[Semarang –elsaonline.com] Malam itu waktu sudah menunjukan pukul 12 malam, yang namanya kehidupan malam, nampak disekitar lokalisasi semakin malam semakin ramai. Untuk kedua kalinya kami menjumpai perempuan yang duduk di emperan satu orang. Tanpa pikir panjang kami akhirnya menyambangi perempuan tersebut.
Seperti biasa kami melakukan tawar menawar untuk wawancara. Namun kali ini perempuan tersebut mau melayani untuk diwawancarai dengan lama 20 menit dan dibayar 75 ribu. Wawancara dengan membayar 75 ribu tersebut juga tidak di dalam. Melainkan di emperan rumah. Karena untuk sewa rumah jika mau di dalam harus membayar sekitar 30 ribu.
“Kalau mau wawancara diluar 20 menit 75 ribu silahkan mas. dulu juga ada yang wawancara saya bahkan bayarnya 100 ribu diluar mas. Sekarang gak apa-apa 75 ribu mas,” tutur seorang perempuan asal Malang Jawa Timur. Ketika ditanya mengapa tidak di Dolly Surabaya ia menjawab karena di Surabaya rentan dengan orang yang kenal. Sehingga ia memilih Semarang yang kecil kemungkinan dikenal orang banyak.
Setelah ada yang mau diwawancarai dengan harga yang terjangkau akhirnya kami langsung wawancara. Sebut saja Ratih (bukan nama asli) perempuan ini asal Malang, Jawa Timur. Ia memilih tempat menjajakan dirinya di Semarang, Jawa Tengah, karena jika ia di Dolly, Surabaya, terlalu dekat dengan kerabat atau keluarga. Profesi yang ia jalani sekarang memang tanpa satu pun anggota keluarga yang mengetahui. Meskipun ia mengaku sebagai orang miskin, tapi jangan sampai ada yang tau bahwa ia menjadi seorang wanita malam.
“Kalau di Dolly ya kedekatan lah, malah ketahuan keluarga aku kalau tahu gimana, meskipun namanya aku orang miskin ya, jangan sampai ketahuan oleh keluarga aku,”ungkap Ratih.
Ratih mengaku bahwa dia sudah punya anak dan sekarang anaknya sudah menikah. Namun saat ini, dengan suami terakhirnya sudah cerai 7 tahun yang lalu. Dari itu ia menggadaikan harga dirinya semata-mata untuk mencari nafkah buat biaya hidup anaknya yang ditinggal ayahnya. Sepeninggal suaminya dia dan anaknya tak pernah di kasih nafkah sepeserpun. Bahkan hingga mau mantu (menikahkan anaknya) pun suaminya gak pernah nyumbang. Ia membiayai semua keperluan pernikahan anaknya. Padahal biaya manti itu hingga mencapai 35 juta. Padahal waktu mengawinkan anaknya hanya acara kecil-kecilan.
“Saya sudah 7 tahun mas ditinggal suami saya. Sejak itu tidak pernah dikasih uang sepeser pun. Bahkan waktu mau menikahkan anaknya pun dia tidak disumbang sama sekali oleh suaminya,” terang Ratih.
Ia mengaku menikah 2 kali. Yang pertama ia menikah dengan seorang ustadz, pengajar ngaji di mushola. Sehingga dengan suami yang pertamanya itu ia menjadi perempuan yang lebih sering menghabiskan di mushola bersama suaminya. Namun takdir berkata lain, pernikahan dengan suaminya yang seorang ustadz tersebut kandas ditengah jalan. Untuk yang kedua kalinya akhirnya dia menikah lagi. Namun pernikahanya yang kedua ini kebetulan dengan orang yang nakal. Sering keluar malam ngedu pitek, main judi, main nomer dan lain sebagainya.
Pernikahan dengan suami yang keduanya pun akhirnya tidak langgeng. Dari mulai inilah akhirnya dia terjun ke dunia pelacuran. Sejak bercerai 7 tahun yang lalu, akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke Semarang. Waktu sudah mencapai tiga tahun, ia pernah mencoba untuk berhenti dari dunia pelacuran. Namun karena memang terdesak urusan ekonomi, akhirnya ia masuk kembali ke dunia malam pelacuran. Ia masuk ke lokalisasi waktu itu karena anaknya masuk rumah sakit dan tidak mampu untuk membayarnya. Saudara-saudaranya juga tidak ada yang mau membantu biaya pengobatan anaknya.
