Ungaran, elsaonline.com – Ada banyak cara untuk mendakwahkan pentingnya menghargai perbedaan keyakinan keagamaan. Mulai dari ceramah keagamaan hingga dibalut dengan pagelaran-pagelaran kesenian. Bahkan, tak jarang kampanye pentingnya menjaga dan menghargai perbedaan keyakinan dikemas dalam bentuk seni hiburan.
Begitu juga dengan Penganut Kepercayaan Sapta Darma di Kabupaten Semarang, melalui pagelaran wayang kulit, mereka sampaikan pesan toleransi. Pagelaran wayang kulit ini dalam rangka peringatan tanggap warsa (tepung tahun) Penganut Kepercayaan Sapta Darma. Peringatan ini rutin dilakukan setiap malam 1 Suro 1951 Saka Jawa.
Jumat, 6 Oktober 2017 malam lalu, cuaca di Kabupaten Semarang tampak terang. Sejak memasuki gerbang selamat datang, udara dingin menyelimuti. Sampai di Kawasan Wisata Pasar Jimbaran, Kecamatan Bandungan, aktifitas masyarakat tampak masih ramai.
Keramaian tampak dari bongkar muat sayuran, penjual kue bandung, gorengan, bakso, hingga wedang ronde yang berjejer. Memasuki jalan Desa Jimbaran, tampak gerombolan ibu-ibu, bapak-bapak, dan remaja berjalan berduyun-duyun. Saat ditanya lokasi wayangan, mereka kompak menjawab; ”sudah dekat, Mas. Kami juga mau kesana,” sahut mereka, kompak.
”Ancer-ancernya, ada pertigaan ke kiri, disana sudah masuk Dukuh Blater, Desa Jimbaran. Nanti ada petunjuk arah ke Pemancingan Suharno. Nah, tempat wayangan itu persis dekat Pemancingan itu,” timpal lagi, lelaki paruh baya yang mengenakan pakaian Adat Jawa lengkap dengan blangkon itu.
Masih jarak sekira 1 kilometer, tempat wayangan sudah terlihat. Gemerlapnya lampu panggung serta ramainya penjaja makanan ringan, mainan, serta juru parkir semakin memastikan bahwa tempat tersebutlah yang dituju. ”Parkir masuk, Pak. Supaya rapih karena ada pak Bupati,” kata juru parkir, mengarahkan.
Memasuki area utama wayangan ada pemandangan yang ’membanggakan’. Bagaimana tidak, logo wewarah pitu tampak terpampang di pojok kanan dan kiri panggung, depan mimbar, serta di beground panggung.
Simbol Wewarah Pitu
Mengapa membanggakan? Ya, karena tidak semua daerah leluasa untuk menampilkan simbol-simbol Kepercayaan Sapta Darma itu. Sebut saja di Kabupaten Brebes dan Blora yang sempat terjadi konflik sosial yang berujung pada perusakan rumah ibadah.
Pada dua daerah yang disebutkan di atas itu, Penganut Sapta Darma tidak leluasa untuk menunjukan identitas mereka sebagai warga Sapta Darma. Jangankan memajang simbol wewarah pitu dalam acara terbuka, simbol yang dipajang di dalam saggar saja diambil serta dirusak.
”Kalau di Kabupaten Semarang, kami sangat bersyukur karena dengan masyarakat sekitar tidak ada masalah. Warga tidak ada yang panatik, kalau soal keyakinan memang tidak ada yang mempermasalahkan,” kata salah satu pemuda penganut Sapta Darma, Mugio, saat ditemui disela acara wayangan.
Betul yang disampaikan Mugio. Pada acara wayangan itu tampak warga masyarakat bersama penganut Sapta Darma bercampur baur. Di bawah tenda yang luas, mereka membaur larut dalam suasana cerita wayang. Pejabat pemerintah kabupaten, kecamatan, desa, bahkan hingga tingkat rukun tetangga pun turut hadir.
Bupati Semarang, Dr. H. Mundjirin ES yang hadir pada kesempatan itu mengucapkan selamat kepada warga Sapta Darma yang baru memperingati Tanggap Warsa 1 Suro 1951 Saka Jawa. Bupati mengingatkan tentang pentingnya menjaga kerukunan meskipun berbeda keyakinan.
Saling Mengingatkan
”Oh iya, pertama saya mengucapkan selamat atas ulang tahun ini malam 1 Suro 1951 (Saka Jawa) untuk Sapta Darma Kabupaten Semarang. Yang kedua, kita saling ingat mengingatkan bahwa kerukunan dan persahabatan itu yang utama,” tegas bupati yang juga seorang dokter ini.
Bupati memberikan wejangan kepada warga Sapta Darma serta umumnya pada masyarakat tentang pentingnya mawas diri. Menurut bupati, dalam bermasyarakat jangan dibiasakan melihat keburukan orang lain. Namun sebaliknya, lihatlah keburukan diri sendiri sehingga bisa memperbaikinya.
