukun tentu saja selain dekat karena ia tinggal di kampung juga lantaran faktor biaya. Baru kalau sudah kelihatan sangat parah, saya dibawa (dengan cara digendong bergantian oleh orang tua saya) ke Puskesmas terletak di kota kecamatan. Bahkan untuk penyakit-penyakit kulit tertentu cara penyebuhannya bukan dioperasi tapi dengan ditambal pakai daun-daun tertentu (seperti daun kemlanding) yang diramu sendiri.
***
Demikianlah masa kecil saya memang dihabiskan di hutan untuk menggembala kambing, mencari kayu bakar untuk masak, dan mencari rumput untuk ternak kerbau. Itu saya jalani sejak kelas empat SD. Selepas SD, saya disekolahkan di MTs Walisongo di Desa Baji, Kecamatan Tulis, yang berjarak sekitar 15-an km dari kampung saya. Karena tidak ada teman sekampung yang sekolah di MTs, setiap hari saya berjalan kaki sendirian menuju sekolahan ini. Lantaran takut terlambat, biasanya saya berangkat ke sekolah pukul 5-an pagi hari diantar oleh ayah sambil membawa obor sampai matahari terbit di ufuk timur baru beliau meninggalkan saya seorang diri untuk melanjutkan perjalanan ke MTs menyusuri hutan karet dan perbukitan terjal. Karena medan yang berat, dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk sampai ke madrasah itu. Sepulang dari sekolah—yang juga ditempuh dengan jalan kaki—saya tidak langsung istirahat tetapi harus menggembala kambing-kambing saya sampai larut petang.
Menyekolahkan anak—apalagi menyekolahkan anak di madrasah—adalah sebuah pemandangan langka dan aneh di kampung itu. Pada umumnya orang tua meminta anak-anak mereka untuk menggembala kambing dan kerbau atau bertani saja sebagaimana mereka. Selain alasan medan yang sangat berat, menyekolahkan anak juga bisa menghabiskan harta-benda (tanah dan hewan piaraan). Sementara dengan menggembala kambing (atau kerbau) dan bertani membantu orang tua bisa menghasilkan upah kambing atau kerbau serta sejumlah uang tentunya dengan bekerja sebagai buruh tani. Oleh karena itu bagi orang tua yang berpikiran pendek enggan menyekolahkan anak-anak mereka selepas SD.
Tetapi ayah berani melawan “tradisi kuno” dan “arus konservatisme” yang terjadi di kampung itu. Ia nekad menyekolahkan anak-anaknya meskipun sejumlah kaum borjuis lokal dan elit desa melecehkan dan menentangnya. Harus saya akui, tanpa kegigihan ayah dalam menyekolahkan saya dulu, mustahil saya bisa menempuh pendidikan setinggi ini. Tanpa dorongan kuat ayah agar saya terus sekolah, saya mungkin akan seperti orang kampung kebanyakan—bertani di sawah atau menggembala kerbau dan kambing. Meskipun dalam kondisi serba kekurangan, ayah begitu bersemangat menyekolahkan saya. Kegigihan ayah itu didorong oleh keinginannya agar saya kelak “dadi wong pinter” (menjadi orang pintar) sehingga saya bisa menjadi guru SD di kampung itu seperti Sumanto, teman baiknya yang beragama Kristen dan berprofesi sebagai guru SD di desa itu. Nama saya diambil dari nama guru SD ini. Mungkin ia berharap kelak saya akan seperti Sumanto ini—sebuah keinginan yang belum terpenuhi.