“Kan anakku pada saat itu lagi sakit, aku nungguin anaku di rumah, terus anakku sehat aku ke sini lagi, namanya aku orang yang gak punya, mau gimana lagi, kerja di rumah di pabrik kurang terus, gak bisa apa-apa, piring 1 lusin saja gak punya kok aku, masih suami itu dijual semuanya,” kisahnya.
Sebenarnya untuk sekarang ini juga Ratih belum berkecukupan. Dengan ia masuk kembali ke dunia malam bukan berarti ia sudah berkecukupan. Saat ini ia hanya cukup untuk makan dan bayar kos saja. Perharinya memang kurang tentu mendapat uang berapa. Kadang paling banyak 300 ribu dan paling tidak 100 ribu. Itu pun dikurangi untuk bayar kamar.
Karena kerjanya hanya malam hari dari itu siang para wanita penghibur beristirahat di kontrakan masing-masing. Selalu begitu para wanita menghabiskan waktunya. Siang hari mereka beristirahat dan mlam hari mereka bekerja.
Ketika berpulang ke rumah, Ratih mengaku melakukan apa saja layaknya masyarakat biasanya. Jiak soal sumbangan dia juga sering menyumbang entah untuk mesjid, atau untuk kegiatan RT dan lainnya. Namun untuk melakukan shalat memang jarang-jarang, tapi jika sedang berkumpul dengan anak dan saudaranya ia melakukan sholat. Karena untuk mendidik anak dan juga menghormati sanak saudaranya. Kalau ada saudaranya yang sedang ada acara, ia pura-pura shalat, karena saudaranya banyak yang sudah melaksanakan ibadah haji.
Ketika ditanya akankah mengahiri kehidupan malam ini, Ratih menjawab akan mengakhiri kehidupan malamnya itu ketika tabungannya sudah cukup untuk membangun rumah. “Jika nanti membuat rumah sudah selesai aku berhenti,” ujarnya. Ia juga mengaku tidak mungkin seperti itu terus. Sementara untuk saat ini ia bekerja di kehidupan malam tersebut hanya untuk bayar hutang-hutang dulu waktu menikahkan anaknya. Karena untuk meminta kepada saudara tidak mungkin lagi.
Kebetulan baru saja waktu itu bapak dari Ratih baru saja meninggal. Sewaktu bapaknya meninggal, ia juga pulang pergi ke Malang sampai tiga kali. Ia mengambil uang ke bank, menghutang. Ketika pulang Ratih juga tidak ingin tanpa membawa apa-apa. Dari itu ia meminjam uang ke bank bukan hanya untuk biaya orang tuanya saja. Tapi ia juga juga untuk memberi anak-anak uang dirumah. Karena taunya orang di rumah, ia di Semarang bekerja sebagai pelayan rumah makan. Meskipun ia orang yang tidak punya tapi setipa ia pulang kalau ada saudara atau anaknya pasti memberi gula setengah kilo atau uang lima ribu, pasti ia beri.
Karena memang masih saudara, selain itu waktu ia mau berangkat ke Semarang, saudara-saudaranya menghina jika ia hanya orang yang tidak punya. Pernah waktu ia mau berangkat ke Semarang mau meminjam uang namun tidak diberi oleh saudaranya. Padahal ketika orang lain yang meminjam saudara-saudaranya memberi pinjaman terhadap orang lain. Bahkan ia sempat dikata-katain sama saudaranya. Bahwa dia tidak akan sanggup membayarnya.
“Waktu itu saya mau pinjam 150 ribu, tapi saya tidak diberi. Katanya pakai apa buat ngembaliin hutangnya, pakai jembutnya apa? anakku sekarang masih ingat di-ece saudaraku. Anakku bilang kalau dulu minjam gak dikasih tapi sekarang kok malah pada minta ya, terus aku bilang husss, jangan gitu lah, yang penting awake dewe gak gitu sama orang,” Ratih mengisahkan.
