
Semarang, elsaonline.com – Tiga tahun kedepan ada tantangan besar yang akan dihadapi pemuda zaman now. Tantangan itu bonus demografi namanya. Secara sederhana bonus demografi artinya fenomena dimana suatu negara memiliki penduduk usia produktif lebih besar dibanding usia tak produktif.
Hasil riset Bidang Pelatihan dan Pengembangan BKKBN, pada tahun 2020-2030 Indonesia akan mendapatkan jumlah usia produktif kerja (usia 15-64 tahun) mencapai 70 persen. Sementara jumlah penduduk yang tidak produktif (di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun) hanya 30 persen.
Dengan demikian, pada tahun 2020-2030 Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif kerja. Sedangkan usia tidak produktif sekitar 60 juta jiwa. Jika dihitung maka 10 orang usia produktif hanya menanggung 3 hingga 4 orang usia tak produktif.
Lalu, bagaimana jika jumlah 180 juta orang (usia produktif) itu tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan? Logika sederhananya, maka akan ada banyak sekali pengangguran. Jika menganggur, maka rumusan 10 orang produktif menanggung 3 hingga 4 orang tak produktif tidak berlaku lagi.
“Ada tantangan luar biasa yang akan kita hadapi. Ada 180 juta jiwa usia produktif, tapi kita tidak tahu kualitas manusianya seperti apa?” jelas Direktur Yayasan Pemberdayaan Komunitas eLSA, Tedi Kholiludin, pada talkshaw ‘kebangsaan di dadaki kami satu Indonesia’ di Kampus Unika Soegija Pranata, Senin, 30 Oktober 2017 sore.
Kualitas Manusia
Padahal, lanjut Tedi, kualitas manusia inilah yang akan menentukan apakah Indonesia akan berubah kearah yang lebih baik atau sebaliknya. Meningkatnya kesejahteraan keharmonisan, kedamaian, keamanan, dan kemajuan bangsa Indonesia kedepan sangat bergantung pada sumber daya manusia sejumlah 180 juta jiwa itu.
Dosen Pascasarjana Unwahas Semarang ini mengaitkan bonus demografi dengan kondisi sosial, politik dan keagamaan yang belakangan ini terjadi. Hematnya, kasus-kasus intoleran memang terus meningkat. Namun, ada harapan dimana pemuda usia produktif semakin banyak yang peduli perdamaian.
Menurut catatan Tedi, ada data yang menggembirakan di Jateng. Jateng, katanya, provinsi paling baik dibanding dengan provinsi tetangga, Jabar, Jatim, DKI Jakarta dan DIY Yogjayakrta. Dibandingkan dengan Yogyakarta yang selama ini mencitrakan sebagai daerah toleran, ternyata kasus intolerannya cenderung lebih rendang di Jateng.
“Ini tentu salah satunya karena peran Romo Budi (Romo Aloysius Budi Purnomo Pr). Dimana romo bisa masuk ke dunia kids jaman now. Karena tidak bisa anak jaman now itu diajak melulu seminar, diskusi, worksop dan sejenisnya. Kita memang harus mampu mengemas muatan materi itu dengan selera pemuda masa kini,” lanjut Tedi.
Senada dengan Tedi, Romo Budi yang menjadi narasumber pada kesempatan itu mengatakan perlu adanya kerja nyata untuk wujudkan keharmonisan. Ia bersama dengan berbagai komunitas telah banyak menggelar acara dengan muatan perdamaian hingga ke akar rumput.
”Kemarin kami menggelar dialog kebangsaan, pentas seni kebudayaan di Muntilan, Magelang, kemudian di Semarang kami menggelar acara sumpah pemuda lintas agama yang bertempat di Golden Gate, Garaha Padma, kami juga membuat srawung seniman lintas Iman,” jelas Romo.
Ibur Rumah Tanggah
Bahkan, kata Romo, untuk program perdamaian jangka panjang ia juga menggelar kegiatan-kegiatan yang melibatkan ibu-ibu rumah tangga. Selama ini, ibu rumah tangga luput dari sasaran kegiatan. “Pertemuan ibu ibu lintas iman juga. Ya untuk mendorong anak-anaknya supaya menjadi motor penggerak perdamaian,” tukasnya.
Selain Romo Budi dan Tedi, hadir juga sebagai narasumber Putri Indonesia Perdamaian 2017, Dea Rizkita. Dea mengatakan, pemuda harus menjadi motor penggerak untuk mewujudkan perdamaian. Pemuda mempunyai semangat dan kekuatan tinggi untuk kemajuan bangsa.
“Anak muda menpunyai power besar sehingga harus menjadi motornya kemajuan bangsa. Para pendiri bangsa ini sudah membuat ideologi negara dengan sangat baik. Pemuda itu motor ideologi dan tugasnya melanjutkan value-value yang ada dalam Pancasila itu,” jelasnya.
Dalam talkshaw itu, hadir ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kota Semarang. Mahasiswa inilah yang akan menjadi bagian dari 180 juta jiwa usia produktif tiga tahun mendatang. Jika para mahasiswa itu berkualitas, maka mereka akan mampu menjadi motor penggerak keadaan bangsa ini kearah yang lebih baik. [Cep/003]