Sebagai modin dan imam mushola—atau lebih luasnya sebagai tokoh agama di kampung—ayah juga sering merasa “kurang sempurna” bacaan Arab-nya dan pengetahuan keislamannya. Oleh karena itu ia mengirim anak-anaknya sekolah di madrasah dan pesantren, menitipkan ke para kiai (termasuk saya yang “dititipkan” kepada almarhum Kiai Sanusi Muhtadi di Pekalongan. Sementara kakak saya yang kedua yang bernama Karono dikirim ke Pesantren Al-Huda di Bawang di bawah asuhan alm. Kiai Sulaiman Arif). Begitu ayah mengetahui bacaan Alqur’an anak-anaknya sudah fasih, ia “mendelegasikan” tugas imam masjid dan langgar ke anak-anaknya.
Saya masih ingat ayah selalu mengumpulkan uang-uang recehan dan pecahan ribuan yang ia simpan rapat-rapat di bawah kasur. Uang itulah yang diberikan kepada saya ketika saya pulang untuk meminta sangu atau uang saku. Saat memberikan uang itu, ayah selalu bilang, “Diirit-irit duwite ben cukup” (maksudnya: jangan boros menggunakan uang supaya cukup). Saya selalu meneteskan air mata saat mengenang masa-masa pahit itu. Saya tahu uang recehan itu jauh dari cukup untuk menyambung nyawa di kota. Tapi saya tidak berani protes karena saya tahu ayah tidak punya uang. Meski serba terbatas, ayah tidak mau menyerah menyekolahkan saya.
Kini ia telah tiada, pergi meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Meskipun saya jelas berduka atas kematiannya tetapi saya masih bersyukur bisa menyaksikan jasadnya sebelum dimakamkan. Apa yang terjadi jika ia meninggal ketika saya masih di Amerika? Padahal waktu saya di Amerika, ayah berkali-kali jatuh sakit sampai pada tahap kritis, tetapi nyawanya selalu bisa diselamatkan. Ketika saya pulang dari Amerika di awal Januari 2010 setelah sekian tahun tidak berjumpa, saya peluk ayah erat-erat. Ia menangis sesenggukan sampai kehabisan kata-kata. Saya pun demikian. Air mata saya mengalir deras ke pipi. Saya tahu ayah sangat merindukan saya setelah lebih dari empat tahun tidak bersua. Begitu pula dengan saya.
Segera setelah saya pulang, rumah berukuran 22 X 10 M yang sudah keropos itu saya rehab total. Senyum ayah mengembang menyaksikan rumahnya sudah kuat dan rapi. Kata ayah, “Nek aku mati, omahe arep ambruk, mengko dadi kepikiran” (Maksud kalimat ini kira-kira: “Kalau saya meninggal sementara rumah ini mau roboh, nanti saya jadi memikirkan terus dan tidak tenang”). Setelah rumah selesai diperbaiki, ayah berkata kepada saya di suatu sore menjelang maghrib: “Aku wis marem To. Omah iki wis roso tur apik. Iki jenenge anak sing mikul duwur mendem jero”. Saya diam saja mendengarkan omongannya. Dalam hati saya juga bahagia melihat ayah bahagia.
Tetapi satu hal yang membuat saya sedih adalah ia wafat di saat Ph.D belum bisa saya raih. Padahal begitu saya selesai sekolah di Amerika dan mendapat gelar PhD, ia ingin syukuran dengan menanggap wayang golek dengan lakon “Canus Wisudo” yang akan dimainkan oleh Ki Dalang Rohim. Canus adalah lambang “wong cilik” atau rakyat jelata. Lakon “Canus Wisudo” adalah sebuah gambaran orang kecil dan miskin tetapi mampu meraih pendidikan tinggi dan kemudian menjadi orang terhormat dan bermartarbat.
Selamat tinggal ayah. Semoga saya bisa diwisuda sesuai dengan keinginanmu. Semoga saya bisa melanjutkan perjuangan dan amanatmu. Semoga seluruh amalan baikmu terus lestari di bumi Desa Manggis, tempat kamu lahir dan berjuang.
Rest in peace, ayah.
ceritanya yang dibagi cukup menarik.. semoga banyak orang yang bisa memetk hikmah dari cerita hidup tersebut.. terimakasih…