Waktu ia dihina oleh saudara-saudaranya anaknya juga tahu. Namun ia tidak ingin kalau kebencianya itu lalu anak-anaknya kemudian menaruh rasa dendam. Ratih juga terpaksa berbohong kepada anaknya demi menutupi kerjaanya sebagai seorang pelacur. Ia mengaku kalau di Semarang kerja sebagai pelayan di rumah makan diberi imbalan satu juta.
Orang kadang melihat para PSK itu kerjanya enak. Namun sebenarnya sangat susah. Terkadang ada tamu yang preman-preman. Nah itu terkadang ia mendapatkan kekerasan. Kadang juga ada orang yang lari dalam pengejaran. Kemudian menumpang nginap di kamar tempat mereka “ngamar.”
Ratih bercerita. “Ada tamu yang bawa pistol, aku pernah ditodong kok, sama pistolnya itu, makanya kerja kayak gini itu berat mas, taruhannya juga nyawa, jam segini kan masih rame, tapi kerjaku kan sampi isu, berat kok aku dulu pernah ada yang bawa pisau tamunya terus aku gak dibayar kan taruhannya nyawa kan, kan pernah aku dikasih uang banyak, dan juga pernah laki-laki yang bawa uang satu tas, dia ngamar tapi aku suruh keluar aku takut kalau dicari orang kan itu bawa uang satu tas dua orang laki-laki masih muda-muda, akunya takut, katanya mba’ saya mau nginap ya mba’ pulangnya besok pagi, terus aku gak mau, aku dilempar uang 150. ia juga bawa pisau, dan pistol juga.”
Sebelum ke semarang, ia juga pernah merantau ke Irian Jaya. Namun waktu itu ia ia ditipu orang. Ia menceritakan pengalaman awal ketika merantau. Awal kali ia merantau diajak bekerja dan ia pun mengetahui jika bekerjanya menjadi “kupu-kupu malam”. Namun waktu itu tapi uang penghasilan kerjanya tidak diterima langsung oleh dia. Tapi yang menerima uangnya temanya sendiri yang membawa ia ke irian jaya. Setelah lama ia bekerja dan tidak menghasilkan uang, akhirnya ia meminta untuk pulang ke jawa. Namun ketika ia ijin hendak pulang bukanya ijin yang ia dapatkan, tapi ayunan tangan dan kaki dari germonya.
Kemudian awal mula ia terjun ke SK, Semarang, di ajak oleh seorang germo yang merupakan tetangganya sendiri. Singkatnya, setelah ia di SK namun selama 2 hari belum mendapat tamu. Dan akhirnya ia merasa nyaman dan sering mendapat langganan. Hingga hari ini Ratih sudah 7 tahun menjalani kehidupan malam. Sebagai seorang pekerja seks, ia juga mempunyai target dimana ia juga harus keluar dari lokalisasi. Karena selain alasan sudah tua, ia juga merasa jika masa tuanya harus memperbaiki hidupnya. Kata Ratih,“kalau aku ya kira-kira 5 tahun lagi, itu aku harus berhenti, kalau aku sudah tua. Tapi jika sekarang kan aku belum bangun rumah, anakku belum selesai bangunya”.
Ratih, ia juga sadar jika bekerja yang selama ini ditekuni oleh dia tidak halal secara agama. Namun ia juga percaya dengan nasib. Ia menjalani kehidupan malam bukan rencana dia. Tidak pernah terlintas sedikitpun oleh dia dari keci kalai nantinya dia akan menjadi seorang pelacur. Ia bekerja sebagai seorang wanita penghibur juga memasrahkan kepada yang Maha Kuasa akan dimasukan kemana ia kelak. Karena memang yang dia lakukan selama ini karena semata-mata karena uang untuk membiyayi kehidupan anaknya. “Ya gak apa-apa kan memang nasibnya gini kok, jujur aja, sudah ketahuan di sini, yang tahu yang di “Atas” besok, sebenarnya aku kerja kayak gini itu aku gak pengen, berhubung aku kurang ekonomi ya gimana lagi”.
Dalam pesan terakhirnya, Ratih mengungkapkan segala isi hatinya kepada kami yang bertujuan untuk diketahui oleh khalayk publik. Menjadi seorang pelacur tidaklah enak. Sama sekali tidak nyaman. Namun karena urusan ekonomi yang tak kunjung pulih, disamping itu kebutuhan anaknya sekolah sudah mendesak akhrinya ia jalani kehidupan malam tersebut. Ratih juga berpesan kepada semua laki-laki, baik yang masih bujangan atau yang sudah beristri, janganlah menyia-nyiakan perempuan. Perempuan, dalam sebuah perceraian disamping sakit hati yang mendalam juga menanggung resikonya lebih besar daripada laki-laki.
Kehidupan ekonominya hancur, salah satunya juga karena memang ditinggal oleh suaminya. Sehingga ia sudah tidak lagi mempunyai orang yang menghidupi keluarganya. Ratih menggap bahwa salah satu faktor ia masuk kedalam kehidupan malam tersebut karena ditinggal oleh suaminya, bahkan hingga dua kali. Selain imbasnya terhadap perekonomian keluarga, saat ini ia juga trauma dengan pernikahan. Hingga saat ini ia masih belum percaya dengan laki-laki.
Pernah Ratih juga ditawari oleh menikah oleh seorang tamu pelanggannya. Waktu itu ada seorang yang laki-laki yang bertamu dan kemudian laki-laki itu mengajak untuk curhat seputar pernikahan. Namanya sudah terlanjur sakit hati, sekarang ia sudah tidak percaya lagi dengan rayuan laki-laki. Jika pun ia ada orang yang benar-benar serius kepada dia, namun ia juga tidak ingin termakan lagi rayuan gombal, sehingga laki-laki yang seriuspun dikira tidak baik.
Ratih, saat ini memang tidak terpikir dengan pernikahan. Karena memang saat ini ia sudah tidak percaya lagi dengan semua laki-laki. Dia takut dengan sebuah ikatan pernikahan karena nantinya justru akan menyengsarakan ia sendiri. Pengalaman pahit yang ia dapatkan dari kedua suaminya membuat dia sudah apatis dengan kehidupan membina rumah tangga. “Saya sudah tidak kepikiran lagi mas dengan rumah tangga. Pernah ada laki-laki yang mengajak saya menikah. Namun saat ini masih trauma. Saya takut diterlantarkan lagi oleh suami saya,”tuturnya.
Inilah hasil dari pertualangan kami selama setengah malam bercengkrama dengan wanita-wanita penghibur. Paling tidak ada beberapa hal yang tidak bisa kita ketahui sebelum terjun langsung ke lapangan. Yang pertama kehidupan malam yang diluar lokalisasi, dimana ini berada di pinggiran jalan. Disini para wanita penghibur berdandan seksi di pinggiran jalan. Dibelakang mereka ada beberapa laki-laki yang berbadan tegap yang khusus menjaga mereka dari apa pun saja yang mengancam keamanan para wanita penghibur. Termasuk ketika ada razia dari pihak pemerintahan.
Disini kami belum sempat mengungkap berapa persen pungutan yang wanita penghibur berikan kepada “keamanan” yang menjaga mereka. Kami hanya bisa mengungkap kehidupan di tempat hiburan lokalisasi. Memang hasil yang para wanita penghibur dapatkan dari para lelaki hidung belang itu tidak mutlak ia kantongi seutuhnya. Namun ada persenan yang wajib diberikan kepada keamanan lokalisasi dan juga ada biaya sewa kamar sebesar antara 25 ribu hingga 35 ribu.
Dengan penghasilan sebesar itu tidak para wanita penghibur juga tidak selamanya aman. Terkadang mereka juga menjadi sasaran kekerasan, bahkan kadang mereka juga tidak dibayar oleh tamu-tamunya. Inilah hiruk-pikuk seputar kehidupan manita malam sebagai pemuas nafsu laki-laki hidung belang. [elsa-ol/Ceprudin & KA-@Ceprudin & @khoirulanwar_88]