“Bahwa sesantinya sudah dibacakan oleh Tuntunan Agung (Bopo Saekhun), bahwa kepada siapa pun, dimana pun yang namanya Sapta Darma itu ngewongke (memanusiakan) sesama (manusia). Ojo delok elek’e lian (jangan lihat jeleknya orang lain). Sing di delok iki elek’e dewek (yang dilihat jeleknya diri sendiri),” tuturnya.
Kedepan, lanjut bupati, Kabupaten Semarang harus lebih maju. Dalam segala bidang, kabupaten yang beribukota di Ungaran itu harus semakin maju. ”Kesehatannya, kerukunannya, mudah-mudahan keyakinannya dan rezekinya. Insya Allah kedepan, Kabupaten Semarang tetap Matra; mandiri, tertib, rukun, dan sejahtera. Sapta Darma tetap rukun guyub, dan jaya,” sambungnya.
Saat ditanya kemungkinan ada provokasi dari kelompok ormas Radikal, bupati mengiyakannya. Menurutnya, provokasi untuk memecah belah kerukunan bisa datang dari mana saja. Bahkan dari internal organisasi itu sendiri.
“(karena itu) Betul, tadi sudah saya sampaikan waktu sambutan, memang itu bisa datang dari dalam juga. Bisa juga datang dari luar, tapi yang dari luar mungkin kita mudah tahu. Tapi kalau yang dari dalam, dicekok’i (dihasut), ada musuh dalam selimut. Ada kemungkinan juga untuk memecah belah,” tambahnya.
Menjaga Kerukunan
Namun demikian, bupati yakin kepada masyarakat dan warga Sapta Darma akan selalu menjaga kerukunan dan toleransi. “Tapi saya yakin, pada tuntunan agung warga Sapta Darma itu tadi, yang sudah keliling kemana-mana se Indonesia itu (tidak terpancing provokasi). Mudahan-mudahan Sapta Darma tetap lancar dan rukun,” pungkasnya.
Persoalan relasi sosial antara penganut Sapta Darma dan warga masyarakat di Kabupaten Semarang memang tak ada masalah. Namun, tampaknya dari sisi hak-hak konstitusional sebagai warga negara belum terpenuhi seutuhnya.
Penganut Kepercayaan Sapta Darma di Kabupaten Semarang belum seutuhnya mendapatkan pendidikan kepercayaan di sekolah. Wajar memang, karena problem penganut Sapta Darma dan Penganut Kepercayaan pada umumnya sangat beragam.
“Permasalahan yang kami hadapi hanya persoalan anak didik saja di sekolah, Mas. Di beberapa sekolah SMP ada yang belum bisa mendapat pendidikan kepercayaan. Mereka masih mengikuti mata pelajaran pendidikan agama,” terang Mugio disambung dengan empat rekannya disela acara wayangan.
Mugio menyampaikan, untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) penganut Sapta Darma memang sudah diberikan keleluasaan untuk tidak mengikuti mata pelajaran pendidikan agama. Namun, katanya, untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ada yang masih mewajibkan untuk mengikuti pendidikan agama.
Mapel Kepercayaan
“Salah satu SMP di Sumowono belum bisa (mendapat pendidikan kepercayaan), kalau sebagian sekolah SMP lainnya termasuk di sekolah Teresiana, memang bisa. Padahal kan dari Jakarta (aturan dari Kementerian Pendidikan) sudah turun, sudah sah. Nah, kenapa di Kabupaten Semarang tidak diproses? Ya ndak tahu juga ya bagaimana,” keluhnya.
Maksud Mugio aturan dari pusat adalah Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Bagi Penganut Kepercayaan. Permen ini memang belum sepenuhnya diimplementasikan karena alasan satu dan lain hal. Salah satunya karena minimnya tenaga pendidik dari kalangan penganut kepercayaan.
“Nah tapi di SMA Kecamatan Jambu sudah bisa, Mas. Untuk pendidikan agamanya ya guru didik dari warga Sapta Darma. Kan disana sudah ada warga Sapta Darma yang sudah dapat sertifikat sebagai pendidik dari pemerintah. Dia itu guru didik di SD, SMP sampai SMA. Nah, orangnya keliling sana-sini, semua, Mas,” pungkasnya.
Sebagai informasi tambahan, warga Penganut Kepercayaan Sapta Darma di Kabupaten Semarang sekitar 500 kepala keluarga. Jumlah itu, kata Mugio hanya yang sudah beridentitas agama setrip (-) di KTP. Artinya, mereka sudah tidak lagi beridentitas agama dalam identitas kependudukan.
Warga penganut Sapta Darma di Kabupaten Semarang berada di lima kecamatan, yakni Kecamatan Bandungan, Ambarawa, Sumowono, Jambu dan Bawen. Namun, untuk kegiatan-kegiatan warga Sapta Darma di Kecamatan Ambarawa dan Bandungan menjadi satu karena daerahnya berdekatan.[Cep/03]