Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin

Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics,” Anthony Giddens mengatakan, sebagai akibat dari globalisasi, muncul sebuah tatanan sosial “post-traditional.” Yang dimaksud Giddens, sosiolog yang terkenal dengan teori strukturasinya itu, bukan tentang hilangnya tradisi karena tergerus globalisasi, tetapi tradisi yang mengubah statusnya, sehingga tetap mampu mempertahankan dirinya meski mengalami transformasi.

Pencerahan memang telah membuat goyah sebagian dari tradisi itu. Kekuasaan gereja misalnya, tidak lagi absolut. Dogma agama terasionalisasi dan mulai ditinggalkan ketika manusia modern mengoptimalkan logikanya untuk berpikir ilmiah. Kekuasaan raja juga mengalami penyusutan. Mulanya, mereka mendeklarasikan diri sebagai orang yang mendapatkan mandat dari Tuhan. Struktur masyarakat yang mulanya feodal, mengalami pergeseran.

Betapapun ada sebagian yang oleng, tetapi, kata Giddens, pengaruh tradisi tetap kuat. Alih-alih kehilangan vitalitasnya, tradisi justru memainkan peran penting pada fase awal perkembangan masyarakat modern. Tatanan sosial dikonsolidasikan melalui tradisi yang dicipta atau diciptakan kembali. Giddens mencontohkan nasionalisme atau agama. Nasionalisme itu tidak melulu tentang perjuangan panjang sebuah bangsa, tetapi seringkali ia dikonstruksi negara sebagai identitas nasional. Agama sering menjadi nilai moral yang membangun kerangka bagi norma sosial. Singkatnya, Pencerahan tidak membuat tradisi tergerus dari panggung sejarah.

Perkembangan dunia modern menghadirkan gambaran tentang tradisi yang justru menjadi bagian dari partisipan aktif dalam membangun tatanan sosial. Pertanyaan lalu muncul, bagaimana tradisi yang kerapkali dianggap sebagai paradoks bagi modernitas justru bisa eksis di era globalisasi? Alih-alih hilang, tradisi itu tetap hadir meski dengan pelbagai polesan.

Dalam artikelnya yang berjudul “Living in Post-Traditional Society,” Giddens menggambarkan apa yang disebut sebagai refleksivitas sebagai ciri utama era modern lanjut. Individu dan masyarakat akan terus mempertanyakan, mengevaluasi dan menyesuaikan tindakan mereka berdasarkan informasi-informasi mutakhir yang didapatkan. Pada masyarakat tradisi pra modern, penerimaan tanpa pertanyaan adalah ciri utama. Kuat dan berakarnya tradisi, karena ia diyakini. Tradisi diterima begitu saja dan diwariskan dengan tidak memberikan ruang bagi hadirnya pertanyaan-pertanyaan evaluatif.

Baca Juga  “Refreshing” Hukum Islam yang Dialogis

Di era modern, sekali lagi, kata Giddens, tradisi tidak hilang, tetapi “…tradisi harus menjelaskan diri mereka sendiri, menjadi terbuka untuk diinterogasi atau diwacanakan.” Tradisi yang bertahan adalah yang mengalami transformasi. Sebagian bertahan dengan struktur nilai yang utuh tetapi sisanya hadir sebatas warisan budaya atau apa yang oleh Giddens disebut sebagai museum hidup, “living museum.”

Pakaian adat misalnya, pada masa pra modern, ia digunakan sebagai busana keseharian, tetapi di era modern, busana itu menjadi asesoris yang digunakan tatkala festival budaya. Pakaian adat, dengan begitu, hanya menjadi “living museum.” Tetapi, sebagian tradisi tetap bertahan, hidup, berkembang, dan memiliki relevansi dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar peninggalan masa lalu yang dipertontonkan sebagai objek budaya. Pesantren, dengan segala upaya adaptasinya, bisa digambarkan sebagai contoh tradisi yang hidup dengan refleksivitas.

Bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang tampaknya sangat bertentangan dengan cara berpikir tradisional, menjadi semacam tradisi. Ilmu pengetahuan, dengan kata lain, menjadi sebuah ‘otoritas’ yang dapat digunakan dengan cara yang relatif tidak perlu dipertanyakan lagi untuk menghadapi dilema atau mengatasi masalah. Namun, dalam masyarakat yang mengglobal dan kosmopolitan secara budaya, tradisi dipaksa untuk dilihat secara terbuka: alasan atau pembenaran harus ditawarkan untuk mereka.

Giddens mengaitkan isu masyarakat pascatradisional inni dengan kebangkitan fundamentalime. Gelombang ini, kata Giddens, adalah ideologi yang muncul ketika “tradisi yang dipertahankan dengan cara tradisional – namun cara mempertahankannya telah banyak dipertanyakan.” Inti dari tradisi, lanjut Giddens, adalah bahwa seseorang tidak perlu membenarkannya karena, “tradisi itu mengandung kebenarannya sendiri, sebuah kebenaran ritual, yang dinyatakan benar oleh penganutnya.”

Masalahnya, dalam tatanan global, sikap itu menutup ruang dialog. Fundamentalisme cenderung menonjolkan autentisitas dari doktrin tertentu, tidak sekadar hendak membedakan sekaligus mengunggulkan dari yang lain, tetapi juga karena menolak model kebenaran yang terkait dengan keterlibatan dialogis dalam ruang publik. Jenisnya, tak sekadar fundamentalisme agama, tetapi juga etnisitas, gender, keluarga dan lainnya.

Baca Juga  Politik Sebagai Kontestasi: Tanggapan atas Siti Rofiah

Masyarakat “post-traditional” tidak menerima tradisi begitu saja, tetapi mereka menilai ulang relevansinya. Tradisi tidak hilang, tetapi mengalami refleksivitas. Ini berarti, tradisi direinterpretasi, dinegosiasikan dan dikreasi kembali agar selaras dengan jiwa zaman. Panorama kehidupan beragama dewasa ini juga mencerminkan sisi refleksivitas. Agama tidak hilang, tetapi mengalami transformasi yang memungkinkannya hidup dengan jalan reflektif, terbuka dan kontekstual, meskipun juga tak jarang menghadirkan sejumlah tantangan.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini