Oleh: Tedi Kholiludin
Awal Ramadlan 2019, Faza dan Najma dalam waktu yang nyaris bersamaan terkena sakit. Najma tifus dan Faza terkena semacam radang selaput paru-paru. Bahasa medisnya, Bronchitis Asmatis dan Peneumonia. Karenanya ia harus dirawat selama tiga hari. Di tiga hari itu, keduanya ada di rumah sakit, Faza dirawat inap dan Najma rawat jalan. Meski saya bisa saja membawa Najma menginap di rumah, tetapi, suhu badannya yang kerap turun naik, membuat saya mengambil keputusan untuk membawanya serta menginap di rumah sakit menunggui adiknya. Sekaligus mengantisipasi jika ada kondisi yang membuatnya harus segera ditangani.
Selang beberapa hari, terutama setelah kondisi Faza mulai membaik, muncul banyak spekulasi tentang sebab sakitnya. Dokter tentu bicara dari sisi medis sebelum mengambil kesimpulan bahwa Faza ada gangguan pernafasannya. Awalnya batuk pilek, lalu menjadi infeksi karena banyak debu dihirupnya. Karena kami sedang merenovasi rumah, saya menduga debu yang berterbangan itulah yang menjadi pemicunya.
Sebagai orang yang mempercayakan penanganan anak-anak pada tenaga medis, argumen ini tentu saja sangat masuk akal. Meski begitu, saya tetap menyediakan kapling bagi alasan-alasan yang bersifat non-medis. Jamak diketahui bahwa di masyarakat nusantara, cara pandang terhadap sakit-sehat, selalu melibatkan tindakan psikis dan juga mitologis.
***
Mbah Kartiyem, perempuan sepuh yang kami percaya memegang Najma dan Faza sejak lahir, turut terlibat dalam “kontestasi” tafsir atas sakitnya Faza. Karena kapasitasnya sebagai pemijat, maka argumennya masih bisa dinalar. Menurutnya, sakitnya Faza itu bukan soal radang paru-paru, tetapi pernafasannya terganggu karena ada semacam memar di bagian kanan badannya.
Saat melihat hasil rontgen, dokter memang menjelaskan soal itu. Mbah Iyem, begitu biasa kami memanggil wanita kelahiran 1943, menyampaikan kesimpulannya tersebut setelah ia memijat Faza sepulangnya dari rumah sakit. Baginya, sakitnya Faza bisa dipulihkan tanpa harus dirawat di rumah sakit.
Yang lain, mengaitkan sakitnya Faza dengan “pelanggaran” norma adat yang dilakukan oleh saya sekeluarga. Ini disampaikan oleh keluarga ibu mertua. Sebelum ramadlan, kami silaturahmi ke Pacitan, tempat kelahiran Meiga untuk membawa Faza bersua dengan nenek buyutnya. Selain nyekar dan ziarah, kehadiran kami kesana juga sekaligus meminta izin karena pada Hari Raya Idul Fitri nanti, tidak bisa bersilaturahmi.
Saya memutuskan hari Jumat pagi kembali ke Semarang, karena harus mengajar siang harinya. Tak sengaja sempat saya dengar percakapan antara ibu mertua dan adiknya. Intinya, apakah kepulangan ke Semarang tidak bisa diundur. Ibu menjelaskan karena hari Jumat saya harus mengajar. Akhirnya kami pulang ke Semarang di hari Jumat itu.
Ketika Faza pulang dari rumah sakit, ibu mertua bercerita ke Meiga, mengapa keluarga di Pacitan mengusulkan untuk mengundurkan kepulangan ke Semarang. Kebetulan hari itu adalah Jumat Pon. Kata ibu mertua, Jumat Pon adalah hari meninggalnya Mbah Buyut. Karenanya, jika ada pilihan, lebih baik tidak bepergian di hari itu.
“Kontestan” lainnya adalah keyakinan bahwa bagi anak kecil, sakit adalah ritus perlintasan yang dilewati karena ia akan menapaki fase baru. “Syarat untuk jadi pintar”, kata mereka. Jadi sakit adalah semacam “prasyarat” untuk ada di tahapan tertentu. Sebelum bisa berjalan, anak-anak biasanya terkena demam atau sakit ringan lainnya.
Begitulah “pengetahuan lokal” memberikan persepsi tentang sakit-sehat. Dalam masyarakat Jawa, “sehat” menempati posisi yang penting. Setiap bersua, kabar tentang waras pasti yang akan lebih ditanya terlebih dahulu. “Gimana kabarnya, sehat?” Tak heran, kalau sehat-sakit banyak dilihat tidak hanya semata-mata sebagai dari persepsi fisik, tetapi juga psikis. Ia tak melulu tentang yang tampak tetapi juga yang tak tampak.
***
Saya membaca beberapa literatur dalam disiplin antropologi kesehatan atau medical anthropology. Bidang ini mempelajari tentang masalah kesehatan atau penyakit yang dilihat dalam kaitannya dengan kebudayaan manusia. Juga berkaitan dengan etnografi tradisional, pengobatan atas penyakit, kebiasaan manusia dan seterusnya.
Bidang medical anthropology ini setidaknya membantu kita dalam beberapa hal. Pertama, kita bisa mengenali bagaimana persepsi sebuah komunitas tentang apa yang disebut sakit dan sehat. Kedua, memberikan jalan tentang bagaimana lebih dekat dengan komunitas.
Dua cara pandang terakhir, bisa jadi masuk dalam bidang ini dalam kategori non-medis yang mencakup aspek sosial-budaya maupun psiko-budaya. Seseorang yang ingin menjaga kesehatan, tidak hanya harus menjaga makanan dan pola hidupnya, tetapi juga menjaga semacam “totem” dalam keluarga. Karena seseorang merupakan bagian dari keluarga besar, maka penting untuk melihat kedirian sebagai bagian dari keluarga yang lebih besar. Ketika keluarga Meiga di Pacitan mengingatkan untuk menunda keberangkatan karena hari itu bertepatan dengan meninggalnya sang Buyut, itu adalah bagian dari mekanisme menjaga “kesehatan” secara tidak langsung.
Kelompok masyarakat lain mengaitkan kesehatan dengan perilaku kita terhadap alam sekitar. Jika ada salah satu anggota masyarakat atau keluarga yang sakit, itu dipahami karena ada pelanggaran terhadap ekosistem. Menebang pohon sembarangan, misalnya.
Begitulah pengetahuan lokal bekerja. Tanpa perlu membedakannya dengan “kebenaran medis”, namun apa yang dianggap benar secara antropologis adalah sesuatu yang diagemi oleh kelompok tertentu.