Rumadi yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama melanjutkan bahwa persoalan diskriminasi itu kemudian menjadi bertambah pelik karena aparatur pemerintahan kerap melanjutkan tindakan-tindakan yang bersifat diskriminatif itu. “Itulah lapis kedua dari diskriminasi, yakni peristiwa yang terjadi di level birokrasi,” ujarnya.
Di level ketiga, intoleransi serta diskriminasi terjadi di level masyarakat. “Kita tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa diskriminasi itu memang ada dan nyata. Sehingga tidak bisa dianggap remeh,” tandas staf pengajar Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Terhadap fakta itu, masyarakat juga pemerintah mestinya harus berani mengakui bahwa memang ada masalah. Rumadi memberikan perumpamaan, jika diskriminasi itu adalah penyakit, maka kita tidak ragu untuk mengakui kalau penyakit itu ada. Tinggal bagaimana kita berikhtiar untuk menyembuhkannya. “Intoleransi juga faktanya memang ada. Masyarakat yang sesungguhnya toleran kemudian terinfiltrasi oleh virus intoleransi,” terang Rumadi.
Karenanya, perlu ada imunisasi terhadap kehidupan masyarakat kita agar virus intoleransi itu tidak menjalar. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin/001]